Heboh Pekan Kondom Nasional yang
digelar 1-7 Desember 2013 dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia
mengundang polemik. Yang dikritisi bukan soal kondomnya, melainkan objek
kampanye penggunaan kondom yang tidak tepat. Berbagai kalangan masyarakat
sipil menolak keras kampanye kondom yang ditujukan pada pelajar dan
mahasiswa.
Entah apa yang ada di pikiran
Komite Perlindungan AIDS Nasional (KPAN)
dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai penyelenggara acara tersebut
dengan menggelar kampanye penggunaan kondom bagi pelajar dan maha- siswa.
Program ini terlihat miskin kajian. Meski kini program itu dihentikan
setelah mendapat protes dari berbagai kalangan dan teguran dari Kementerian
Sekretariat Kabinet, tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan refleksi
bersama.
Pesan dari kampanye kondom bagi
pelajar dan mahasiswa hingga kini tak jelas. Selain hanya berdampak pada
program yang provokatif, kampanye ini juga pada saat bersamaan justru mengabaikan
data yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan. Kita simak data yang dilansir
oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
awal Agustus 2013. Pengidap HIV dari tahun 2005 hingga Juni 2013 mencapai
108.600 orang. Sedangkan, penderita AIDS dari tahun 2005 hingga Juni 2013
mencapai 43.667 orang.
Dari sisi usia penderita, pada
2010 dalam usia 15-19 tahun (atau di usia pelajar dan mahasiswa) sebanyak
827 orang, 2011 sebanyak 683 orang, 2012 sebanyak 697 orang, dan hingga
Juni 2013 sebanyak 383 orang. Sedangkan di usia 20-24 tahun (atau di usia
maha- siswa/lulusan S-1), pada 2010 sebanyak 3.480 orang, 2011 sebanyak
3.113 orang, 2012 sebanyak 2.964 orang, dan hingga Juni 2013 lalu sebanyak
1.583 orang.
Sedangkan dari sisi faktor
risiko penularan HIV sepanjang 2010 -Juni 2013 didominasi karena hubungan
seks beda jenis (heteroseksual). Seperti pada 2010 sebanyak 6.623 orang, 2011
sebanyak 10.668 orang, 2012 sejumlah 10.825 orang, dan 2013 hingga Juni
lalu seba - nyak 4.953 orang.
Faktor berikutnya yang rentan
penu- laran HIV, yaitu pengguna narkoba suntik (penasun). Di kelompok ini
pada 2010 sebanyak 2.780 orang, 2011 naik menjadi 3.299 orang, 2012 turun
menjadi 2.461 orang, dan 2013 hingga Juni lalu sebanyak 970 orang.
Kemenkes tampaknya dalam melakukan
program kampanye kondom hanya melihat data penularan HIV dari pihak yang
rentan mengalami penularan penyakit yang mematikan ini. Data Kemenkes
memang menunjukkan penularan penyakit ini mayoritas disebabkan oleh
hubungan seksual beda jenis. Padahal, jika disandingkan data dari Kemenkes,
kelompok pelajar dan mahasiswa sejatinya tidak sesignifikan, yakni sebesar
1.089 orang sepanjang 2005-Juni 2013 lalu. Profesi yang rentan justru di kalangan
wiraswasta, yakni 5.131 orang, ibu rumah tangga 5.006 orang, tenaga non
profesional/karyawan 4.521 orang, buruh kasar 1.746 orang, penjaja seks
1.712 orang, serta petani/peternak/ nelayan 1.663 orang.
Data-data di atas semestinya
menjadi pijakan bagi Kemenkes dalam melakukan program kampanye kondom. Kampanye
penggunaan kondom dengan menyasar pelajar dan mahasiswa jelas tidak tepat
sasaran. Data itu menjadi basis untuk membuat kesimpulan yang serampangan
dengan melakukan kampanye kondom terhadap kalangan pelajar dan mahasiswa.
Maksudnya bisa saja untuk memproteksi kalangan muda dari HIV ini. Namun,
proteksi dengan membagi-bagi kondom sama saja "keluar dari kandang
harimau, tapi masuk kandang singa".
Generasi muda yang direprsentasikan
kelompok pelajar dan mahasiswa menjadi etalase masa depan negeri ini. Mempersiapkan
generasi emas bagi bangsa Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak.
Memastikan generasi muda memiliki karakter keindonesiaan menjadi pekerjaan
rumah semua pihak di tengah invasi ekonomi dan budaya di negeri ini.
Persoalan penyakit HIV-AIDS
menjadi salah satu ancaman yang tidak sederhana bagi generasi muda kita. Data-data
menunjukkan angka potensial tertular HIV-AIDS memang berada di generasi emas
kita. Meski harus digarisbawahi, penularan penyakit ini tidak hanya semata-mata
disebabkan hubungan seks, tapi juga terjadi di kalangan pengguna narkoba
suntik.
Merujuk data Badan Narkotika Nasional
(BNN), pengguna narkoba di Indonesia mengalami tren peningkatan. Hingga
2013 ini sedikitya ada 4,9 juta pengguna narkoba di Indonesia. Ironisnya,
pengguna narkoba di usia 10-20 tahun meningkat 2,5 persen. Kondisi ini
semestinya dapat dilihat secara komprehensif terkait dengan persoalan
HIV-AIDS yang memang telah menjadi ancaman bangsa ini. Dua persoalan di
depan mata, yakni perilaku seks bebas pranikah dan penyebaran narkoba yang
kian masif menjadi pintu gerbang menyebarnya HIV-AIDS.
Salah satu ikhtiar yang harus
dilakukan untuk merespons hal tersebut adalah memberi stimulus kognisi,
spiritual, emosional para pelajar dan mahasiswa melalui jalur formal,
seperti melalui pendidikan, lembaga pemerintah, maupun jalur informal, di
antaranya pendekatan kultural dengan menguatkan peran orang tua, masyarakat,
lingkungan, dan agamawan. Program pemerintah juga semestinya terintegrasi
dengan baik melalui lintas kementerian dan sektoral.
Menjadikan program pemerintah sebagai
agenda bersama hingga kini tam- paknya belum terwujud secara maksimal. Menumbuhkan
semangat "kekitaan" dengan masyarakat da lam mem buat program
semestinya dilakukan. Bukan program yang bertendensi
"konfrontasi" seperti penyebaran kondom bagi pelajar dan
mahasiswa. Akibat nya, program tersebut menjadi missleading.
Program yang mulanya dimaksudkan untuk kampanye
hari AIDS itu akhirnya menjadi sia-sia belaka. Karena, memang tidak tepat
sasaran dan justru mengesankan menantang budaya luhur negeri ini.
Last but not least, menyiap-kan
generasi emas negeri ini menjadi pekerjaan semua pihak, baik kalangan
pemerintahan, swasta, agamawan, dan seluruh pemangku kepentingan
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar