ANGKA tinggi golput dalam
Pemilu 2014 masih merupakan ancaman serius. Meski berapa pun angka itu
tidak memengaruhi keabsahan hasil kontestasi, tetap saja menjadi catatan
buruk atas legitimasi hasil ataupun prosesnya. Tren pemilu (pilkada)
beberapa tahun ini yang memperlihatkan kecenderungan kekurangantusiasan
masyarakat mengikuti prosesi tersebut, perlu mendapat perhatian para
pemangku kebijakan. Penyelenggara bukan tidak menyadari hal tersebut,
terbukti dari persiapan antisipatif yang telah dan akan dilakukan.
Terakhir, KPU membentuk Sukarelawan Demokrasi (Relasi) untuk mengatrol
persepsi masyarakat danmeningkatkan partisipasi. ’’Tajuk Rencana’’ harian
ini (SM, 26/11/13) menilai pesimistis upaya tersebut. Daya ungkit Relasi
yang hanya terdiri atas 15 sukarelawan per kabupaten/kota dipandang sulit membalik
persepsi negatif masyarakat yang terbentuk selama ini.
Tanggapan beragam muncul
ketika KPU menetapkan 6.619 daftar calon tetap (DCT) anggota DPR Pemilu
2014. Penilaian negatif publik berkembang seiring dengan masih dominannya
pragmatisme dan kapitalisasi seputar pencalonan, terutama pada kalangan
parpol. Proses pencalonan sering berhubungan erat dengan kedekatan dengan
petinggi partai atau kemampuan finansial calon.
Caleg yang tidak memiliki
koneksi (pengaruh) kuat di internal parpol bisa jadi tak dimasukkan daftar
calon yang disampaikan ke KPU atau ditempatkan di urutan bawah yang dari
sisi psikologis tidak strategis. Demikian pula persoalan finansial calon,
diyakini berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam pemilu. Pada era
model pemilihan ìliberalî tiap calon dituntut mencari sebanyak-banyaknya
suara untuk bisa lolos menjadi wakil rakyat. Perlu modal tidak sedikit
untuk memperkenalkan diri ke publik dan meyakinkan (memengaruhi) pemilih
agar menjatuhkan pilihan.
Keberadaan calon hasil
nepotisme atau hanya bermodal materi semata menimbulkan pertanyaan sejauh
mana kemampuan dan komitmen mereka memperjuangkan aspirasi rakyat setelah
caleg itu terpilih? Masyarakat pada hakikatnya mengharapkan calon
berkualitas, tetapi ironisnya mereka acap terjebak pola yang bersifat
pragmatisme. Repotnya, parpol dan caleg mengikuti selera ìpasarî. Inilah
yang menyebabkan sejumlah selebriti dengan bermodal popularitas dan pemodal
besar laris manis diperebutkan parpol untuk dipasang sebagai vote getter.
Dampak negatif dari pola relasi semacam itu adalah kualitas caleg cenderung
kurang diperhatikan oleh parpol atau masyarakat. Aspek kompetensi, kualitas
moral, dan komitmen kerakyatan tersisih oleh popularitas dan kemampuan
materi. Regulasi yang berlaku sekarang tak bisa banyak diharapkan untuk
memperbaiki output caleg dari partai politik. Contohnya terkait persyaratan
calon, tidak tampak adanya upaya mengakselerasi kemunculan caleg yang
mumpuni. Bahkan, bekas narapidana pun punya kesempatan mencalonkan diri
setelah 5 tahun bebas. Apatisme publik juga didorong fenomena caleg
petahana (incumbent). Realitas saat ini, mayoritas incumbent mencalonkan
kembali. Memang, tidak semua legislator periode sekarang ini ìbermasalahî.
Namun harus diakui, tidak banyak di antara mereka yang mempunyai prestasi
membanggakan. Muka Lama Tampaknya parpol kurang peduli dengan rekam jejak
dan kinerja petahana. Jika banyak petahana legislator mencalonkan diri
(menurut Formappi sekitar 90% muka lama di DPR) dan kembali terpilih,
perubahan yang diharapkan kemungkinan kecil tercapai. Kesan berburu
kekuasaan terlihat pula dari fenomena caleg yang berasal dari pejabat
publik (menteri). Sedikitnya 10 menteri yang sekarang ini menjabat dalam
kabinet bakal maju dalam pemilu mendatang.
Fenomena caleg kutu loncat
layak pula dicermati sebagai bagian cara politikus berebut kekuasaan.
Fenomena tersebut memancing pertanyaan, sejauh mana keseriusan dan kualitas
parpol dalam menyeleksi caleg? Sejauh mana komitmen dan konsistensi calon
terhadap visi/misi partai? Apakah hanya memandang parpol sebagai kendaraan
politik? Kondisi riil caleg, dengan segala kelebihan dan keterbatasan,
jelas memengaruhi antusiasme pemilih untuk menyuarakan hak pilih. Daya
tarik caleg yang tak maksimal, berisiko memperbesar angka golput. Merupakan
hak publik untuk mengharapkan kehadiran caleg berkualitas dalam konteks
keterpenuhan syarat ideal seorang calon. Sekarang, apa pun adanya komposisi
DCT, tugas pihak-pihak terkait (khususnya KPU/KPUD) menyosialisasikan dan
mempromosikan para caleg ke masyarakat. Diperlukan terobosan untuk
memengaruhi pemilih supaya mau mendatang TPS, dan memilih. Model
konvensional dengan mengajak-ajak pemilih tampaknya bukan lagi cara jitu.
Perlu strategi yang intinya meyakinkan publik bahwa caleg yang ada layak
dipilih dan ìsetiaî dengan aspirasi konstituen. Misal, dengan menggelar
semacam kontrak politik atau kontrak hukum antara caleg dan pemilih.
Harapannya, selain meningkatkan antusisme pemilih juga mendorong
keterwujudan legislator yang amanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar