Sabtu, 07 Desember 2013

Walang, Islam, dan Negara

Walang, Islam, dan Negara
Ahmad Syafi’i Mufid  ;   Peneliti Utama Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama 
KORAN SINDO,  07 Desember 2013

  

Berita tentang Walang, pengemis asal Karawang yang tergaruk Satpol PP di bawah Tugu Pancoran, Jakarta Selatan (26/11), yang menyimpan uang Rp25 juta di gerobaknya, membuat kita tercengang! Betapa banyak uang yang ia simpan, padahal Walang hanya seorang pengemis. 

Uang sebesar itu nyaris tak mungkin bisa dimiliki seorang pegawai negeri golongan satu atau buruh pabrik. Yang tak kalah mengejutkan, Walang mengaku penghasilan dari “kerja mengemis”- nya bisa mencapai 200.000–500.000 sehari. Luar biasa! Penghasilan tersebut, jelas lebih besar dari gaji PNS golongan IV E dengan masa kerja 25 tahunan. Fenomena Walang tersebut, jelas sangat mengusik kesadaran kita, khususnya umat Islam. 

Bukan hanya karena Walang beragama Islam, tapi juga karena umat Islam banyak yang meyakini bahwa memberikan uang kepada pengemis adalah sedekah, berapa pun besarnya dan siapa pun pengemisnya. Orang Islam umumnya merujuk sebuah “hadis” yang menyatakan, Berilah sesuatu kepada peminta- minta meski ia naik kuda. 

Terlepas dari perdebatan apakah itu hadis atau bukan, dalam diri umat Islam sudah tertanam “niat baik” untuk memberikan sedekah kepada para pengemis. Dan perbuatan itu adalah mulia karena mengikuti sunah Rasul. Kondisi itulah yang tampaknya dimanfaatkan para pengemis. Dan, mereka berhasil memperdaya orang-orang Islam yang memahami hadis tersebut tanpa mempermasalahkan sanaddan konteksnya. 

Tapi betulkah Islam menolerir para pengemis yang mengais rezeki dari belas kasihan orang? Untuk menjawabnya, kita bisa membaca sebuah hadis sahih yang menceritakan pernyataan Rasul terhadap seorang pekerja keras. Suatu ketika, seperti diriwayatkan Bukhari Muslim, ada seorang sahabat Rasul datang terburu-buru ke masjid dan mengikuti salat jamaah. Begitu selesai salat, dia pun langsung pulang terburu-buru. 

Usai salat, Rasul bertanya: Mana orang yang tadi datang terlambat? Jawab sahabat: dia sudah pergi lagi. Rasul pun meneruskan pembicaraannya. Ketahuilah wahai para sahabat: dia adalah ahli surga. Para sahabat sontak kaget! Setahu mereka, dia datang dan pulang salat di masjid dengan terburu-buru. Jarang berdoa lama-lama dan tampak tidak khusyuk. Mana mungkin dia ahli surga? Tapi karena yang mengucapkannya Rasul, mau tidak mau para sahabat harus percaya. 

Salah seorang sahabat yang penasaran kemudian “mengintai” orang tersebut untuk mencari tahu perbuatan apakah yang menyebabkannya dijuluki ahli surga? Ternyata setelah sekian hari, pengintai itu tak mendapatkan hasil. Tak ada perbuatan istimewa dari orang itu. Penasaran, sang pengintai itu akhirnya bertanya. “Wahai saudaraku, apa yang kau perbuat dalam ibadahmu sehingga Rasul menjulukimu ahli surga?”. Orang itu diam. “Tak ada hal istimewa dalam perbuatanku. 

Aku hanya bekerja keras untuk menghidupi keluargaku, aku tak pernah iri kepada orang lain, aku tak pernah membicarakan aib orang lain, aku tak pernah merasa kekurangan, dan aku selalu bersyukur atas rezeki yang diberikan kepadaku, berapa pun besarnya. Itu saja. Itu yang aku tak bisa, meski saya rajin ke masjid,” kata sang pengintai. Banyak hadis yang menyatakan, Rasul mengecam orang yang selalu minta belas kasihan orang seperti pengemis. 

Menurut Abdullah bin Umar, Rasul pernah berkata: Seseorang yang tidak henti-hentinya meminta belas kasihan kepada orang lain, di hari kiamat ia akan kehilangan mukanya karena muka orang itu tak berdaging! Hadis ini muncul, tentu saja, terkait dengan perintah Rasul untuk umat Islam agar bekerja keras dalam hidupnya, tak minta belas kasihan kepada orang lain. Banyak sekali ayat Alquran yang menyatakan orang Islam harus bekerja keras untuk masa depan, 

bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk kemaslahatan umat. Rasul menyatakan, tanamlah pohon kurma sekarang, meski kau akan mati besok! Perintah Rasul tersebut jelas mengindikasikan bahwa orang harus bekerja keras, baik untuk dirinya maupun orang lain. Yang jelas, bekerja adalah amanat dan kewajiban hidup. Itulah sebabnya, nabi sangat mengecam peminta-minta. 

Dr Zakky Mubarak dalam bukunya, Riyadhul Mu’min (2009), mengungkapkan bahwa meminta-minta atau mengemis hukumnya haram. Alasannya, para pengemis sekarang motifnya adalah mendapatkan uang dengan mudah. Mereka adalah pemalas. Karena itu, tulis Zakky, orang yang memberi uang kepada para pemalas juga haram karena tidak mendidik. Dengan demikian, rencana pengenaan denda terhadap orang yang mengasih uang kepada pengemis di Jakarta, seperti dinyatakan Gubernur Jokowi, tepat sekali. 

Karena mengemis, khususnya di Jakarta, bukanlah pekerjaan tapi rongrongan. Tapi, apakah “memintaminta” dilarang sama sekali oleh Islam. Tidak juga. Islam masih memberikan “kesempatan” kepada orang yang ingin meminta- minta, asalkan: pertama, orang itu punya tanggungan besar yang tak sanggup dipenuhinya seperti utang yang amat besar dan tak terbayar; kedua, orang itu terkena musibah sehingga seluruh hartanya habis; dan ketiga, orang itu sangat membutuhkan sesuatu tapi dia tak bisa memenuhi kebutuhannya. 

Barangkali, konteks “hadis” di atas–di mana orang Islam kudu memberikan sesuatu kepada pengemisterkait dengan tiga faktor tersebut. Sayangnya, tiga faktor itu yang kemudian direkayasa “Walang” dan teman- temannya yang “seprofesi” di Jakarta. Mereka pura-pura sakit, tak berdaya, dan cacat sehingga memungkinkan keberadaannya mendapat simpati dari masyarakat. 

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, orang-orang yang miskin dan telantar harus menjadi tanggung jawab negara. Pasal 34 UUD 45 menyebutkan: Fakir miskin dan anakanak yang telantar dipelihara oleh negara. Pasal 34 ini seharusnya menjadi prioritas utama dalam implementasinya. Tapi, di Indonesia, negeri dengan populasi penduduk muslim terbanyak di dunia, Pasal 34 tampaknya belum sampai tahap implementatif, baru imajinatif, meski tertera dalam UUD. 

Kenapa terjadi? Karena Indonesia belum melaksanakan Pasal 33 UUD 45, di mana “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Beda halnya di negara sekuler seperti Inggris dan Australia. Orang miskin dan pengangguran mendapat tunjangan hidup. Mereka tak akan mati kelaparan karena sudah ada “uang subsidi” untuk menjamin kehidupan sehari-harinya. Karena itu, menjadi pengemis di Inggris atau Australia sangat sulit. Masyarakat pun memicingkan mata kepada pengemis. 

Ini berbeda dengan di Indonesia. Pengemis mendapat tempat nyaman karena banyak pihak mau melindunginya, bahkan menghormati profesi tersebut. Akibatnya, banyak orang berani memanipulasi bentuk fisiknya agar layak menjadi pengemis. Dan, menjadi pengemis adalah sebuah metode untuk mendapatkan uang secara mudah dengan mengelabui “rasa belas kasihan” orang lain. Karena itu, pengemis macam ini merupakan perbuatan tercela. 

Namun, bila kita melihat dengan perspektif yang lebih jauh, munculnya “pasukan pengemis” di Jakarta dan kotakota besar lainnya, sebetulnya merupakan cermin “amburadulnya” moda sosial, ekonomi, dan politik bangsa Indonesia sendiri. Konstruksi sosial, ekonomi, dan politik yang jauh dari “integritas etika dan moral” menjadikan sistem nilai masyarakat rusak. 

Negara dijajah oleh elit-elit ekonomi dan politik yang korup. Hasilnya, korupsi tak hanya menyebar di perkantoran, tapi juga di jalan-jalan. Walang dengan teman-temannya memanfaatkan kondisi tersebut. Tanpa ada rekonstruksi sosial, ekonomi, dan politik yang adil di seluruh negeri ini, niscaya “walang-walang” akan makin bertebaran! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar