Senin, 02 Desember 2013

Kenal dan Sayang

Kenal dan Sayang
R Valentina Sagala  ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN,  30 November 2013
  


Belum lama ini, saya diwawancara sebuah majalah laki-laki dewasa untuk penulisan profil dalam rubrik inspirasi.

Ketika sang wartawan memperkenalkan diri dan menjelaskan sedikit tentang majalah tempatnya bekerja, sambil tersenyum saya katakan, saya kenal alias sering membaca majalah tersebut. Jadi, tidak asing lagi dengan muatannya.

Sebagai aktivis perempuan, itu pertama kalinya saya diwawancara majalah laki-laki dewasa. Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab, yang cerdas sekaligus nakal. Saya menjawab pertanyaan mulai soal gerakan sosial dan politik, kekerasan terhadap perempuan, cara menghadapi konflik dalam keluarga, dan perlawanan terhadap pihak luar yang berkekuatan besar.

Saya lalu teringat, Senin (25/11), merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (International Day for the Elimination of Violence against Women).

Hari yang diperkenalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini, menurut sejarah, sebagai penghormatan meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva, dan Maria Teresa) pada tanggal yang sama di 1960. Mereka meninggal akibat pembunuhan keji oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo.

Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan. Mereka juga menjadi simbol perlawanan kediktatoran penguasa Republik Dominika kala itu.

Tanggal 25 November sekaligus menandai diakuinya kekerasan berbasis gender (gender based violence). Pada tanggal ini pertama kalinya dideklarasikan pada 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.

Sejarah mencatat, dalam gerakan hak asasi manusia (HAM) maupun tubuh PBB, perjuangan mengampanyekan dihapuskannya kekerasan perempuan itu panjang berliku dan tidak mudah.

Baru pada 1993, PBB mengadopsi Deklarasi Penghapusan Kekerasan 
terhadap Perempuan. Ini menegaskan kekerasan terhadap perempuan adalah diskriminasi dan merupakan pelanggaran HAM.

Meski berhasil membuat hubungan tegas bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, pada kenyataannya, hal ini masih menemui banyak tantangan. Jutaan perempuan di dunia termasuk di Indonesia sampai sekarang masih mengalami kekerasan dan diskriminasi, termasuk kekerasan seksual.

Guna lebih “memperkenalkan” penghapusan kekerasan terhadap perempuan, sejak 1991 para aktivis perempuan mengembangkan “16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan” sebagai kampanye global, mulai 25 November hingga 10 Desember (diperingati sebagai Hari HAM Sedunia).

Dua hari internasional ini dihubungkan guna menyampaikan pesan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM. Oleh karena itu, ini bukan masalah perempuan saja, melainkan masalah kemanusiaan yang harus diatasi bersama.

Di Bandung saya dan teman-teman memperingati hari penting ini lewat berbagai kegiatan. Salah satu yang dipandang penting tahun ini adalah “memperkenalkan” penghapusan kekerasan terhadap perempuan, khususnya di kalangan laki-laki dan orang muda.

Ada alasan mengapa hal ini strategis. Studi menunjukkan satu penyebab kecenderungan laki-laki menjadi pelaku kekerasan karena minimnya kesadaran keadilan gender yang ditumbuhkan sejak kanak-kanak.

Sejak kecil laki-laki selalu ditanamkan nilai-nilai yang maskulin, superior, dan agresif. Sementara itu, pada perempuan ditanamkan subordinasi dan kepasifan.

Sejak muda ruang untuk saling memperkenalkan pengalaman masing-masing pun seolah tertutup. Tak ada ruang berdialog untuk menghindari salah paham. Hal yang ada hanya sekat-sekat patriarkis, penuh stereotip, dan prasangka. Hal-hal itulah yang terpelihara hingga dewasa.

Tiba-tiba terlintas di benak saya ucapan Ibu dulu, “Tak kenal maka tak sayang”. Mungkin itu benar. Sebagai sesama ciptaan Tuhan, kita sebaiknya membangun dialog untuk saling mengenal. Dalam perkenalan itu, perempuan maupun laki-laki dapat mengingat hakikat keberadaan di dunia ini sebagai makhluk beradab, bukan untuk saling menyakiti dan menindas.

Sesaat sebelum 25 November, saya dan teman-teman mengadakan perlombaan membuat video pendek dan poster antikekerasan terhadap perempuan. Karya peserta menunjukkan semangat yang tinggi mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Peserta lomba ada yang laki-laki. Jurinya juga ada yang laki-laki.

Dalam perenungan saya, ruang bagi perempuan untuk bersuara dan memperjuangkan hak-haknya harus dibuka lebar, termasuk memperjuangkan dihapuskannya kekerasan terhadap perempuan. Jika laki-laki ingin mengenal hal ini, tentu lebih baik bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar