Selepas salat isya, Wak Lihun terpaku di tepi
jalan. Di hadapannya terbentang zebra cross dengan warna putih yang pudar.
Tapi hatinya mungkret, tidak percaya pada korneanya yang butek dan tengah
menunggu operasi katarak gratis yang dijanjikan habis Lebaran Haji tahun
ini.
Telinganya
yang tajam menangkap, jalan itu mengaum dahsyat: semua kendaraan bermotor
melintas sambil tancap gas. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit Wak
Lihun berdiri mematung di pinggir jalan, sampai akhirnya seorang lelaki tak
dikenal yang berperawakan kekar muncul dari kegelapan, tersenyum kepadanya,
mengajaknya menyeberang bersama.
Malaikatkah
ia? Yang jelas, menyeberang jalan raya di Jakarta membutuhkan keberanian
luar biasa--lebih tepat lagi, kenekatan-seperti yang dimiliki lelaki
misterius itu. Begitu lampu lalu lintas yang jaraknya sekitar 70 meter dari
tempat Wak Lihun berdiri itu bersinar hijau, para penyeberang serta-merta
harus menghadapi barisan berani mati: sejumlah sepeda motor melesat bagai
puluhan anak panah dilepas dari busurnya, menerjang, menyapu apa saja yang
berani menghadang di depannya. Mereka barisan penyapu ranjau yang
seakan-akan berfungsi membersihkan jalan bagi kendaraan beroda empat yang
juga bergerak dengan kecepatan tinggi.
Di
jalan raya, doktrin survival of the fittest menjulang seperti Monumen
Nasional, dengan para penyeberang sebagai spesies terlemah yang kalah
kuat-kalah cepat dibanding kendaraan-kendaraan itu. Di mata spesies yang
nyaris punah ini, sepeda motor dan mobil sama saja: selalu bahu-membahu
mendominasi setiap titik di atas aspal hitam itu. Kalau mobil merupakan
pasukan utama, sepeda motor ibarat laskar penyapu ranjau.
Berbeda
dengan para penyeberang yang kerap melambangkan kelambanan gerak, dengan
kapasitasnya menaklukkan waktu dan ruang, kendaraan bermotor merupakan
pertanda agresivitas sekaligus progress. Ya, dalam "rantai
makanan" di jalan raya, terpeta sebuah hierarki--dengan Metro Mini, si
bongsor predator utama, pada puncaknya, dan para penyeberang pada kaki
piramida ini.
Jakarta,
kota ini memang tidak dibangun untuk orang-orang yang kalah dan suka
memandang masa lalu dengan nostalgia. Jika penyair Sitor Situmorang
mengenang Kota Paris dengan kalimat "di udara dingin sejarah
mengaum", Wak Lihun senang mengingat-ingat bagian kota ini dengan
sederhana: lapangan sepak bola yang telah menjadi kompleks mal yang ramai,
kebun karet yang menjadi barisan apartemen, dan sepasang empang besar di
belakangnya yang telah disulap menjadi lahan parkir luas beraspal.
Dalam
kenangannya yang semakin ketinggalan zaman itu, kita dapat menangkap apa
yang disampaikan oleh novelis eksistensialis Albert Camus dalam risalahnya
"Sebuah Petunjuk untuk Kota-kota tanpa Masa Lalu". Wak Lihun
melihat lingkungannya seperti disulap jadi ruang terbuka pameran poster-poster
orang asing, dengan lambang dan bendera partai pendukungnya. Orang-orang
asing, tanpa sejarah, ini menawarkan sejumlah janji: memperbaiki
lingkungan, iklim usaha, layanan kesehatan, dan lain-lain. Aneh.
Jakarta
semakin luas, tapi ruang gerak Wak Lihun menyempit. Malam berikutnya, Wak
Lihun kembali terpaku di tepi jalan. Di depan zebra cross, menunggu
seseorang yang tersenyum lalu mengajaknya menyeberang bersama. Malaikatkah
ia? Atau sekadar harapan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar