Rabu, 25 Desember 2013

Tahun Kelabu Ekonomi

Tahun Kelabu Ekonomi
Arif Punto Utomo  ;   Direktur Indostrategic Economic Intelligence
REPUBLIKA,  24 Desember 2013

  

Tahun 2013 sebentar lagi usai. Masyarakat akan menyambut pergantian tahun dengan kegembiraan. Bagi yang banyak uang, akan berpesta di hotel-hotel berbintang menonton penyanyi atau grup musik kelas dunia. Untuk masyarakat yang ekonominya pas-pasan, cukup menggembirakan diri di panggung rakyat yang digelar pemerintah daerah.

Bagi yang ingin membahagiakan hati bisa hadir di Zikir Akhir Tahun yang secara rutin ditradisikan Republika. Dengan zikir kita diajak bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan kepada kita. Pada hakikatnya orang yang mampu terus bersyukur, dia bukan hanya memperoleh kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan sejati.

Rakyat memang perlu gembira, meski sesaat. Setidaknya itu untuk menutupi kekecewaan terhadap kinerja ekonomi pemerintah yang buruk tahun ini. Berbagai indikator ekonomi yang tidak meng gembirakan itu pada ujungnya membuat kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia bertambah sengsara. Kehidupan semakin sulit karena harga-harga kian tak terjangkau.

Ketika berbicara tentang kehidupan yang semakin sengsara, berarti kita tidak membicarakan kelas menengah yang jumlahnya 130 juta. Kita juga tidak membicarakan konglomerat yang beberapa di antaranya sudah masuk peringkat orang terkaya dunia. Apalagi membicarakan koruptor yang mencuri uang rakyat sampai ratusan miliar rupiah. Tapi, yang kita bicarakan adalah rakyat miskin yang berdasarkan data BPS berjumlah 28,07 juta, dan juga 70-an juta rakyat hampir miskin.

Indikator buruk yang paling nyata adalah naiknya harga bahan pokok makanan. Kenaikan ini tecermin dari tingginya angka inflasi di mana sampai November sudah mencapai 7,79 persen. Desember ini berbarengan dengan adanya Natal dan Tahun Baru, biasanya inflasi relatif tinggi sehingga sudah pasti inflasi tembus delapan persen.

Indikator lain adalah defisit perdagangan di mana sampai Oktober silam mencapai 6,36 miliar dolar AS. Defisit terjadi karena ekspor melambat, sementara impor naik secara konsisten. Naiknya jumlah kelas menengah ternyata ikut mendorong kenaikan impor, karena sebagian kebutuhan mereka harus produk asing. Di sisi lain ekspor kita mengandalkan bahan mentah seperti CPO, batu bara, dan kakao yang rentan terhadap fluktuasi harga. Defisit perdagangan tersebut mendorong terjadinya defisit transaksi berjalan. Setelah beberapa tahun nyaris tidak pernah ada persoalan transaksi berjalan, sejak 27 bulan terakhir, defisit transaksi berjalan menjadi momok perekonomian Indonesia.

Defisit transaksi berjalan terjadi karena neraca perdagangan defisit plus repatriasi laba perusahaan asing, pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, yang belasan miliar dolar. Sampai Oktober silam, posisi defisit transaksi berjalan 8,449 miliar dolar AS atau 3,78 persen PDB (produk domestik bruto) di mana idealnya di bawah tiga persen PDB.

Defisit transaksi berjalan yang berlangsung terus-menerus menyebabkan permintaan terhadap dolar naik. Ketika permintaan dolar naik, kurs dolar terkerek. Itulah yang kemudian menjadikan rupiah merosot sehingga pada pekan ketiga Desember ini posisinya Rp 12.245 per dolar AS, posisi terburuk sejak 28 November 2008 yang berada di Rp 12.650 per dolar AS. Dengan posisi sekarang berarti dalam satu tahun, per awal Januari 2013, rupiah terdepresiasi 20 per sen.

Pada posisi itu pun sebetulnya tidak diperoleh dengan gratis, karena Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi. BI mendapatkan uang untuk intervensi, tidak lain dari cadangan devisa, karena itulah cadangan devisa tergerus. November lalu cadangan devisa 99,96 miliar dolar AS, jauh lebih rendah dibanding Desember 2012 yang 112,78 miliar dolar AS. Ban dingkan dengan Cina yang tahun ini 3,32 triliun dolar AS.

Selain melakukan intervensi, BI juga menaikkan BI Rate dari 7,0 persen menja di 7,25 persen pada Oktober 2013. Tapi, rupanya kombinasi intervensi dan kenaikan BI Rate tidak memiliki pengaruh kuat sehingga rupiah tetap terpuruk. Celakanya, meskipun rupiah terdepresiasi, ekspor tidak bisa naik tajam, sehingga defisit transaksi berjalan masih tetap menghantui.

Mengurangi defisit transaksi berjalan lewat peningkatan perdagangan tidak bisa cepat, untuk itu BI mengambil langkah praktis yakni menaikkan BI Rate men jadi 7,50 persen. Konsekunesinya, bunga simpanan akan naik, yang kemudian disusul bunga pinjaman. Pengusaha kelabakan karena terbebani kenaikan upah minimum dan kenaikan bunga kredit. Mereka akan meresponsnya dengan menaikkan harga, dan ujung-ujungnya rakyat yang harus menanggungnya.
Kenaikan harga barang akan mendorong inflasi. Ketika inflasi terus tinggi, mereka yang berpenghasilan tetap dan berpenghasilan pas-pasan akan semakin sulit. Akibatnya, kesenjangan akan semakin tinggi. Tahun ini indeks Gini yang merepresentasikan kesenjangan mencapai 0,42, itu merupakan indeks terburuk sepanjang sejarah republik ini berdiri.

Melihat indikator-indikator di atas bisa dikatakan tahun 2013 ini menjadi tahun kelabu ekonomi bagi pemerintahan SBY-Budiono. Bahwa pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih bisa 5,7 persen (tertinggi di dunia setelah Cina), tapi pencapaian itu di bawah pertumbuhan 2012 yang 6,2 persen, dan juga di bawah prediksi semula yang 6,3 persen.

Pelajaran penting dari kelabunya perekonomian 2013 ini adalah pemerintah tidak konsisten dalam kebijakan dan tidak berani mengeksekusi kebijakan yang tidak populis. Pemerintah lebih suka bermain di sektor fiskal dan moneter dibanding sektor riil yang berisiko terhadap pencitraannya. Jika berani melakukan terobosan mengurangi konsumsi migas, misalnya, separuh dari persoalan defisit perdagangan selesai, mengingat impor migas sampai Oktober rata-rata 3,71 miliar dolar AS per bulan. 

Tahun depan situasi ekonomi dihadapkan pada pengurangan stimulus moneter Amerika Serikat sehingga akan mengancam penarikan dana global. Dari dalam negeri, penyelenggaraan pemilu membuat makin banyak uang yang beredar di masyarakat termasuk dari money politics, sehingga berpotensi inflasi. Dan yang jelas konsentrasi kabinet terkuras untuk pemilu, persoalan ekonomi akan terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar