Kita
mungkin tidak akan menjadi sakit atau miskin apabila gagal mendapatkan gadget (peranti) terbaru atau
apabila harga gadget itu terlalu mahal.
Namun, bayangkan bila beras, kedelai, atau gandum hilang di pasaran atau
terlalu mahal untuk dibeli oleh masyarakat miskin atau bahkan kelas
menengah. Hilangnya pasokan pangan ini bukan mustahil. Ini menjadi
keprihatinan politik dari banyak negara, khususnya negara-negara miskin dan
berkembang. Apabila sebuah negara tidak menyiapkan strategi untuk mengatasi
persoalan pangan di masa mendatang, bisa jadi akan timbul kekacauan di
dalam negeri.
Kira-kira demikianlah posisi politik India dalam pertemuan tingkat menteri
World Trade Organization (WTO) yang berlangsung di Bali lalu. Banyak pihak
di dalam negeri yang merasa Indonesia harus mengikuti India dan mendukung
politik negara itu untuk mempertahankan subsidi demi menjamin keamanan
pangan bagi penduduknya yang besar.
Saat ini penduduk India berjumlah lebih dari 1,23 miliar orang, negara
terbesar kedua di dunia setelah China yang saat ini berpenduduk 1,3 miliar.
Pertumbuhan penduduk India adalah 1,3% per tahun atau sekitar 15 juta orang
setiap tahunnya. Angka ini lebih besar dibandingkan China yang hanya 0,5%
per tahun atau Indonesia yang tumbuh 1,2% per tahun. Pertumbuhan penduduk
tersebut tentu membutuhkan pasokan makanan dan ruang yang juga semakin
besar dari tahun ke tahun.
Masalahnya, banyak petani yang merasa bahwa menanam tanaman pangan seperti
padi tidak lagi menguntungkan. Lahan-lahan pangan yang telah berpuluh tahun
ditanami semakin berkurang kesuburannya sehingga memerlukan pasokan pupuk
yang jauh lebih banyak daripada tanah-tanah yang belum pernah ditanami. Hal
ini menimbulkan biaya pembelian pupuk juga meningkat.
Biaya yang tinggi itu tidak dapat ditutupi dengan harga jual komoditas
karena pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk pertanian luar negeri yang
lebih murah. Murahnya harga produkproduk tersebut terutama berasal dari
negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut telah
menggelontorkan subsidi kepada para petaninya agar produksi pangan tetap
berjalan.
Subsidi itu berbentuk pembelian komoditas langsung oleh pemerintah atau
berupa subsidi biaya produksi seperti pupuk, pestisida dan sebagainya.
Perusahaan- perusahaan agrikultur juga menikmati subsidi ini sehingga
mereka dapat mengontrol harga di pasar. Negaranegara berkembang tidak mampu
memberikan subsidi sebesar yang diberikan negara maju tadi pada petaninya,
sehingga mereka protes.
Persoalannya, dalam negosiasi WTO kemarin strategi subsidi negara maju
tersebut dilirik olehIndia. Beberapa negara, baik negara maju maupun
berkembang yang bergabung di koalisi G-33, menganggap bahwa subsidi macam
itu akan merusak pasar. Mereka tidak terlalu percaya bahwa cadangan pangan
India tidak akan disalahgunakan untuk tujuan lain, misalnya dijualkepasar
negara lain.
Hal ini akan membuat produk-produk pangan dari negara lain tidak dapat
berkompetisi dengan produk India. Seperti halnya negara maju, India juga
dapat mengontrol harga pasar. Oleh sebab itu, ada dua ketakutan utama yang
bisa terjadi. Pertama adalah terjadinya food insecuritykarena fluktuasi
harga pangan yang tak menentu, padahal tren umumnya adalah harga yang
semakin tinggi karena permintaan terus meningkat.
Kedua adalah livelihood insecuritydari produsen pangan karena tingginya
biaya produksi dan ketidakpastian suplai. Kita dapat ambil contoh misalnya
dengan produk pangan beras. Dalam statistik FAO, Indonesia adalah produsen
dan konsumen beras terbesar ketiga pada 2011. Meski demikian, Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) ada 51.000 ton beras yang diimpor pada
bulan September atau senilai USD27 juta atau Rp306,2 miliar.
Jumlah itu lebih tinggi dari impor beras tercatat 36.000 ton atau USD19,1
juta pada bulan Agustus. Jika diakumulasi selama 9 bulan (Januari-
September), impor sudah mencapai 353.485 ton atau USD183,3 juta. Beras yang
kita impor terutama dari Vietnam, dengan volume pada bulan September 18.000
ton atau USD11,1 juta, India dengan laporan 24.000 ton atau USD9,5 juta,
Thailand dengan 5.297 ton atau USD4,1 juta, Pakistan sebesar 1.500 ton atau
USD550.000 dan negara lainnya sebesar 953 ton atau USD1,67 juta.
Negara-negara tersebut adalah lima negara pengekspor beras terbesar dunia.
Sebaliknya, Indonesia adalah negara pengimpor beras terbesar nomor satu di
dunia. Ada banyak faktor yang menyebabkan kita mengalami defisit beras.
Sebab utamanya adalah karena pertumbuhan luas lahan padi kita tidak dapat
mengejar tingkat pertumbuhan konsumsi akibat semakin bertambahnya jumlah
penduduk. Lahan sawah kita justru semakin menurun dari 7,9 juta hektare
menjadi 7,3 juta hektare.
Konversi lahan untuk fungsi nonpertanian juga merupakan rutinitas yang
menggerus suplai pangan. Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
untuk menyiapkan 15 juta hektare lahan menguap entah ke mana. Selain itu,
para petani tertarik mengonversi lahannya untuk jenis tanaman lain yang
lebih kompetitif harganya di pasar.
Di sisi lain, Indonesia tidak lagi punya Bulog yang dapat membeli harga
beras petani dengan harga wajar, sehingga gairah untuk menanam padi tidak
terjaga. Bulog saat ini malah berfungsi sebagai agen pengimpor beras dengan
tujuan agar harga beras tidak terlalu mahal di tingkat konsumen. Jelas hal
ini bukan solusi untuk petani atau peningkatan suplai beras di dalam
negeri.
Dengan keadaan di atas, bagaimanakah sebaiknya sikap kita terhadap Paket
Bali? Mendukung atau menolak? Saya pikir jawabannya tergantung dari
strategi kita ke depan. Bila kita mendukung peran negara yang lebih besar
dengan cara memberikan subsidi, maka penting untuk segera mengurangi
pengeluaran- pengeluaran lain yang tidak memiliki dampak langsung pada
ketahanan pangan.
Misalnya kita perlu mengurangi subsidi bahan bakar energi seperti listrik
untuk kelas menengah atau bahan bakar minyak yang telah membuat defisit
neraca perdagangan kita. Peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan
mungkin juga perlu dikembalikan lagi sehingga petani tidak beralih ke
komoditas lain yang menjanjikan harga jual lebih layak untuk mereka.
Namun, bila kita lebih mendukung pasar sebagai jalan agar penduduk kita
dapat mengakses bahan pangan yang murah, terlepas dari mana produk itu kita
beli, dan agar petani kita dapat bersaing dengan produk pangan sejenis dari
negara-negara lain, maka kita juga punya tanggung jawab untuk meningkatkan
kapasitas keahlian dan manajemen petani dan pengusaha di sektor agrobisnis
di Indonesia.
Pemerintah juga harus mengalokasikan dana yang besar untuk mendorong
penelitian dan mekanisasi di bidang pertanian agar dapat menghasilkan
produk-produk pertanian dengan standar mutu dan kesehatan yang layak. Tak
lupa juga, kita perlu paham ke depan petani memang sudah tidak bisa lagi
beroperasi dengan cara-cara tradisional yang selama ini masih dipraktikkan di
Indonesia.
Akan ada standar traceability
yang ramai dibicarakan di WTO, artinya produk beras Indonesia harus bisa
dilacak sumber bibit dan mekanisme penanaman serta panennya, termasuk agar
bibitnya berasal dari bibit yang sudah tersertifikasi. Dengan sertifikasi
bibit, artinya petani tak bisa lagi menanam beras dari sumber yang tidak
jelas.
Singkat kata, dunia ketahanan pangan di tahun-tahun mendatang mendesak
Indonesia untuk segera memutuskan apa strategi ketahanan pangan kita: mau
diserahkan pada mekanisme pasar saja, atau negara mau tegas melakukan
intervensi?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar