Rabu, 11 Desember 2013

Daya Tarik Caleg

Daya Tarik Caleg
Didik G Suharto  ;   Dosen FISIP dan Magister Administrasi Publik
(MAP) UNS Surakarta
SUARA MERDEKA,  10 Desember 2013

  

ANGKA tinggi golput dalam Pemilu 2014 masih merupakan ancaman serius. Meski berapa pun angka itu tidak memengaruhi keabsahan hasil kontestasi, tetap saja menjadi catatan buruk atas legitimasi hasil ataupun prosesnya. Tren pemilu (pilkada) beberapa tahun ini yang memperlihatkan kecenderungan kekurangantusiasan masyarakat mengikuti prosesi tersebut, perlu mendapat perhatian para pemangku kebijakan. Penyelenggara bukan tidak menyadari hal tersebut, terbukti dari persiapan antisipatif yang telah dan akan dilakukan. 

Terakhir, KPU membentuk Sukarelawan Demokrasi (Relasi) untuk mengatrol persepsi masyarakat danmeningkatkan partisipasi. ’’Tajuk Rencana’’ harian ini (SM, 26/11/13) menilai pesimistis upaya tersebut. Daya ungkit Relasi yang hanya terdiri atas 15 sukarelawan per kabupaten/kota dipandang sulit membalik persepsi negatif masyarakat yang terbentuk selama ini.

Tanggapan beragam muncul ketika KPU menetapkan 6.619 daftar calon tetap (DCT) anggota DPR Pemilu 2014. Penilaian negatif publik berkembang seiring dengan masih dominannya pragmatisme dan kapitalisasi seputar pencalonan, terutama pada kalangan parpol. Proses pencalonan sering berhubungan erat dengan kedekatan dengan petinggi partai atau kemampuan finansial calon. 

Caleg yang tidak memiliki koneksi (pengaruh) kuat di internal parpol bisa jadi tak dimasukkan daftar calon yang disampaikan ke KPU atau ditempatkan di urutan bawah yang dari sisi psikologis tidak strategis. Demikian pula persoalan finansial calon, diyakini berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam pemilu. Pada era model pemilihan ìliberalî tiap calon dituntut mencari sebanyak-banyaknya suara untuk bisa lolos menjadi wakil rakyat. Perlu modal tidak sedikit untuk memperkenalkan diri ke publik dan meyakinkan (memengaruhi) pemilih agar menjatuhkan pilihan.

Keberadaan calon hasil nepotisme atau hanya bermodal materi semata menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemampuan dan komitmen mereka memperjuangkan aspirasi rakyat setelah caleg itu terpilih? Masyarakat pada hakikatnya mengharapkan calon berkualitas, tetapi ironisnya mereka acap terjebak pola yang bersifat pragmatisme. Repotnya, parpol dan caleg mengikuti selera ìpasarî. Inilah yang menyebabkan sejumlah selebriti dengan bermodal popularitas dan pemodal besar laris manis diperebutkan parpol untuk dipasang sebagai vote getter. Dampak negatif dari pola relasi semacam itu adalah kualitas caleg cenderung kurang diperhatikan oleh parpol atau masyarakat. Aspek kompetensi, kualitas moral, dan komitmen kerakyatan tersisih oleh popularitas dan kemampuan materi. Regulasi yang berlaku sekarang tak bisa banyak diharapkan untuk memperbaiki output caleg dari partai politik. Contohnya terkait persyaratan calon, tidak tampak adanya upaya mengakselerasi kemunculan caleg yang mumpuni. Bahkan, bekas narapidana pun punya kesempatan mencalonkan diri setelah 5 tahun bebas. Apatisme publik juga didorong fenomena caleg petahana (incumbent). Realitas saat ini, mayoritas incumbent mencalonkan kembali. Memang, tidak semua legislator periode sekarang ini ìbermasalahî. Namun harus diakui, tidak banyak di antara mereka yang mempunyai prestasi membanggakan. Muka Lama Tampaknya parpol kurang peduli dengan rekam jejak dan kinerja petahana. Jika banyak petahana legislator mencalonkan diri (menurut Formappi sekitar 90% muka lama di DPR) dan kembali terpilih, perubahan yang diharapkan kemungkinan kecil tercapai. Kesan berburu kekuasaan terlihat pula dari fenomena caleg yang berasal dari pejabat publik (menteri). Sedikitnya 10 menteri yang sekarang ini menjabat dalam kabinet bakal maju dalam pemilu mendatang.

Fenomena caleg kutu loncat layak pula dicermati sebagai bagian cara politikus berebut kekuasaan. Fenomena tersebut memancing pertanyaan, sejauh mana keseriusan dan kualitas parpol dalam menyeleksi caleg? Sejauh mana komitmen dan konsistensi calon terhadap visi/misi partai? Apakah hanya memandang parpol sebagai kendaraan politik? Kondisi riil caleg, dengan segala kelebihan dan keterbatasan, jelas memengaruhi antusiasme pemilih untuk menyuarakan hak pilih. Daya tarik caleg yang tak maksimal, berisiko memperbesar angka golput. Merupakan hak publik untuk mengharapkan kehadiran caleg berkualitas dalam konteks keterpenuhan syarat ideal seorang calon. Sekarang, apa pun adanya komposisi DCT, tugas pihak-pihak terkait (khususnya KPU/KPUD) menyosialisasikan dan mempromosikan para caleg ke masyarakat. Diperlukan terobosan untuk memengaruhi pemilih supaya mau mendatang TPS, dan memilih. Model konvensional dengan mengajak-ajak pemilih tampaknya bukan lagi cara jitu. Perlu strategi yang intinya meyakinkan publik bahwa caleg yang ada layak dipilih dan ìsetiaî dengan aspirasi konstituen. Misal, dengan menggelar semacam kontrak politik atau kontrak hukum antara caleg dan pemilih. Harapannya, selain meningkatkan antusisme pemilih juga mendorong keterwujudan legislator yang amanah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar