Tahun Kelabu
Ekonomi
Arif Punto Utomo ; Direktur Indostrategic Economic
Intelligence
|
REPUBLIKA,
24 Desember 2013
Tahun 2013 sebentar
lagi usai. Masyarakat akan menyambut pergantian tahun dengan kegembiraan. Bagi
yang banyak uang, akan berpesta di hotel-hotel berbintang menonton penyanyi
atau grup musik kelas dunia. Untuk masyarakat yang ekonominya pas-pasan,
cukup menggembirakan diri di panggung rakyat yang digelar pemerintah daerah.
Bagi yang ingin
membahagiakan hati bisa hadir di Zikir Akhir Tahun yang secara rutin
ditradisikan Republika. Dengan zikir kita diajak bersyukur atas nikmat yang
dianugerahkan kepada kita. Pada hakikatnya orang yang mampu terus bersyukur,
dia bukan hanya memperoleh kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan sejati.
Rakyat memang perlu
gembira, meski sesaat. Setidaknya itu untuk menutupi kekecewaan terhadap
kinerja ekonomi pemerintah yang buruk tahun ini. Berbagai indikator ekonomi
yang tidak meng gembirakan itu pada ujungnya membuat kehidupan sebagian besar
masyarakat Indonesia bertambah sengsara. Kehidupan semakin sulit karena
harga-harga kian tak terjangkau.
Ketika berbicara
tentang kehidupan yang semakin sengsara, berarti kita tidak membicarakan
kelas menengah yang jumlahnya 130 juta. Kita juga tidak membicarakan
konglomerat yang beberapa di antaranya sudah masuk peringkat orang terkaya
dunia. Apalagi membicarakan koruptor yang mencuri uang rakyat sampai ratusan
miliar rupiah. Tapi, yang kita bicarakan adalah rakyat miskin yang
berdasarkan data BPS berjumlah 28,07 juta, dan juga 70-an juta rakyat hampir
miskin.
Indikator buruk yang
paling nyata adalah naiknya harga bahan pokok makanan. Kenaikan ini tecermin
dari tingginya angka inflasi di mana sampai November sudah mencapai 7,79
persen. Desember ini berbarengan dengan adanya Natal dan Tahun Baru, biasanya
inflasi relatif tinggi sehingga sudah pasti inflasi tembus delapan persen.
Indikator lain adalah
defisit perdagangan di mana sampai Oktober silam mencapai 6,36 miliar dolar
AS. Defisit terjadi karena ekspor melambat, sementara impor naik secara
konsisten. Naiknya jumlah kelas menengah ternyata ikut mendorong kenaikan
impor, karena sebagian kebutuhan mereka harus produk asing. Di sisi lain
ekspor kita mengandalkan bahan mentah seperti CPO, batu bara, dan kakao yang
rentan terhadap fluktuasi harga. Defisit perdagangan tersebut mendorong
terjadinya defisit transaksi berjalan. Setelah beberapa tahun nyaris tidak
pernah ada persoalan transaksi berjalan, sejak 27 bulan terakhir, defisit
transaksi berjalan menjadi momok perekonomian Indonesia.
Defisit transaksi
berjalan terjadi karena neraca perdagangan defisit plus repatriasi laba
perusahaan asing, pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun
pemerintah, yang belasan miliar dolar. Sampai Oktober silam, posisi defisit
transaksi berjalan 8,449 miliar dolar AS atau 3,78 persen PDB (produk domestik
bruto) di mana idealnya di bawah tiga persen PDB.
Defisit transaksi
berjalan yang berlangsung terus-menerus menyebabkan permintaan terhadap dolar
naik. Ketika permintaan dolar naik, kurs dolar terkerek. Itulah yang kemudian
menjadikan rupiah merosot sehingga pada pekan ketiga Desember ini posisinya
Rp 12.245 per dolar AS, posisi terburuk sejak 28 November 2008 yang berada di
Rp 12.650 per dolar AS. Dengan posisi sekarang berarti dalam satu tahun, per
awal Januari 2013, rupiah terdepresiasi 20 per sen.
Pada posisi itu pun
sebetulnya tidak diperoleh dengan gratis, karena Bank Indonesia (BI) harus
melakukan intervensi. BI mendapatkan uang untuk intervensi, tidak lain dari
cadangan devisa, karena itulah cadangan devisa tergerus. November lalu
cadangan devisa 99,96 miliar dolar AS, jauh lebih rendah dibanding Desember
2012 yang 112,78 miliar dolar AS. Ban dingkan dengan Cina yang tahun ini 3,32
triliun dolar AS.
Selain melakukan
intervensi, BI juga menaikkan BI Rate dari 7,0 persen menja di 7,25 persen
pada Oktober 2013. Tapi, rupanya kombinasi intervensi dan kenaikan BI Rate
tidak memiliki pengaruh kuat sehingga rupiah tetap terpuruk. Celakanya,
meskipun rupiah terdepresiasi, ekspor tidak bisa naik tajam, sehingga defisit
transaksi berjalan masih tetap menghantui.
Mengurangi defisit
transaksi berjalan lewat peningkatan perdagangan tidak bisa cepat, untuk itu
BI mengambil langkah praktis yakni menaikkan BI Rate men jadi 7,50 persen.
Konsekunesinya, bunga simpanan akan naik, yang kemudian disusul bunga
pinjaman. Pengusaha kelabakan karena terbebani kenaikan upah minimum dan
kenaikan bunga kredit. Mereka akan meresponsnya dengan menaikkan harga, dan
ujung-ujungnya rakyat yang harus menanggungnya.
Kenaikan harga barang
akan mendorong inflasi. Ketika inflasi terus tinggi, mereka yang
berpenghasilan tetap dan berpenghasilan pas-pasan akan semakin sulit. Akibatnya,
kesenjangan akan semakin tinggi. Tahun ini indeks Gini yang merepresentasikan
kesenjangan mencapai 0,42, itu merupakan indeks terburuk sepanjang sejarah
republik ini berdiri.
Melihat
indikator-indikator di atas bisa dikatakan tahun 2013 ini menjadi tahun
kelabu ekonomi bagi pemerintahan SBY-Budiono. Bahwa pertumbuhan ekonomi
diperkirakan masih bisa 5,7 persen (tertinggi di dunia setelah Cina), tapi pencapaian
itu di bawah pertumbuhan 2012 yang 6,2 persen, dan juga di bawah prediksi
semula yang 6,3 persen.
Pelajaran penting dari
kelabunya perekonomian 2013 ini adalah pemerintah tidak konsisten dalam
kebijakan dan tidak berani mengeksekusi kebijakan yang tidak populis.
Pemerintah lebih suka bermain di sektor fiskal dan moneter dibanding sektor
riil yang berisiko terhadap pencitraannya. Jika berani melakukan terobosan
mengurangi konsumsi migas, misalnya, separuh dari persoalan defisit
perdagangan selesai, mengingat impor migas sampai Oktober rata-rata 3,71
miliar dolar AS per bulan.
Tahun depan situasi ekonomi
dihadapkan pada pengurangan stimulus moneter Amerika Serikat sehingga akan
mengancam penarikan dana global. Dari dalam negeri, penyelenggaraan pemilu
membuat makin banyak uang yang beredar di masyarakat termasuk dari money politics, sehingga berpotensi
inflasi. Dan yang jelas konsentrasi kabinet terkuras untuk pemilu, persoalan
ekonomi akan terlupakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar