Bisakah Kasus Perkosaan Diberitakan?
Bagja Hidayat ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO, 11 Desember 2013
Seorang korban pemerkosaan akan diperkosa lima kali lagi
ketika melapor kepada polisi, lembaga publik yang menjadi ranah media
massa. Sebelum sampai ke polisi, ia harus bercerita kepada pendampingnya,
kepada pengacaranya agar tak keliru membela, kepada penyidik untuk mencari
fakta hukum, kepada jaksa dan hakim dalam sidang sebagai dasar membuat
vonis terhadap pelaku.
Tentu saja kesaksian mereka harus detail
untuk membuktikan dugaan pemaksaan itu. Mendatangi polisi untuk mencari
keadilan adalah usaha yang membutuhkan keberanian dan kesiapan mental,
karena aibnya diketahui orang banyak. Energinya habis untuk memulihkan
trauma sekaligus membangkitkan keberanian melapor. Dan "korban",
dalam pemerkosaan, juga menyangkut keluarganya.
Jika media dibebaskan meliput kasus ini,
seorang korban juga mesti bersaksi di depan wartawan. Para jurnalis turun
ke lapangan untuk mencari fakta dan memverifikasi sebuah peristiwa yang
menyangkut kepentingan publik. Polisi adalah lembaga publik, pemerkosaan
adalah tindakan kriminal yang melanggar hukum publik. Wawancara oleh
wartawan adalah pemerkosaan berikutnya terhadap korban.
Demikianlah pakem jurnalisme. Prosedur
jurnalistik berlaku umum. Katakanlah, karena terikat kode etik, hasil
verifikasi wartawan itu tak diungkap seluruhnya ke publik, prosedur menemui
korban dan rekonstruksi peristiwa tetap menjadi syarat kredibilitas
liputan. Sekalipun berita yang ia buat sangat memihak korban dan bertujuan
membantu polisi menjerat pelaku.
Dengan tujuan mulia seperti itu pun, tetap
saja media berperan menambah trauma bahkan sebelum beritanya disiarkan. Di
negara mana pun, kode etik hanya memberi batasan memberitakan pemerkosaan
dengan tujuan melindungi korban, seperti menutup identitas (bahkan inisial
dan predikat) serta tak merinci peristiwanya.
Kalau prosedur dan produk jurnalistik hanya
menambah trauma, bahkan korban tak terlindungi, perlukah peristiwa
pemerkosaan disiarkan? Apalagi kemudian diikuti oleh kehebohan karena
pelakunya tokoh publik.
Kebebasan pers punya batas. Polisi India
melarang wartawan meliput sidang pemerkosaan dengan alasan sangat masuk akal:
mengurangi dampak buruk terhadap korban dan menghentikan efek domino kasus
serupa terjadi di lain waktu di lain tempat, mengingat di sana perkosaan
telah menular. Barangkali hanya dalam kasus asusila negara dibolehkan
mengintervensi kebebasan media meliput sebuah peristiwa.
Di sinilah titik krusialnya. Pers tak hanya
menyajikan fakta untuk mengungkap dan mendekati kebenaran. Berita mestilah
pula punya nilai dan manfaat. Apa manfaatnya memberitakan pemerkosaan
kepada korban? Tak ada. Apa manfaatnya bagi publik? Hanya sekadar informasi
agar waspada akan kemungkinan terjadi kasus serupa. Apakah cukup untuk
menghukum pelakunya secara sosial? Belum tentu.
Berita akan menjadi dokumen hitam dalam
hidup para korban pemerkosaan yang tak bisa dihapus, alih-alih membantu
menyembuhkan trauma mereka. Apakah berita pemerkosaan membantu polisi jika
mengambil sudut pandang memburu pelakunya? Pemerkosa adalah manifestasi
kebejatan hewani. Mereka mungkin malah bangga dan menilai vonis itu hanya
keapesan belaka.
Di negara yang hukumnya bisa diandalkan,
kasus asusila bisa dikecualikan diliput media, karena pelaku dipastikan
bisa dihukum. Di negara yang hukumnya lembek, fokus media adalah menyoroti
melempemnya pengusutan oleh para penyidik, hakim, atau jaksa, bukan menyiarkan
kasusnya. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar