Senin, 02 Desember 2013

Tuhan dan Terjangan Topan Haiyan

Tuhan dan Terjangan Topan Haiyan
Tom Saptaatmaja  ;   Kolumnis, Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan 
Seminari St Vincent de Paul
KORAN SINDO,  30 November 2013
  


Topan Haiyan baru menerjang beberapa negara seperti Filipina, Vietnam dan Tiongkok. Namun, yang paling parah terjadi di Filipina. PBB memperkirakan sekitar 10.000 orang telah tewas, setelah diterjang topan dan gelombang air lebih dari lima meter pada Jumat (8/11). 

Data resmi Pemerintah Filipina menyebut hingga kini sudah 5.250 korban tewas berhasil ditemukan (24/11). Menurut Sekretaris Kabinet Filipina Rene Almendras, pemerintahnya kewalahan menangani banyaknya korban yang harus dikuburkan. Yang mati memang harus dikubur. Namun, yang hidup masih butuh makan dan pertolongan. Lambatnya bantuan sampai menimbulkan penjarahan dan anarki di beberapa kota seperti Tacloban dan Alangalang. Dampak topan ini memang tak mudah untuk dikuburkan. 

Dukacita, derita dan beragam masalah lain sebagai dampak topan ini, akan terus menggelayuti para korban yang masih hidup. Sebagian dari mereka pun bertanya, ”Di mana Tuhan, ketika badai menerjang?”. Bahkan Rindrigo Duterte, wali kota Davao, setelah melihat parahnya kerusakan di Tacloban berkomentar pada para wartawan, ”Tuhan berada di tempat lain, ketika topan menerjang,” seperti dikutip media Filipina, www.inquirer.net(12/11). 

Beragam Pendapat 

Malah ada yang berpikir, terjangan topan Haiyan itu bukti Tuhan sedang menghukum Filipina. Ini jelas pandangan yang arogan, karena seolah mengesankan, orang yang jadi korban topan lebih jahat dibanding yang tidak kena topan. Juga merebak pandangan bahwa Tuhan sedang menguji atau mencobai iman umat-Nya. Ini pandangan fatalisme. Juga terekam pandangan yang menyalahkan atau menggugat Tuhan atas banyaknya penderitaan dan kematian yang ditimbulkan oleh topan itu. 

Pandangan demikian pernah diungkapkan oleh Epikuros, pemikir Yunani kuno (342–270 SM). Adapun gugatan Epikuros adalah, “Apakah Allah ingin mencegah penderitaan dan kejahatan tapi Ia tak mampu? Kalau demikian, Dia tak berdaya dan tak layak disebut sebagai Yang Mahakuasa. Atau Allah mampu mencegah penderitaan dan kejahatan tapi tidak melakukannya? Kalau demikian, Dia Mahajahat dan bukan Mahabaik. Atau juga Allah tidak mampu dan tidak mau mencegah penderitaan dan kejahatan? 

Jika begitu, apa gunanya disebut Allah?” (Bandingkan dengan Kenneth Surin, The Turning of Darkness and Light: Essay in Philosophical and Systematic Theology, 1989). Selain pandangan yang mengaitkan topan dengan Tuhan, ada pandangan yang mengaitkan topan sebagai karya kejahatan yang dilakukan oleh setan. Penulis baru membuka milis yang mengutip pendapat Samuele Bacchiocchi PhD, pensiunan profesor teologi dan sejarah gereja di Andrews University. 

Dalam tulisannya “God and Tsunami: What is the Lord Telling Us?”, Bacchiocchi secara tegas mengungkapkan tidak mungkin Tuhan menghendaki kehancuran ribuan umat-Nya, termasuk anakanak yang tak berdosa. Yang bisa melakukan kengerian luar biasa seperti itu hanyalah setan atau kuasa kejahatan. Pandangan seperti itu sebenarnya juga tidak terlalu baru. Kaum Manikeisme pada abad ke-3 dan ke-4 sudah berpendapat bahwa di dunia ini ada dua bagian, yakni baik dan buruk, gelap dan terang. 

Di samping kekuasaan Allah, ada kekuasaan kegelapan yang sederajat dengan Allah yang menjadi penyebab dari segala penderitaan di dunia ini. Mereka yang gemar memakai pendekatan klenik atau takhayul, terangkum dalam pandangan ini. Dari studi klasik, kita bisa belajar bahwa sudah ada upaya untuk merasionalkan mengapa Allah yang Mahabaik membiarkan penderitaan atau kematian, seperti dialami para korban topan Haiyan. Misalnya, Augustinus dari abad ke-4 berpendapat, penderitaan tidak diciptakan oleh Allah, tapi manusia sendirilah yang menciptakan penderitaan. 

Namun, boleh jadi yang menarik dari sekian banyak pendapat adalah pendapat Teilhard de Chardin sebagai wakil dari paham evolusionisme. Menurut teolog dan filosof asal Prancis dari abad ke-20 ini, segala penderitaan adalah dampak dari dunia yang diciptakan secara evolutif. Terjadinya topan, tsunami, gunungberapiatau banjir bandang yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jelas merupakan bentuk kegagalan dari sebuah dunia yang memang belum sempurna. 

Seperti diyakini Teilhard, dunia kita ini sedang berevolusi, bergerak dan berkembang dari Alfa ke Omega, dari level terburuk ke kondisi dunia yang final dan sempurna. Jadi, Allah sama sekali tidak menciptakan atau menghendaki adanya penderitaan (termasuk penderitaan korban tsunami). Penderitaan muncul sebagai dampak dari perkembangan evolutif dari dunia yang kita tempati, apalagi alam memiliki hukum-hukumnya sendiri. 

Otonomi dan Peran Iptek 

Memang dalam keyakinan (khususnya Kristen), ada pendapat yang menyebut Tuhan tidak melakukan campur tangan sama sekali pada hukum alam. Artinya alam dan manusia memiliki hukumnya sendiri atau otonom (auto : sendiri, nomos : hukum). Maka sesuai dengan prinsip sekularisasi, manusia mendapatkan peran sekaligus tugas untuk memahami alam semesta lewat pendekatan ilmiah (ilmu pengetahuan) Memang fenomena topan Haiyan atau di Filipina disebut Yolanda, bisa dijelaskan secara ilmiah dari sisi iptek. 

Menurut Kerry Emanuel, salah seorang pakar topan tropis paling terkemuka di dunia, data menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan daya rusak yang semakin besar dari topan atau badai yang muncul sejak pertengahan 1970 (jurnal Nature Nomor 436/2005). Haiyan termasuk salah satu topan tropis terkuat yang pernah dicatat. Topan ini awalnya muncul di suatu kawasan bertekanan rendah di timur-tenggara Pohnpei, di barat Samudra Pasifik pada 2 November. Lalu pada 4 November ketika bergerak ke arah barat, menjadi topan tropis dan mendapat julukan Haiyan. 

Topan ini masuk dalam kategori 5 Skala badai Saffir-Simpson. Dan puncaknya ketika Jumat, 8 November lalu, dengan kecepatan 315 kilometer per jam, topan ini menghancurkan Tacloban dan Alangalang. Topan ini terus bergerak ke barat hingga Vietnam dan Tiongkok. Yang mengagetkan para pakar juga menyimpulkan, Haiyan menjadi bukti nyata adanya perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global. 

Pemanasan global ini terjadi karena ulah manusia sendiri. Jadi ternyata dalam konteks iptek atau manusia, Tuhan sama sekali tak bisa dipersalahkan. Justru lewat kemajuan iptek, manusia diharapkan membuat langkah antisipatif agar topan atau bencana alam sehebat apa pun, bisa diminimalkan dampaknya, khususnya lewat ”early warning system” dan beragam bentuk antisipasi atau mitigasi bencana lainnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar