Kamis, 05 Desember 2013

Bacalah Peta Gejolak Rupiah

Bacalah Peta Gejolak Rupiah
Ahmad Erani Yustika  ;   Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS,  04 Desember 2013

  

HARI-hari ini sebaiknya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) membuka kembali buku teks ilmu ekonomi dan becermin ke masa silam. Menghadapkan teori baku ilmu ekonomi dengan persoalan aktual barangkali bisa meluruskan keyakinan atas kebijakan ekonomi yang dibuat. Seyogianya pula, komparasi terhadap pengalaman ekonomi negara lain dilakukan untuk menambah bobot kebijakan domestik. 

Ini perlu ditegaskan. Sebab, setelah sekian lama, kritik terhadap kebijakan moneter untuk meredam jatuhnya nilai tukar oleh BI (dan pemerintah) tidak diindahkan. Hasilnya, sekarang tingkat suku bunga deposito/kredit meningkat (akibat kenaikan BI rate) tanpa mengurangi impor maupun defisit neraca transaksi berjalan. Implikasinya, nilai tukar tetap anjlok. Jika kebijakan ini diteruskan, masa-masa gelap perekonomian akan semakin panjang. 

Fragile Five 

Mari disingkap sedikit demi sedikit problem ekonomi kita. Krisis ekonomi global 2011 melantakkan ekonomi Eropa dan AS (juga Jepang) sehingga mengganggu kinerja ekspor nasional. Harga komoditas primer di pasar internasional merosot, padahal Indonesia mengandalkan produk tersebut untuk perolehan ekspor. Sebagian (besar) ekspor nasional menuju ke Eropa, AS, dan Jepang (sekitar 40 persen).

Di sisi lain, pengendalian impor tidak bisa dijalankan maksimal karena 70 persen impor adalah produk bahan baku manufaktur. Jika impor ditekan, produksi manufaktur akan menurun dan selanjutnya lebih menenggelamkan ekspor (karena sebagian ekspor adalah produk manufaktur).

Implikasinya makin terang: neraca perdagangan negatif dan menjadi salah satu sumber munculnya defisit neraca transaksi berjalan. Terpelantinglah nilai tukar rupiah. 

Selanjutnya, mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan jauh lebih rumit karena lalu lintas modal sa­ngat terbuka. Misalnya, uang hilir mudik di pasar modal, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI); serta transfer pendapatan maupun jasa yang terus mengalir ke luar. Ini telah berjalan lama meskipun berulang-ulang diultimatum agar pasar sektor finansial segera dikendalikan, transfer pendapatan (melalui repatriasi PMA) dikerangkeng, dan defisit jasa (khususnya transportasi laut) diselesaikan. 

Nahasnya lagi, harga minyak dunia terus meroket sejak tahun lalu sehingga defisit fiskal tidak dapat dihindari. Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM sebagai cara meredam defisit fiskal, namun inflasi melejit (mendekati 9 persen tahun ini, daripada 2012 yang 4,3 persen/BPS). Kombinasi defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, defisit fiskal, dan defisit neraca pembayaran (quatro deficit) plus inflasi menyergap ekonomi nasional sekaligus. 

Nilai tukar pun rawan. Di luar Indonesia, ada empat negara lain yang memiliki persoalan serupa, yaitu Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Nilai tukar lima negara ini paling terguncang sebagai respons (sebagian) dari pembalikan arus modal asing karena The Fed hendak mengurangi kebijakan quantitative easing (tapering-off). Lima negara itu kemudian disebut sebagai""fragile five". The fragile five mempunyai karakteristik yang seragam: inflasi tinggi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, defisit neraca transaksi berjalan, dan defisit fiskal. 

Membangunkan Pemerintah 

Teori standar menyatakan bila di sisi fiskal mengalami kontraksi (inflasi dan perlambatan ekonomi), permintaan total (aggregate demand) akan turun, produksi meredup, dan pengangguran meledak. Sekarang angka penganggguran meningkat daripada tahun lalu. Respons oleh kebijakan moneter mestinya adalah melakukan relaksasi dengan menambah pasokan uang. Caranya: tingkat bunga diturunkan (bukan malah dinaikkan) untuk menstimulasi pengeluaran investasi dan meningkatkan permintaan total.

Kerangka pikir inilah yang diikuti Afsel, tapi dihindari oleh BI. BI berpikir saat ini ekonomi memang harus dilambatkan karena inflasi terlalu tinggi dan defisit neraca transaksi berjalan tidak ada tanda-tanda berkurang. 

Lantas, apakah problem saat ini hanya menjadi tanggung jawab otoritas moneter? Tentu saja tidak. Pemerintah justru harus berada di garda depan karena dua hal. Pertama, persoalan defisit fiskal dan neraca perdagangan merupakan dosa pemerintah yang dicicil sejak lama. Industri migas tidak diurus dari hulu sampai hilir hingga menciptakan ketergantungan impor yang tinggi.

Kedua, kebijakan relaksasi moneter tidak akan meningkatkan investasi dan memperbaiki struktur produksi jika agenda penyusunan insentif fiskal, pembangunan infrastruktur, dan aneka pekerjaan rumah untuk meningkatkan iklim investasi kurang sigap dijalankan pemerintah.

Jika pada kasus ini BI salah membaca peta, pemerintah punya jejak rekam yang lebih buruk: tak punya hasrat membaca atlas sama sekali. Pemerintah sudah saatnya siuman dan sigap berjibaku menjalankan amanah yang disandangnya, bukan malah asyik bersenandung dan membikin aneka forum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar