Demokrasi yang sehat menjadi alternatif
kemajuan bangsa, begitu pula sebaliknya. Jika demokrasi berjalan sesuai
konstitusi, eskalasi politik revolusioner serta mengutamakan prinsip
keadilan, negara akan lebih baik. Diakui atau tidak, demokrasi di negeri
masih setengah hati.
Bahkan, praktiknya jauh dari konstitusi
negara. Banyak sekali "penyembelihan keadilan" dan penyumbatan
sumbusumbu kemajuan bangsa. Ironisnya, yang berkembang justru
"demokrasi prabayar" berlawanan dengan konstitusi dan Pancasila.
Fenomena ini harus segera dibenahi dan
direvolusi untuk memotong praktik demokrasi prabayar karena memburamkan
pemerintah. John Locke secara tegas membagi asas terbentuknya negara,
pactum unionis, yaitu perjanjian antar-individu dan pactum subjektionis,
perjanjian negara yang dibentuknya.
Abraham Lincoln juga berpendapat bahwa
demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat (democracy is government of the people, by the people, for the
people). Ada dua asas pokok tentang demokrasi, yaitu pengakuan partisipasi
rakyat di dalam pemerintahan dan pengakuan martabat manusia.
Hanya, demokrasi di Indonesia berjalan
dengan praktik money politic, jual-beli jabatan. Ini menjadi tesis jelas
bahwa Indonesia berasaskan "demokrasi prabayar." Maka, sudah
saatnya praktik demikian dihentikan, dipotong, dan mengembalikannya kepada
konstitusi dan Pancasila.
Merusak
Demokrasi di Indonesia saat ini bersifat
prabayar. Artinya, para calon pejabat "membayar" dan menyogok
rakyat dengan uang, sembako, dan barang agar terpilih, berkuasa dan
merampok negara. Akibatnya, demokrasi menjadi sangat mahal karena sarat
dengan money politic, kecurangan dan pemerkosaan hak pilih.
Demokrasi prabayar juga tidak akan
menghasilkan pemimpin yang hebat yang bekerja untuk rakyatnya. Mereka palsu
dan tidak sesuai dengan jalan kebenaran. Demokrasi prabayar benar-benar
merusak Indonesia.
Para calon pejabat publik, baik di
eksekutif maupun legislatif, bisa membeli suara rakyatnya. Padahal, uang
yang mereka gunakan berasal dari tindakan kriminal juga, seperti korupsi
dan merampok. Kalau kemudian rakyat menuntut mereka bekerja untuk bangsa,
mereka berkilah sudah ditunaikan pada waktu kampanye, yaitu saat mereka
membayar 100.000 rupiah untuk tiap suara.
Para calo politik menebar uang kepada
rakyat. Setelah jadi pejabat, mereka korupsi gede-gedean untuk
mengembalikan modal. Pemilu menjadi ajang pemerkosaan demokrasi. Sejak
Indonesia merdeka, telah ada sembilan kali.
Semuanya hampir menjadi "transaksi
uang" bukan "transaksi ide/gagasan" para calon pemimpin
dengan rakyat. Padahal, pemimpin yang dihasilkan dari hasil jual-beli
politik pasti korup dan jahat. Jika jahat, hancurlah negara karena
pemimpinnya merusak, suka merampok bukan membangun negara. Pasal 22 E Ayat
1 UUD 1945 berbunyi, "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil."
Namun, kenyataannya masih jauh dari
syaratsyarat itu. Padahal, pemilu bertujuan melaksanakan kedaulatan rakyat,
perwujudan hak asasi politik rakyat, memilih wakil-wakil rakyat yang duduk
di DPR, melaksanakan pergantian personel pemerintahan secara damai, aman,
dan tertib (secara konstitusional).
Pemilu menjamin kesinambungan pembangunan
nasional. Tujuan itulah yang harus dilaksanakan pejabat negara. Akibat
sistem politik dan demokrasi prabayar, banyak tuntutan dan kepentingan
rakyat terabaikan. Hal itu disebabkan rakyat memilih pemimpinnya bukan
karena kualitas, tapi demi keuntungan jangka pendek yang didapat saat
kampanye.
Pendidikan politik yang dihembuskan elite
tidak cerdas dan tidak baik. Namun, rakyat dididik menjadi pragmatis karena
diberi uang untuk memilih pemimpin.
Praktik seperti ini tidak hanya pada
pemilu legislatif maupun pilpres, namun juga pilkada di pelosok desa. Di
sini pun terjadi transaksi uang untuk memilih salah satu calon pemimpin.
Hal ini memang tak bisa dibendung karena sudah melembaga dan rakyat maunya
pragmatis.
Solusi
Demokrasi prabayar harus dihentikan
secepatnya. Apalagi, pemilu 2014 sudah di depan mata. Karena pemerintahan
yang dihasilkan melalui kekuatan uang pasti jahat, korupsi dan berbuat
serba instan.
Setidaknya, ada beberapa solusi
revolusioner yang harus segera dilaksanakan. Mengubah demokrasi prabayar
menjadi "pascabayar". Rakyat harus memilih pemimpin yang hebat,
cerdas, dan jujur. Mereka mau bekerja habis-habisan untuk bangsa dan rakyat.
Seharusnya, calon pemimpin bertransaksi
gagasan dan tawaran desain kemajuan bangsa, bukan sekadar jualbeli suara
pemilu. Kemudian, gerakan kaum minimalis politik dan referendum untuk
kepemimpinan nasional serta "rekonstitusi." Hal ini memiliki
basis yurisprudensi yang jelas.
Artinya, kudeta pernah terjadi pada 1945
dan 1966, sedangkan referendum kepemimpinan dan rekonstitusi pada tahun
1998. KPU harus mempertegas Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Dana
Kampanye. Sebab dalam peraturan yang baru dipublikasikan itu, tak ada
ketentuan batasan dana kampanye bagi caleg DPR dan DPRD.
Apalagi sudah disinyalemen, Pemilu 2014
nanti banyak tantangan karena diprediksi sangat mahal dan perputaran uang
dana kampanye akan sangat tinggi. Hal ini dapat terlihat dari kuantitas
batasan sumbangan dana kampanye yang diperbesar dalam UU Partai Politik
maupun UU Pemilu Legislatif.
Jika KPU pusat tegas dan mampu memotong
money politic dengan regulasi cerdas, yang bawah akan meniru. Tak kalah
penting, pelaksanaan sistem kontrol pembiayaan kampanye harus intens.
Standardisasinya harus jelas dan detail.
Tak hanya pembatasan atribut kampanye,
namun harus menyangkut semua kekayaan kader parpol dan caleg yang selama
ini belum maksimal. Rezim jahat pelaku demokrasi prabayar harus diganti dengan
pemimpin yang baik.
Dengan demikian, akar permasalahannya
bisa teratasi karena saat ini pelaku politik uang jarang tersentuh hukum.
Gunakan Pemilu 2014 nanti menjadi alternatif nyata untuk memilih pemimpin
adil sesuai harapan rakyat.
Para pejabat harus punya nasionalisme dan
komitmen tinggi sehingga dalam setiap kebijakannya lebih mengutamakan
kepentingan rakyat daripada mengikuti sistem ekonomi liberal yang
menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Demokrasi prabayar
tak akan berhenti jika tak ada ketegasan dan tindakan revolusioner
pemerintah.
Semua kalangan harus menolak politik
uang. Demokrasi prabayar harus segera diselesasikan secepatnya. Kalau tidak
sekarang, kapan lagi? Walau demokrasi bukan segalanya, tapi segalanya
berawal dari sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar