WAFATNYA
Nelson Mandela pada 5 Desember 2013 kemarin meninggalkan banyak
”warisan” (legacy) bukan hanya
bagi Afrika Selatan, melainkan juga dunia, termasuk Indonesia.
Jelas, Mandela bakal terus
dikenang sebagai tokoh karismatik yang berhasil menumbangkan rezim
apartheid di Afrika Selatan, yang selanjutnya mengantarkan negerinya ke
dalam demokrasi.
Bagi Indonesia, warisan Mandela
lebih daripada sekadar kenangan manis dan penuh hormat tentang kegemarannya
memakai baju batik lengan panjang. Banyak juga cara pandang dan sikap
politik Mandela yang sangat relevan dan kontekstual yang semestinya dapat
diaktualisasikan di Tanah Air.
Apartheid bentuk baru
Berefleksi dari penumbangan
apartheid, warisan Mandela dalam hal ini masih menjadi agenda yang mesti
diperjuangkan. Masih bertahannya berbagai bentuk politik apartheid,
termasuk yang subtil sekalipun, menjadi tugas para pemimpin di banyak
negara dan masyarakat sipil untuk menghapuskannya.
Di negara tertentu di muka bumi,
masih terdapat berbagai bentuk politik dan kebijakan apartheid, yang
memisahkan golongan warga tertentu atas dasar warna kulit, ras (atau suku),
dan bahkan agama.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter,
misalnya, pernah menulis buku best seller yang pasti mengingatkan
orang kepada legacy Mandela yang perlu menjadi agenda perjuangan
hari ini dan ke depan. Buku itu secara tegas menggunakan istilah apartheid: Palestine:
Peace not Apartheid (2006).
Buku ini begitu diluncurkan ke
publik segera menimbulkan kemarahan banyak warga Israel dan Yahudi yang
serta-merta menuduhnya sebagai tokoh ”anti-Semitisme”. Carter secara
persuasif, tetapi tegas, mengkritik pembangunan tembok di perbatasan Israel
dengan Palestina, yang menurut dia tidak lain merupakan bentuk baru politik
apartheid. Di tengah kritik Carter itu, Pemerintah Israel terus melanjutkan
pembangunan dinding tebal dan tinggi tersebut sampai sekarang.
Pandangan dunia dan sikap politik
apartheid juga tengah meningkat di banyak negara Barat dalam beberapa tahun
terakhir. Terkait banyak dengan krisis dan kemerosotan ekonomi di sejumlah
negara Barat—khususnya di Eropa—kalangan kulit putih dan partai politik
tertentu membangkitkan politik ultra-kanan yang anti-migran dan
anti-Muslim. Sikap politik seperti ini bukan tidak mengandung unsur
apartheid yang menghalangi penciptaan dunia yang lebih damai dan harmonis.
Memaafkan, tidak melupakan
Warisan Mandela utama lainnya
pastilah terkait dengan cara pandang dunia, paradigma dan praksisnya
tentang forgiven but not forgotten’ menyangkut pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang pernah dilakukan rezim penguasa pada masa lampau.
Mandela menjadi korban represi dan penindasan rezim apartheid kulit putih
selama 27 tahun dalam tiga penjara yang berbeda—yang paling angker adalah
penjara Robben Island.
Hanya berkat tekanan
internasional yang bertubi-tubi, Mandela dibebaskan dari penjara pada tahun
1990. Pasca-pembebasan, Mandela bukan tidak sering pula dituduh
lawan-lawannya sebagai ”komunis” dan bahkan ”teroris”. Namun, Mandela tetap
teguh menempuh cara damai bernegosiasi dengan Presiden FW de Klerk untuk
penghapusan apartheid, yang akhirnya berujung pemilu multirasial tahun 1994
yang dimenangi African National Congress (ANC) dan mengantarkannya menjadi
presiden (1994-1999).
Mandela memberikan contoh
tentang ketinggian kebajikan. Alih-alih melakukan pembalasan (revenge)
terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan di masa sebelumnya, Mandela
sebaliknya memberikan pemaafan (forgiven). Inilah sebuah kebajikan yang
walaupun semua agama dan nilai luhur mengajarkan tidak sanggup dilakukan
semua orang.
Pemaafan adalah kunci utama
untuk rekonsiliasi. Tidak ada harmoni dan hidup berdampingan secara damai
jika kelompok-kelompok warga yang berbeda terpenjara dendam kesumat. Dendam
yang terus menyala secara terpendam tak lain adalah bara api dalam hati
yang menutup pintu bagi rekonsiliasi yang tulus (genuine) dan autentik.
Namun, pemaafan tidak berarti
harus melupakan (forgotten). Di
sini Mandela memberikan contoh terbaik dalam menyikapi sejarah.
Peristiwa-peristiwa pahit dan kelam dalam sejarah kemanusiaan mestilah
tidak dilupakan. Sebaliknya, untuk terus diingat anak manusia agar tidak
mengulangi kepahitan dan kenestapaan sejarah. Dari sinilah orang dapat
menjadikan sejarah sebagai pelajaran moral (moral lesson) yang sangat berharga.
Bagi Indonesia, paradigma dan
praksis ”pemaafan tetapi tidak melupakan” merupakan warisan Mandela yang
masih relevan dan kontekstual. Masih ada sejumlah kepahitan sejarah yang
belum terselesaikan sampai sekarang menyangkut korban-korban kemanusiaan,
seperti Kasus Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI),
Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, atau Kasus Mei 1998.
Belajar dari Mandela
Pemerintah Indonesia di bawah
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin belajar dari Mandela. Penulis
pernah menjadi anggota tim yang diutus pemerintahan Gus Dur pada tahun 2000
untuk mengkaji kemungkinan penerapan ”pemaafan tetapi tidak melupakan”.
Hasilnya, setelah melalui perdebatan dan kontroversi, Indonesia akhirnya
memiliki Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) Nomor 27
Tahun 2004. Namun, UU KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah
pimpinan Jimly Asshiddiqie yang menilainya sebagai ”inkonstitusional’ alias
‘bertentangan’ dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Sampai sekarang, para korban
”kejahatan kemanusiaan” dalam kasus-kasus tadi masih berharap
dibangkitkannya kembali UU KKR yang dapat menyelesaikan kepahitan sejarah
masa silam. Jika Indonesia ingin menjaga dan melanjutkan warisan Mandela,
jelas perlu keberanian mengungkapkan kebenaran menyangkut kasus-kasus
pelanggaran kemanusiaan pada masa silam sebelum dapat terwujud pemaafan dan
rekonsiliasi yang sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar