Kamis, 05 Desember 2013

Yingluck dan Kecemasan Kaum Feodal

Yingluck dan Kecemasan Kaum Feodal
Chusnan Maghribi  ;   Jurnalis, alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Jogjakarta
JAWA POS,  05 Desember 2013

  

INSTABILITAS politik Thailand terbilang tinggi selama tujuh tahun terakhir. Sejak Thaksin Shinawatra digulingkan melalui kudeta pada 2006, sudah enam kali terjadi pergantian perdana menteri (PM). Kini PM Yingluck Shinawatra yang menang lewat pemilihan umum (pemilu) demokratis pada 3 Juli 2011 sedang digoyang keras di parlemen maupun demonstrasi jalanan. 

Di parlemen (28/11), Yingluck memang lolos dari mosi tak percaya dengan 297 suara mendukung dan hanya 134 menentangnya. Yingluck dipojokkan terkait tuduhan penyimpangan manajemen air dan program intervensi beras pemerintah senilai 3,5 miliar bath (sekitar Rp 1,3 triliun). 

Namun, Suthep Thaugsuban (ketua Partai Demokrat/PD) tetap berdemo bersama puluhan ribu orang di jalanan dan memberikan batas waktu kepada Yingluck untuk mundur hari ini (5/12). Yingluck terus berusaha bertahan, termasuk menawarkan pembentukan "forum rakyat" penampung ide reformasi (Jawa Pos, 4/12). Repotnya, para demonstran tampak "didukung" elite militer dan keluarga kerajaan. Mereka menduduki kantor-kantor pemerintah, termasuk Kementerian Pertahanan. 

Sebenarnya Yingluck didorong untuk jatuh hanya karena dia adik kandung PM terguling Thaksin Shinawatra. Thaksin terusir ke pengasingan dan divonis dua tahun penjara atas tuduhan korupsi. Upaya Yingluck meloloskan UU Amnesti dianggap upaya membuka pintu kepulangan Thaksin tanpa masuk penjara. 

Mengapa oposisi antipati terhadap Thaksin dan orang-orang dekatnya? Bukankah Thaksin berjasa mengeluarkan Thailand dari krisis moneter pada 1997-1998? Apa yang sesungguhnya terjadi?

Thaksin terpilih menjadi PM pada 2001 melalui pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Negeri Gajah Putih itu. Thaksin, konglomerat terkaya di Thailand dengan bisnis utama telekomunikasi, mulai memerintah saat perekonomian belum 100 persen pulih dari krisis pada 1997-1998.

Berbeda dengan pemerintah Indonesia yang mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), PM Thaksin waktu itu justru meningkatkan subsidi hingga gejolak harga minyak dunia tidak berdampak negatif terhadap sektor produksi maupun daya beli masyarakat. Selain itu, pemerintahan Thaksin mengucurkan kredit bunga rendah bagi kalangan petani, nelayan, pedagang kecil, maupun lapisan masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan. 

Periode 2003-2005 ekonomi Thailand tumbuh 5,2 persen, 6,9 persen, dan 6,1 persen. Penduduk miskin turun drastis dari 21,3 persen menjadi 11,3 persen. Pendapatan rakyat miskin meningkat 40 persen. Pendapatan domestik kotor (PDB) naik dari 4,9 triliun bath (Rp 1.800 triliun) menjadi 7,1 triliun bath (Rp 2.600 triliun) pada 2005. Cadangan devisa terkatrol dari USD 30 miliar menjadi USD 64 miliar. Utang kepada IMF dilunasi dua tahun sebelum jatuh tempo.

Para pengamat ekonomi internasional menyebut fenomena itu sebagai Thaksinomic. Karena serius mengentas si miskin, Thaksin menjadi sangat populer, dan satu-satunya PM yang mampu menyelesaikan masa jabatannya. Bahkan, dia terpilih kembali dengan perolehan suara mayoritas mutlak pada Pemilu 2005. 

Media internasional mulai membandingkan popularitas Thaksin dengan Raja Bhumibol Adulyadej. Ini jelas sensitif. Klik elite ekonomi (pengusaha), politik (parpol) maupun militer, yang menikmati berbagai fasilitas karena kedekatannya dengan keluarga kerajaan mulai gerah dan terusik. Mereka malah menuduh Thaksin mengeksploitasi kebodohan masyarakat pedesaan tersebut. 

Dalam krisis era Yingluck ini pembelahan tersebut sangat kentara. Pertama, fakta rivalitas politik dan bisnis antara klik keluarga Thaksin cs yang didukung rakyat jelata (kelompok "Kaus Merah") versus klik Suthep Thaugsuban dkk yang tampak didukung keluarga kerajaan, elite militer, serta masyarakat kelas menengah dan atas terutama di Bangkok ("Kaus Kuning").

Kedua, fakta kekhawatiran, terutama keluarga kerajaan, akan terjadinya perubahan kultur politik rakyat Thailand, yaitu dari kultur feodalistik-konservatif menjadi kultur demokrasi modern. Usul yang pernah dimunculkan PD agar hanya 30 persen anggota parlemen dipilih dan 70 persen lainnya ditunjuk, mengindikasikan adanya kekhawatiran itu.

Jadi, kaum oposan dan pendukungnya tak ingin klik keluarga Thaksin cs terus dan semakin berkuasa secara politik maupun ekonomi. Yang dikhawatirkan, hak-hak istimewa kaum feodal, termasuk Raja Bhumibol Adulyadej, 86, bisa terkikis. Tentu sang raja tak ingin menjadi Nepal yang menyudahi feodalisme dan berubah ke republik pada 28 Mei 2008. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar