Hampir setiap hari melewati daerah Kelapa
Gading yang merupakan wilayah bisnis tersibuk di Jakarta Utara, tepatnya di
Jl. Boulevard Raya dan Jl. Boulevard Barat, saya menemukan pemandangan
janggal yang mencerminkan wajah transportasi Jakarta. Sepanjang jalur
metropolitan itu berjejer pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta,
apartemen, tempat hiburan dan kuliner, serta gedung-gedung perkantoran yang
seolah-olah bersaing dengan rapatnya kendaraan bermotor yang melintas
setiap harinya.
Sebagai wilayah tersibuk tentunya Kelapa Gading menjadi tempat yang selalu
ramai dikunjungi oleh banyak orang baik dari dalam maupun luar Jakarta.
Mobilitas orang yang sangat tinggi di jalur tersebut tidak diikuti dengan
ketersediaan sarana transportasi umum yang memadai. Banyak angkutan kota
(angkot) yang lalu-lalang di sana, namun ironisnya hanya tersedia satu
halte bus sebagai tempat transit penumpang di dua jalur tersebut. Bisa
dibanyangkan bagaimana repotnya sopir angkot menaikkan dan menurunkan
penumpangnya. Begitu juga kesusahan para penumpang yang ingin menggunakan
transportasi umum.
Dalam kondisi tersebut, hanya ada dua pilihan bagi para penumpang, pertama
harus berjalan kaki sangat jauh untuk sampai ke halte bus, dan hal ini
tidak mungkin dilakukan oleh penumpang. Sehingga mereka mengambil pilihan
kedua, yaitu memberhentikan angkot di sembarang tempat. Hasilnya, kemacetan
tidak bisa dihindari.
Contoh di atas hanyalah sekelumit fakta yang tampak jelas di mata
masyarakat, dan hal serupa sudah biasa terjadi di wilayah Jakarta lainnya.
Fakta tersebut mencerminkan bahwa kemacetan parah di Jakarta turut
disumbang oleh ketidaktersediaan sarana transit bagi para penumpang
angkutan umum. Karena kondisi ini diciptakan oleh sistem yang ada, maka
pemandangan itu menjadi perilaku umum penumpang dan sopir angkot di
Jakarta. Sopir terbiasa berhenti di sembarang tempat, dan penumpang naik
turun angkot tidak pada tempatnya. Hal itu lah yang disebut sebagai budaya,
budaya yang dipengaruhi oleh sistem yang salah.
Merujuk pada seorang ahli antropologi A. R. Radcliffe Bown (1881-1955)
bahwa kebudayaan dibangun dari struktur dan sistem yang bekerja bersama
mengatur kehidupan seseorang. Karena ada struktur dan sistem transportasi
yang mengatur, maka orang akan berperilaku sebagaimana yang diatur oleh
sistem tadi. Jika sistem yang mengatur itu salah, maka perilaku orang-orang
di dalamnya pun akan salah. Ketika halte bus sebagai tempat transit naik
turunnya penumpang tidak ada, atau tidak digunakan sebagaimana mestinya,
maka fungsi halte sebagai urat nadi transportasi sudah terputus.
Ditambah dengan tidak adanya infrastruktur yang memadai, seperti tempat
parkir di jalan raya yang terdapat pasar, warung kuliner, kios loak, dan
tempat keramaian lainnya, semakin memperparah kemacetan Jakarta. Lantaran
tidak menemukan tempat parkir, maka kendaraan terpaksa diparkir di pinggir
jalan. Oleh karena itu, persoalan infrastruktur sangat penting diperhatikan
oleh pemerintah untuk mengurai kemacetan.
Seperti apapun kebijakan yang dikeluarkan, ketika unsur materialnya
(infrastruktur) belum tersedia, maka peraturan itu tidak akan berdampak
apa-apa. Kurang lebih seperti yang dimaksud oleh Martin Harris (1977)
sebagai materialisme kebudayaan, bahwa basis utama kebudayaan itu adalah
materi (sarana/ infrastruktur), baru dilengkapi dengan suprastruktur
(prasarana) seperti peraturan dan penindakan pelanggaran di jalan raya.
Saya pikir serajin apapun polisi lalu lintas (Polantas) melakukan razia dan
menindak pelanggaran, tidak akan membuat jera para pengguna jalan yang
berhadapan dengan kondisi lalu lintas yang memang semrawut. Para pengguna
jalan bagaimanapun akan mencari celah untuk menghindari kemacetan, bisa
dengan melawan arah, memotong jalan, ataupun masuk jalur busway, karena
mereka harus terburu-buru, sedangkan kondisi jalan begitu macetnya. Hal ini
yang tidak dikaji oleh pemerintah, kebijakan dikeluarkan tanpa melihat
permasalahan dasar transportasi di Jakarta, sehingga tidak ada perbaikan
dari waktu ke waktu.
Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang tidak menginginkan kondisi lalu
lintas yang lancar, ada keteraturan di jalan, dan tanpa pelanggaran. Semua
orang memiliki ide dan cita-cita yang sama seperti itu, dan tidak ada
seorang pun sebenarnya mau melakukan pelanggaran lalu lintas, tetapi ketika
melihat kemacetan di depan mata, maka dorongan untuk melakukan pelanggaran
itu akan muncul. Hal itulah yang disebut oleh Clifford Geertz (1973)
sebagai ketidak-konsistenan ide, bahwa ide itu bisa berbeda dengan perilaku
seseorang karena melihat realitas empiris (fakta) yang berbeda dengan apa yang
diharapkan oleh idenya tersebut.
Maka sudah seharusnya Pemerintah DKI Jakarta mulai melakukan pembenahan
transportasi berawal dari penyediaan halte dan lahan parkir, hal sepele
yang berdampak besar. Menyediakan sarana transportasi akan bisa menyelesaikan
persoalan daripada hanya menindak pelanggaran akibat kesemrawutan lalu
lintas. Tinggal tugas Polantas melakukan sosialisasi bagaimana menggunakan
halte dan lahan parkir sebagaimana mestinya kepada masyarakat. Sehingga
kemacetan pun akan terurai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar