Rabu, 11 Desember 2013

Universitas Kelas Akhirat

Universitas Kelas Akhirat
Deddy Mulyana  ;   Guru Besar dan Dekan Fikom Unpad 
REPUBLIKA,  04 Desember 2013

  

Menyedihkan! Begitu banyak koruptor di negeri kita yang lulusan perguran tinggi. Banyak yang bergelar doktor, bahkan profesor. Peran dan kiprah perguruan tinggi untuk membentuk karakter para mahasiswa, sebelum mereka lulus, tentu sangat penting. Diperlukan "universitas kelas akhirat" untuk menghasilkan lulusan yang berjiwa mulia yang akan mengabdi kepada masyarakatnya. 

"Universitas kelas akhirat" bukanlah universitas berlabel agama, melainkan universitas yang civitas academica-nya takut kepada Allah. Ini tidak berarti bahwa konsep "universitas kelas dunia" keliru. Hanya, pembangunan "universitas kelas akhirat" pastilah menuntut kita bekerja keras sehingga hasil sampingannya, tetapi bukan tujuan, adalah "universitas kelas dunia". 

Kerja keras di dunia (belajar dan mengajar yang rajin, penelitian yang produktif, dan sebagainya) adalah ibadah berdimensi akhirat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan spiritual ini atau yang sering disebut soft skills ini ternyata punya peran lebih besar daripada kecerdasan intelektual dalam keberhasilan seseorang. 

Dalam membangun "universitas kelas akhirat", peran pimpinan universitas atau fakultas merupakan syarat mutlak, yang salah satu tugasnya adalah memelihara, bahkan meningkatkan iklim spiritual. Kata kuncinya adalah kejujuran. Fondasi dari manajemen dalam organisasi apa pun, termasuk perguruan tinggi, adalah kejujuran.

Tujuan bersifat spiritual ini lazimnya terkandung, baik tersurat maupun tersirat, dalam anggaran dasar atau visi universitas, sebagai derivasi tujuan pendidikan nasional. Sayangnya, di banyak perguruan tinggi di negeri kita dewasa ini agama atau moralitas dan ilmu pengetahuan seolah berjalan sendiri-sendiri. 
Ibadah kepada Allah, misalnya, di anggap urusan pribadi, bukan urusan universitas atau fakultas. Karenanya, tidak jarang saat shalat berjamaah, rektor, dekan, atau ketua jurusan atau program studi di perguruan tinggi berlabel Islam sekalipun, tidak hadir di masjid atau mushala di lembaga yang dipimpinnya, padahal mereka juga ada di kampus dan tidak sedang sibuk. Akibatnya, silaturahim di antara warga kampus juga kurang berkembang. 

Albert Einstein dan Max Planck, dua ilmuwan besar fisika abad ke-20, mengakui pentingnya agama dalam pencarian ilmu. Mereka yakin bahwa tidak seorang pun mampu mendapatkan kebenaran tentang alam semesta, jika ia tidak tergugah dan takjub mengagumi alam semesta. Einstein menyatakan bahwa di antara kedua prinsip dasar--materi dan energi--ia mencari kebenaran yang sulit dikaji dengan ilmu fisika. 

Menurut Einstein, kebenaran itu adalah hakikat yang tidak dan selamanya takkan pernah diketahui, yang kadang mewujud dalam bentuk materi dan kadang dalam bentuk energi. "Itulah yang saya sebut Tuhan," kata Einstein. Max Planck menandai ilmuwan-ilmuwan besar dengan ketakjuban dan keyakinannya akan adanya Pencipta alam semesta. Katanya, "Pada pintu gerbang mahligai ilmu tertulis, barang siapa tidak cukup beriman tidak diperbolehkan masuk."

Kita akan terus-menerus dibombardir dengan perubahan. Solusinya adalah agama yang memberi makna hidup. John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) menegaskan, ketika orang-orang diterpa perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual semakin kuat. Ilmu dan teknologi tidak mengajarkan kepada kita apa makna hidup. Agamalah yang menjelaskan hal itu (1990:272). 

Senada dengan itu, Wayne W Dyer, sebagaimana dikutip Dr Ibrahim Elfiky dalam bukunya, Terapi Berpikir Positif, berujar, "Di pintu spiritual terdapat jalan keluar dari semua persoalan." Elfiky menegaskan bahwa seseorang yang meng indahkan aspek spiritual selalu bersikap positif dan tawakal kepada Allah dalam menghadapi setiap persoalan. Dengan begitu, ia mampu mewujudkan impian hidup dan menjalaninya dengan “ketenteraman batin dalam setiap aspek kehidupan." 

Benar apa yang dikatakan Naisbitt dan Aburdene dan juga Dyer. Saya teringat seorang ahli fisika Belanda yang bunuh diri beberapa dekade lalu karena putus asa terkait dengan anaknya yang idiot yang tidak bisa disembuhkan meskipun ia sudah berusaha membawa anaknya ke berbagai ahli untuk disembuhkan. 

Sebelum mencabut nyawanya sendiri, sang pakar ini menulis surat kepada seorang sejawatnya di universitas mengenai kekosongan spiritualnya sehingga ia mengakhiri hidupnya.

Kurangnya spiritualitas para lulusan perguruan tinggi membuat mereka rentan terhadap godaan dunia. Tidak mengherankan jika Mahfud MD, saat menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, dalam orasi ilmiahnya dalam Dies Natalis Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (31 Agus tus 2012) mengatakan bahwa diorientasi pendidikan telah membuat bangsa kita rusak (antara lain dengan banyaknya korupsi). 

Senada dengan itu, Rektor Unpad, Prof Ganjar Kurnia, dalam pidatonya dalam wisuda lulusan Unpad gelombang I tahun akademik 2010/2011, mengingatkan para lulusan akan kekhawatiran Robert Maynard Hutchins, Rektor University of Chicago, Amerika Serikat, tahun 1935: "Maka aku dapat memberi nasihat bagi kalian tentang bahaya dan kesulitan yang akan kalian hadapi di depan. Masalahnya terutama, menurut pendapatku, bukanlah masalah ekonomi atau keuangan ... Yang paling aku khawatirkan adalah moral kalian."

Harus kita akui bahwa pengajaran di perguruan tinggi dewasa ini baru bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tapi belum mampu meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Oleh karena itu, civitas academica seyogianya bersama-sama meningkatkan keimanan mereka di luar jam-jam kuliah dengan menghadiri aktivitas-aktivitas kerohanian agar mereka tawakal dan tidak menyalahgunakan ilmu serta keterampilan yang mereka miliki. 

Seorang dosen yang tawakal takkan mengeluh jika penghasilannya tiba-tiba menurun karena ada aturan baru yang di terapkan lembaganya atau kementerian tempat lembaganya bernaung. Ia bersikap cerdas dengan tetap bersyukur karena syukur adalah syarat untuk merasa bahagia, sementara mengeluh adalah sumber stres yang bisa menyebabkannya terserang stroke.  

Saya percaya bahwa, ceteris paribus, semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin tinggi pula intelektualitasnya. Ilmu pengetahuan lebih mudah diserap oleh hati yang bersih dan jujur. Sebagaimana dikatakan Albert Einstein, "Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah yang melahirkannya." 

Maka, semua dosen perguruan tinggi seyogianya menjadi teladan bagi civitas academica lainnya, khususnya mahasiswa, untuk menjadi manusia yang tidak saja cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Akademisi harus menjadi cendekiawan yang bermoral tinggi dan menjadi panutan bagi lingkungannya. Mereka menuntut ilmu, mengajar, dan meneliti karena cinta, bukan semata-mata untuk mengejar materi atau jabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar