Seluruh dunia berduka.
Seorang pejuang antirasialis, Nelson Mandela, wafat, Kamis (5/12) lalu.
Hari itu juga Presiden Afrika Selatan (Afsel) Jacob Zuma mengabarkan
kematian Mandela melalui siaran televisi nasional setempat. Ini dilansir
media massa sedunia.
Beberapa bulan terakhir, Mandela memang
sakit parah. Berulang kali ia keluar masuk rumah sakit untuk perawatan.
Nasib berkata lain, di ujung usia tuanya, penyakit paru-paru kronis
merenggut nyawanya.
Jika kita ingat kembali, kedekatan
Madiba–panggilan akrab Nelson Mandela–dengan Indonesia memang panjang.
Sekian puluh tahun silam, Madiba pernah hadir dalam Konferensi Asia Afrika
(KAA) 1955 di Bandung. Waktu itu ia sebagai Ketua ANC (Kongres Nasional
Afrika), sebuah organisasi yang memotori perjuangan Apartheid Afsel.
Madiba kagum pada Presiden Soekarno. KAA
dianggap awal kebangkitan kutub dunia ketiga yang terdiri atas
negara-negara miskin Asia-Afrika atau negara lain yang masih tertindas
kolonialisme. Soekarno sebagai “juru bicara” dengan lantang berteriak
“Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”.
Sepulang dari KAA 1955 di Bandung, darah
muda Madiba bergolak. Melalui organisasi ANC ia melancarkan unjuk rasa,
boikot, mogok kerja, dan pembakaran puluhan ribu paspor Afrikaner.
Perlawanan Madiba membuat pemerintah kolonial Inggris di Afesel berang.
Segregasi di Afsel dikenal sebagai
Apartheid. Dalam Apartheid, warga kulit hitam tidak bisa memilih atau
memiliki pekerjaan tertentu. Terjadi diskrimatif ketat antara warga
berkulit hitam dan berkulit putih. Warga kulit putih sebagai penguasa mengatur
permukiman kulit hitam di kawasan terpisah. Kawasan itu dinamakan Homelands
atau Bantustan. Pernikahan campur antara pasangan kulit hitam dan putih
dilarang.
Jika ingin keluar kawasan Homelands,
setiap warga kulit hitam harus membawa paspor. Kenyataan rasis ini membuat
Nelson Mandela marah. Kisah perjuangan Nelson Mandela memang tragis.
Akhirnya, pemerintahan kolonial Inggris menjebloskan Mandela selama 18
tahun di penjara Robben Island dari vonis penjara 27 tahun.
Setelah menolak pembebasan bersyarat
dengan menghentikan perjuangan bersenjata pada Februari 1985, akhirnya ia
dibebaskan pada 11 Februari 1990 atas perintah Presiden Frederik Willem de
Klerk. Saat itu ia berusia 74 tahun. Saat itu, Presiden Afsel mendapat
tekanan dunia internasional. Inilah masa punahnya Apartheid sebagai sistem
diskriminasi dan pemisahan rasis yang berkuasa di Afsel dari 1948 hingga
akhirnya dihapuskan awal 1990-an.
Mandela langsung melakukan kunjungan
politik ke beberapa negara. Tak lupa ia ke Indonesia. Itu sekaligus
mengunjungi gedung bersejarah KAA 1955 di Bandung, tempat yang dulu pernah
didatanginya.
Foto
Soekarno
Seperti dikisahkan Sidarto Danusubroto
(sekarang Ketua MPR RI) yang waktu itu Kapolda Jawa Barat (1988-1991), ia
menemani Mandela ke Museum Asia Afrika. Mandela sempat bertanya, “Where is the picture of Soekarno.
Every leaders from Asia Africa came to Bandung because of Soekarno. Where
is his picture?”
Itulah pertanyaan yang sulit terjawab
ketika Mandela melihat tidak adanya foto Soekarno tergantung di dinding
museum. Maklum saja, tahun 1990 adalah masa Orde Baru berkuasa. Segala
sesuatu yang “berbau” Soekarno turut disingkirkan.
Keterkaitan Mandela dengan Indonesia cukup
kental. Selain pengagum Soekarno, hampir tiap kesempatan ia sering
mengenakan batik Indonesia. Salah satu sumber di Departemen Luar Negeri
(Deplu) mengatakan, batik yang digunakannya umumnya hasil perancang Iwan
Tirta. Mandela dapat dimasukkan sebagai duta batik dunia yang mempromosikan
hasil karya Indonesia. Batik buatan Indonesia menjadi busana kesehariannya.
Satu keunikan lain, entah disengaja atau
tidak, lambang Afsel hampir mirip lambang negara Indonesia, yaitu burung
garuda. Semua itu mungkin karena kedekatan batin Mandela dengan Indonesia.
Presiden
Satu Periode
Tahun 1993, Mandela mendapat Nobel
Perdamaian. Pada tahun yang sama dikeluarkan undang-undang baru Afsel yang
mengakui persamaan hak warga kulit putih dan kulit hitam disahkan.
Tahun 1994, diadakan pemilihan umum
(pemilu) kepresidenan. Untuk pertama kalinya, warga kulit hitam berhasil
menang. Nelson Mandela diangkat sebagai presiden. Menyadari keterbatasan
usia, ia hanya menjabat satu periode, meski rakyat Afsel menginginkannya
kembali menjadi presiden. "Biar yang muda menggantikanku. Itu karena
dia lebih paham politik dan ekonomi saat ini," ujar Mandela.
Setelah masa jabatannya selesai, Nelson
Mandela menjadi advokat untuk berbagai organisasi hak-hak sosial dan
kemanusiaan. Kini ia telah pergi. Kisah pahit getir hak asasi yang
diperjuangkannya telah menginsipirasi dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar