BLUSUKAN adalah salah satu
ciri khas kepemimpinan yang dipopulerkan Jokowi dan kini mulai ditiru oleh
beberapa kepala daerah. Blusukan membuat banyak yang senang, terutama
rakyat jelata.
Namun, ada pula yang sinis. Staf
Khusus Presiden Heru Lelono, misalnya, menyebut blusukan
yang berasal dari bahasa Jawa itu cocoknya dipakai untuk menjelaskan
seorang pengangguran.
Terlepas dari ada komentar
bernada sinis semacam itu, Joko Widodo alias Jokowi hanya menjelaskan bahwa
blusukan yang ia lakukan terkait dengan manajemen
pemerintahan. Tujuannya dalam rangka mendengar masalah di masyarakat
sekaligus menguasai medan. Menurut dia, dari blusukan itu
lahirlah Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP),
penanganan masalah di Waduk Pluit, serta rehabilitasi rusun Marunda bisa
tertangani.
Setelah kebijakan ini diambil,
demikian Jokowi, blusukan juga dilakukan sebagai manajemen
pengawasan atau controlling. Dengan begitu, pihaknya bisa mengecek
jalannya kebijakan yang sudah diambil secara langsung di lapangan. Proses
manajemen ala Jokowi memang diawali lewat blusukan dan ia
pun tidak mempermasalahkan jika dengan blusukan itu
dirinya dianggap sebagai pengangguran.
Mayoritas warga yang bermukim di
kawasan padat, kumuh, dan sering kali terlupakan itu dipastikan senang
di-blusuki dan didengar curhatnya oleh orang nomor satu di kota dengan
jumlah penduduk yang fantastik ini. Saat ini, di malam hari jumlah penduduk
Jakarta ditaksir 11 juta-12 juta jiwa. Sementara pada siang hari, jumlah mereka
yang beraktivitas di Jakarta melonjak menjadi 12-14 juta jiwa.
Lebih dari 55 tahun lalu,
antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis bahwa Sao Paolo,
Brasilia, ”berkembang demikian cepatnya sehingga tak mungkin melakukan
perencanaan atasnya”. Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini
baru berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan apa kesan mendiang Levi
Strauss andai ia berkunjung ke Jakarta saat ini.
Status Jakarta sebagai ibu kota
negara, sekaligus tempat kegiatan administratif dan bisnis, juga ditengarai
mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di Jakarta.
Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta tampaknya harus menjadi
bagian dari prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk
pemerintah pusat untuk lima tahun ke depan. Pelibatan warga dalam
perencanaan adalah sebuah keharusan, termasuk dalam kemungkinan merevisi
RTRW 2010-2030.
Shakespeare pernah
memformulasikan sebuah kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban,
”Apakah kota itu, kalau bukan penduduknya.” Masyarakat luas, terutama dari
lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas penduduk kota adalah
mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam
perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi biasanya
menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Keterlibatan warga
Idealnya, penggalian dan
pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli perancang kota dan
penentu kebijakan semata. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota
sering kali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu
mengeluarkan ide-ide kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang
kotanya.
Beberapa praktik cerdas,
termasuk dari mancanegara, patut dipertimbangkan. Dari Porto Alegre,
Brasil, berupa sebuah model inovatif dan partisipatif, dalam
bentuk Orcamento Participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam
perencanaan pendapatan dan belanja kota. Dalam kerangka OP, kota dibagi
dalam sub-regions, di mana warga dalam forum-forum lokal dan regional
berdiskusi tentang permasalahan kota serta mencarikan solusinya bersama
dengan pemerintah dan legislatif.
Selain mendapat informasi
tentang sistem baru, warga dibekali brosur 30 halaman tentang fungsi dan
haknya sebagai warga kota. Konon, 85 persen warga Porto Alegre memahami OP
dan sekitar 20.000 warga terlibat aktif dalam kepentingan dan melakukan
konseling.
Dari ratusan delegasi forum,
dipilih 40 orang sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan
keuntungan pemerintah kota. Aneka usulan dari 21 forum kota dirangkum dalam
rancangan anggaran pendapatan dan belanja yang diserahkan oleh gubernur
terpilih kepada Dewan Kota. Dewan Kota bertindak sebagai satu-satunya
instansi yang berhak memutuskan anggaran pendapatan dan belanja.
Sebagian besar dana itu
diinvestasikan bagi kemaslahatan lapis sosial bawah, misalnya untuk kawasan
kumuh. Alhasil, kini sebagian besar lapisan sosial ini telah terlayani
infrastruktur kota. Sebutlah seperti ketersediaan air minum, kanalisasi,
jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat
transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah.
Suksesnya ”Model Porto Alegre”
telah menjadi acuan ratusan Dewan Kota di Brasil dan beberapa negara
Amerika Latin. Dalam kaitan ini, model demokrasi representatif-prosedural
semakin kehilangan pamor dibandingkan dengan keterlibatan langsung warga
kota lewat OP.
Blusukan model Jokowi, plus
OP sesuai konteks Jakarta yang memiliki Dewan Kota, mungkin bisa menjadi
terobosan dalam mengatasi timbunan masalah yang ada saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar