INSTABILITAS politik Thailand terbilang tinggi selama tujuh tahun
terakhir. Sejak Thaksin Shinawatra digulingkan melalui kudeta pada 2006,
sudah enam kali terjadi pergantian perdana menteri (PM). Kini PM Yingluck
Shinawatra yang menang lewat pemilihan umum (pemilu) demokratis pada 3 Juli
2011 sedang digoyang keras di parlemen maupun demonstrasi jalanan.
Di parlemen
(28/11), Yingluck memang lolos dari mosi tak percaya dengan 297 suara
mendukung dan hanya 134 menentangnya. Yingluck dipojokkan terkait tuduhan
penyimpangan manajemen air dan program intervensi beras pemerintah senilai
3,5 miliar bath (sekitar Rp 1,3 triliun).
Namun, Suthep
Thaugsuban (ketua Partai Demokrat/PD) tetap berdemo bersama puluhan ribu
orang di jalanan dan memberikan batas waktu kepada Yingluck untuk mundur
hari ini (5/12). Yingluck terus berusaha bertahan, termasuk menawarkan
pembentukan "forum rakyat" penampung ide reformasi (Jawa Pos,
4/12). Repotnya, para demonstran tampak "didukung" elite militer
dan keluarga kerajaan. Mereka menduduki kantor-kantor pemerintah, termasuk
Kementerian Pertahanan.
Sebenarnya
Yingluck didorong untuk jatuh hanya karena dia adik kandung PM terguling
Thaksin Shinawatra. Thaksin terusir ke pengasingan dan divonis dua tahun
penjara atas tuduhan korupsi. Upaya Yingluck meloloskan UU Amnesti dianggap
upaya membuka pintu kepulangan Thaksin tanpa masuk penjara.
Mengapa oposisi
antipati terhadap Thaksin dan orang-orang dekatnya? Bukankah Thaksin
berjasa mengeluarkan Thailand dari krisis moneter pada 1997-1998? Apa yang
sesungguhnya terjadi?
Thaksin
terpilih menjadi PM pada 2001 melalui pemilu paling demokratis sepanjang
sejarah Negeri Gajah Putih itu. Thaksin, konglomerat terkaya di Thailand
dengan bisnis utama telekomunikasi, mulai memerintah saat perekonomian
belum 100 persen pulih dari krisis pada 1997-1998.
Berbeda dengan
pemerintah Indonesia yang mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), PM
Thaksin waktu itu justru meningkatkan subsidi hingga gejolak harga minyak
dunia tidak berdampak negatif terhadap sektor produksi maupun daya beli
masyarakat. Selain itu, pemerintahan Thaksin mengucurkan kredit bunga
rendah bagi kalangan petani, nelayan, pedagang kecil, maupun lapisan
masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan.
Periode
2003-2005 ekonomi Thailand tumbuh 5,2 persen, 6,9 persen, dan 6,1 persen.
Penduduk miskin turun drastis dari 21,3 persen menjadi 11,3 persen.
Pendapatan rakyat miskin meningkat 40 persen. Pendapatan domestik kotor
(PDB) naik dari 4,9 triliun bath (Rp 1.800 triliun) menjadi 7,1 triliun
bath (Rp 2.600 triliun) pada 2005. Cadangan devisa terkatrol dari USD 30
miliar menjadi USD 64 miliar. Utang kepada IMF dilunasi dua tahun sebelum
jatuh tempo.
Para pengamat
ekonomi internasional menyebut fenomena itu sebagai Thaksinomic. Karena
serius mengentas si miskin, Thaksin menjadi sangat populer, dan satu-satunya
PM yang mampu menyelesaikan masa jabatannya. Bahkan, dia terpilih kembali
dengan perolehan suara mayoritas mutlak pada Pemilu 2005.
Media
internasional mulai membandingkan popularitas Thaksin dengan Raja Bhumibol
Adulyadej. Ini jelas sensitif. Klik elite ekonomi (pengusaha), politik
(parpol) maupun militer, yang menikmati berbagai fasilitas karena
kedekatannya dengan keluarga kerajaan mulai gerah dan terusik. Mereka malah
menuduh Thaksin mengeksploitasi kebodohan masyarakat pedesaan tersebut.
Dalam krisis
era Yingluck ini pembelahan tersebut sangat kentara. Pertama, fakta
rivalitas politik dan bisnis antara klik keluarga Thaksin cs yang didukung
rakyat jelata (kelompok "Kaus Merah") versus klik Suthep
Thaugsuban dkk yang tampak didukung keluarga kerajaan, elite militer, serta
masyarakat kelas menengah dan atas terutama di Bangkok ("Kaus
Kuning").
Kedua, fakta
kekhawatiran, terutama keluarga kerajaan, akan terjadinya perubahan kultur
politik rakyat Thailand, yaitu dari kultur feodalistik-konservatif menjadi
kultur demokrasi modern. Usul yang pernah dimunculkan PD agar hanya 30
persen anggota parlemen dipilih dan 70 persen lainnya ditunjuk,
mengindikasikan adanya kekhawatiran itu.
Jadi, kaum
oposan dan pendukungnya tak ingin klik keluarga Thaksin cs terus dan
semakin berkuasa secara politik maupun ekonomi. Yang dikhawatirkan, hak-hak
istimewa kaum feodal, termasuk Raja Bhumibol Adulyadej, 86, bisa terkikis.
Tentu sang raja tak ingin menjadi Nepal yang menyudahi feodalisme dan
berubah ke republik pada 28 Mei 2008. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar