Kamis, 05 Desember 2013

Wak Lihun

Wak Lihun
Idrus F Shahab  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  04 Desember 2013

  

Selepas salat isya, Wak Lihun terpaku di tepi jalan. Di hadapannya terbentang zebra cross dengan warna putih yang pudar. Tapi hatinya mungkret, tidak percaya pada korneanya yang butek dan tengah menunggu operasi katarak gratis yang dijanjikan habis Lebaran Haji tahun ini. 

Telinganya yang tajam menangkap, jalan itu mengaum dahsyat: semua kendaraan bermotor melintas sambil tancap gas. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit Wak Lihun berdiri mematung di pinggir jalan, sampai akhirnya seorang lelaki tak dikenal yang berperawakan kekar muncul dari kegelapan, tersenyum kepadanya, mengajaknya menyeberang bersama. 

Malaikatkah ia? Yang jelas, menyeberang jalan raya di Jakarta membutuhkan keberanian luar biasa--lebih tepat lagi, kenekatan-seperti yang dimiliki lelaki misterius itu. Begitu lampu lalu lintas yang jaraknya sekitar 70 meter dari tempat Wak Lihun berdiri itu bersinar hijau, para penyeberang serta-merta harus menghadapi barisan berani mati: sejumlah sepeda motor melesat bagai puluhan anak panah dilepas dari busurnya, menerjang, menyapu apa saja yang berani menghadang di depannya. Mereka barisan penyapu ranjau yang seakan-akan berfungsi membersihkan jalan bagi kendaraan beroda empat yang juga bergerak dengan kecepatan tinggi. 

Di jalan raya, doktrin survival of the fittest menjulang seperti Monumen Nasional, dengan para penyeberang sebagai spesies terlemah yang kalah kuat-kalah cepat dibanding kendaraan-kendaraan itu. Di mata spesies yang nyaris punah ini, sepeda motor dan mobil sama saja: selalu bahu-membahu mendominasi setiap titik di atas aspal hitam itu. Kalau mobil merupakan pasukan utama, sepeda motor ibarat laskar penyapu ranjau. 

Berbeda dengan para penyeberang yang kerap melambangkan kelambanan gerak, dengan kapasitasnya menaklukkan waktu dan ruang, kendaraan bermotor merupakan pertanda agresivitas sekaligus progress. Ya, dalam "rantai makanan" di jalan raya, terpeta sebuah hierarki--dengan Metro Mini, si bongsor predator utama, pada puncaknya, dan para penyeberang pada kaki piramida ini. 

Jakarta, kota ini memang tidak dibangun untuk orang-orang yang kalah dan suka memandang masa lalu dengan nostalgia. Jika penyair Sitor Situmorang mengenang Kota Paris dengan kalimat "di udara dingin sejarah mengaum", Wak Lihun senang mengingat-ingat bagian kota ini dengan sederhana: lapangan sepak bola yang telah menjadi kompleks mal yang ramai, kebun karet yang menjadi barisan apartemen, dan sepasang empang besar di belakangnya yang telah disulap menjadi lahan parkir luas beraspal. 

Dalam kenangannya yang semakin ketinggalan zaman itu, kita dapat menangkap apa yang disampaikan oleh novelis eksistensialis Albert Camus dalam risalahnya "Sebuah Petunjuk untuk Kota-kota tanpa Masa Lalu". Wak Lihun melihat lingkungannya seperti disulap jadi ruang terbuka pameran poster-poster orang asing, dengan lambang dan bendera partai pendukungnya. Orang-orang asing, tanpa sejarah, ini menawarkan sejumlah janji: memperbaiki lingkungan, iklim usaha, layanan kesehatan, dan lain-lain. Aneh. 

Jakarta semakin luas, tapi ruang gerak Wak Lihun menyempit. Malam berikutnya, Wak Lihun kembali terpaku di tepi jalan. Di depan zebra cross, menunggu seseorang yang tersenyum lalu mengajaknya menyeberang bersama. Malaikatkah ia? Atau sekadar harapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar