Rabu, 11 Desember 2013

Urat Nadi Transportasi Jakarta Terputus

Urat Nadi Transportasi Jakarta Terputus
Mulyadin Permana  ;   Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
OKZONENEWS,  09 Desember 2013

  

Hampir setiap hari melewati daerah Kelapa Gading yang merupakan wilayah bisnis tersibuk di Jakarta Utara, tepatnya di Jl. Boulevard Raya dan Jl. Boulevard Barat, saya menemukan pemandangan janggal yang mencerminkan wajah transportasi Jakarta. Sepanjang jalur metropolitan itu berjejer pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta, apartemen, tempat hiburan dan kuliner, serta gedung-gedung perkantoran yang seolah-olah bersaing dengan rapatnya kendaraan bermotor yang melintas setiap harinya.

Sebagai wilayah tersibuk tentunya Kelapa Gading menjadi tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh banyak orang baik dari dalam maupun luar Jakarta. Mobilitas orang yang sangat tinggi di jalur tersebut tidak diikuti dengan ketersediaan sarana transportasi umum yang memadai. Banyak angkutan kota (angkot) yang lalu-lalang di sana, namun ironisnya hanya tersedia satu halte bus sebagai tempat transit penumpang di dua jalur tersebut. Bisa dibanyangkan bagaimana repotnya sopir angkot menaikkan dan menurunkan penumpangnya. Begitu juga kesusahan para penumpang yang ingin menggunakan transportasi umum.

Dalam kondisi tersebut, hanya ada dua pilihan bagi para penumpang, pertama harus berjalan kaki sangat jauh untuk sampai ke halte bus, dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh penumpang. Sehingga mereka mengambil pilihan kedua, yaitu memberhentikan angkot di sembarang tempat. Hasilnya, kemacetan tidak bisa dihindari. 

Contoh di atas hanyalah sekelumit fakta yang tampak jelas di mata masyarakat, dan hal serupa sudah biasa terjadi di wilayah Jakarta lainnya. Fakta tersebut mencerminkan bahwa kemacetan parah di Jakarta turut disumbang oleh ketidaktersediaan sarana transit bagi para penumpang angkutan umum. Karena kondisi ini diciptakan oleh sistem yang ada, maka pemandangan itu menjadi perilaku umum penumpang dan sopir angkot di Jakarta. Sopir terbiasa berhenti di sembarang tempat, dan penumpang naik turun angkot tidak pada tempatnya. Hal itu lah yang disebut sebagai budaya, budaya yang dipengaruhi oleh sistem yang salah.

Merujuk pada seorang ahli antropologi A. R. Radcliffe Bown (1881-1955) bahwa kebudayaan dibangun dari struktur dan sistem yang bekerja bersama mengatur kehidupan seseorang. Karena ada struktur dan sistem transportasi yang mengatur, maka orang akan berperilaku sebagaimana yang diatur oleh sistem tadi. Jika sistem yang mengatur itu salah, maka perilaku orang-orang di dalamnya pun akan salah. Ketika halte bus sebagai tempat transit naik turunnya penumpang tidak ada, atau tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka fungsi halte sebagai urat nadi transportasi sudah terputus. 

Ditambah dengan tidak adanya infrastruktur yang memadai, seperti tempat parkir di jalan raya yang terdapat pasar, warung kuliner, kios loak, dan tempat keramaian lainnya, semakin memperparah kemacetan Jakarta. Lantaran tidak menemukan tempat parkir, maka kendaraan terpaksa diparkir di pinggir jalan. Oleh karena itu, persoalan infrastruktur sangat penting diperhatikan oleh pemerintah untuk mengurai kemacetan. 

Seperti apapun kebijakan yang dikeluarkan, ketika unsur materialnya (infrastruktur) belum tersedia, maka peraturan itu tidak akan berdampak apa-apa. Kurang lebih seperti yang dimaksud oleh Martin Harris (1977) sebagai materialisme kebudayaan, bahwa basis utama kebudayaan itu adalah materi (sarana/ infrastruktur), baru dilengkapi dengan suprastruktur (prasarana) seperti peraturan dan penindakan pelanggaran di jalan raya.

Saya pikir serajin apapun polisi lalu lintas (Polantas) melakukan razia dan menindak pelanggaran, tidak akan membuat jera para pengguna jalan yang berhadapan dengan kondisi lalu lintas yang memang semrawut. Para pengguna jalan bagaimanapun akan mencari celah untuk menghindari kemacetan, bisa dengan melawan arah, memotong jalan, ataupun masuk jalur busway, karena mereka harus terburu-buru, sedangkan kondisi jalan begitu macetnya. Hal ini yang tidak dikaji oleh pemerintah, kebijakan dikeluarkan tanpa melihat permasalahan dasar transportasi di Jakarta, sehingga tidak ada perbaikan dari waktu ke waktu.

Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang tidak menginginkan kondisi lalu lintas yang lancar, ada keteraturan di jalan, dan tanpa pelanggaran. Semua orang memiliki ide dan cita-cita yang sama seperti itu, dan tidak ada seorang pun sebenarnya mau melakukan pelanggaran lalu lintas, tetapi ketika melihat kemacetan di depan mata, maka dorongan untuk melakukan pelanggaran itu akan muncul. Hal itulah yang disebut oleh Clifford Geertz (1973) sebagai ketidak-konsistenan ide, bahwa ide itu bisa berbeda dengan perilaku seseorang karena melihat realitas empiris (fakta) yang berbeda dengan apa yang diharapkan oleh idenya tersebut.

Maka sudah seharusnya Pemerintah DKI Jakarta mulai melakukan pembenahan transportasi berawal dari penyediaan halte dan lahan parkir, hal sepele yang berdampak besar. Menyediakan sarana transportasi akan bisa menyelesaikan persoalan daripada hanya menindak pelanggaran akibat kesemrawutan lalu lintas. Tinggal tugas Polantas melakukan sosialisasi bagaimana menggunakan halte dan lahan parkir sebagaimana mestinya kepada masyarakat. Sehingga kemacetan pun akan terurai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar