Menyedihkan! Begitu
banyak koruptor di negeri kita yang lulusan perguran tinggi. Banyak yang
bergelar doktor, bahkan profesor. Peran dan kiprah perguruan tinggi untuk
membentuk karakter para mahasiswa, sebelum mereka lulus, tentu sangat
penting. Diperlukan "universitas kelas akhirat" untuk
menghasilkan lulusan yang berjiwa mulia yang akan mengabdi kepada
masyarakatnya.
"Universitas
kelas akhirat" bukanlah universitas berlabel agama, melainkan
universitas yang civitas academica-nya takut kepada Allah. Ini tidak
berarti bahwa konsep "universitas kelas dunia" keliru. Hanya,
pembangunan "universitas kelas akhirat" pastilah menuntut kita
bekerja keras sehingga hasil sampingannya, tetapi bukan tujuan, adalah
"universitas kelas dunia".
Kerja keras di dunia
(belajar dan mengajar yang rajin, penelitian yang produktif, dan
sebagainya) adalah ibadah berdimensi akhirat. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kecerdasan emosional dan spiritual ini atau yang sering disebut soft
skills ini ternyata punya peran lebih besar daripada kecerdasan intelektual
dalam keberhasilan seseorang.
Dalam membangun
"universitas kelas akhirat", peran pimpinan universitas atau
fakultas merupakan syarat mutlak, yang salah satu tugasnya adalah memelihara,
bahkan meningkatkan iklim spiritual. Kata kuncinya adalah kejujuran. Fondasi
dari manajemen dalam organisasi apa pun, termasuk perguruan tinggi, adalah
kejujuran.
Tujuan bersifat
spiritual ini lazimnya terkandung, baik tersurat maupun tersirat, dalam
anggaran dasar atau visi universitas, sebagai derivasi tujuan pendidikan
nasional. Sayangnya, di banyak perguruan tinggi di negeri kita dewasa ini agama
atau moralitas dan ilmu pengetahuan seolah berjalan sendiri-sendiri.
Ibadah kepada Allah,
misalnya, di anggap urusan pribadi, bukan urusan universitas atau fakultas.
Karenanya, tidak jarang saat shalat berjamaah, rektor, dekan, atau ketua
jurusan atau program studi di perguruan tinggi berlabel Islam sekalipun,
tidak hadir di masjid atau mushala di lembaga yang dipimpinnya, padahal
mereka juga ada di kampus dan tidak sedang sibuk. Akibatnya, silaturahim di
antara warga kampus juga kurang berkembang.
Albert Einstein dan
Max Planck, dua ilmuwan besar fisika abad ke-20, mengakui pentingnya agama
dalam pencarian ilmu. Mereka yakin bahwa tidak seorang pun mampu
mendapatkan kebenaran tentang alam semesta, jika ia tidak tergugah dan takjub
mengagumi alam semesta. Einstein menyatakan bahwa di antara kedua prinsip
dasar--materi dan energi--ia mencari kebenaran yang sulit dikaji dengan
ilmu fisika.
Menurut Einstein,
kebenaran itu adalah hakikat yang tidak dan selamanya takkan pernah diketahui,
yang kadang mewujud dalam bentuk materi dan kadang dalam bentuk energi. "Itulah yang saya sebut
Tuhan," kata Einstein. Max Planck menandai ilmuwan-ilmuwan besar
dengan ketakjuban dan keyakinannya akan adanya Pencipta alam semesta.
Katanya, "Pada pintu gerbang
mahligai ilmu tertulis, barang siapa tidak cukup beriman tidak
diperbolehkan masuk."
Kita akan
terus-menerus dibombardir dengan perubahan. Solusinya adalah agama yang
memberi makna hidup. John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) menegaskan,
ketika orang-orang diterpa perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual
semakin kuat. Ilmu dan teknologi tidak mengajarkan kepada kita apa makna
hidup. Agamalah yang menjelaskan hal itu (1990:272).
Senada dengan itu,
Wayne W Dyer, sebagaimana dikutip Dr Ibrahim Elfiky dalam bukunya, Terapi
Berpikir Positif, berujar, "Di
pintu spiritual terdapat jalan keluar dari semua persoalan."
Elfiky menegaskan bahwa seseorang yang meng indahkan aspek spiritual selalu
bersikap positif dan tawakal kepada Allah dalam menghadapi setiap persoalan.
Dengan begitu, ia mampu mewujudkan impian hidup dan menjalaninya dengan “ketenteraman
batin dalam setiap aspek kehidupan."
Benar apa yang
dikatakan Naisbitt dan Aburdene dan juga Dyer. Saya teringat seorang ahli
fisika Belanda yang bunuh diri beberapa dekade lalu karena putus asa
terkait dengan anaknya yang idiot yang tidak bisa disembuhkan meskipun ia
sudah berusaha membawa anaknya ke berbagai ahli untuk disembuhkan.
Sebelum
mencabut nyawanya sendiri, sang pakar ini menulis surat kepada seorang
sejawatnya di universitas mengenai kekosongan spiritualnya sehingga ia
mengakhiri hidupnya.
Kurangnya
spiritualitas para lulusan perguruan tinggi membuat mereka rentan terhadap
godaan dunia. Tidak mengherankan jika Mahfud MD, saat menjadi ketua
Mahkamah Konstitusi, dalam orasi ilmiahnya dalam Dies Natalis Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh (31 Agus tus 2012) mengatakan bahwa diorientasi pendidikan
telah membuat bangsa kita rusak (antara lain dengan banyaknya korupsi).
Senada dengan itu,
Rektor Unpad, Prof Ganjar Kurnia, dalam pidatonya dalam wisuda lulusan
Unpad gelombang I tahun akademik 2010/2011, mengingatkan para lulusan akan
kekhawatiran Robert Maynard Hutchins, Rektor University of Chicago, Amerika
Serikat, tahun 1935: "Maka aku
dapat memberi nasihat bagi kalian tentang bahaya dan kesulitan yang akan
kalian hadapi di depan. Masalahnya terutama, menurut pendapatku, bukanlah
masalah ekonomi atau keuangan ... Yang paling aku khawatirkan adalah moral
kalian."
Harus kita akui
bahwa pengajaran di perguruan tinggi dewasa ini baru bisa meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan, tapi belum mampu meningkatkan ketakwaan
kepada Tuhan. Oleh karena itu, civitas
academica seyogianya bersama-sama meningkatkan keimanan mereka di luar
jam-jam kuliah dengan menghadiri aktivitas-aktivitas kerohanian agar mereka
tawakal dan tidak menyalahgunakan ilmu serta keterampilan yang mereka
miliki.
Seorang dosen yang
tawakal takkan mengeluh jika penghasilannya tiba-tiba menurun karena ada
aturan baru yang di terapkan lembaganya atau kementerian tempat lembaganya
bernaung. Ia bersikap cerdas dengan tetap bersyukur karena syukur adalah
syarat untuk merasa bahagia, sementara mengeluh adalah sumber stres yang
bisa menyebabkannya terserang stroke.
Saya percaya bahwa, ceteris
paribus, semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin tinggi pula
intelektualitasnya. Ilmu pengetahuan lebih mudah diserap oleh hati yang
bersih dan jujur. Sebagaimana dikatakan Albert Einstein, "Kebanyakan orang mengatakan bahwa
kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah
yang melahirkannya."
Maka, semua dosen
perguruan tinggi seyogianya menjadi teladan bagi civitas academica lainnya,
khususnya mahasiswa, untuk menjadi manusia yang tidak saja cerdas, tetapi
juga berakhlak mulia. Akademisi harus menjadi cendekiawan yang bermoral
tinggi dan menjadi panutan bagi lingkungannya. Mereka menuntut ilmu,
mengajar, dan meneliti karena cinta, bukan semata-mata untuk mengejar
materi atau jabatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar