Rabu, 11 Desember 2013

Tugas “Mengkliping” Google

Tugas “Mengkliping” Google
Agung Kuswantoro  ;   Dosen Pendidikan Administrasi Perkantoran
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA,  09 Desember 2013

  

Ada yang  menarik saat mengoreksi tugas mahasiswa, yaitu sebagian besar bersumber dari internet, dengan Google sebagai senjata utama. Hanya dengan mengetik kata kunci, program itu men-searching. Setelah itu, kita mengklik satu per satu alamat situs yang dimunculkan. Itulah tahapan mencari informasi dari internet.

Pertanyaan kritisnya apakah boleh mengerjakan tugas dengan cara seperti itu? Jika posisi kita sebagai pengajar, penelusurannya cukup mengetikkan satu atau dua kalimat dari tugas mereka ke Google. Bila hasilnya memunculkan huruf tebal atau bold berarti karya mahasiswa itu bersumber dari internet.

Mereka hanya meng-control C, membuka dokumen baru di word, meng-control V di word, meng-control P, serta memberi nama dan nomor induk mahasiswa pada bagian atas kertas. Bisa dikatakan, mereka tidak menyusun, membangun, mengolah, atau menganalisis informasi yang diperoleh lewat Mbah Google, sebutan lain mesin pencari itu.

Pola seperti itulah yang harus kita ubah. Ada internet, bukan berarti segalanya ada. Internet bukan satu-satunya sumber belajar, masih banyak sumber lain seperti buku teks, jurnal, majalah, artikel, hasil penelitian, prosseding dan sebagainya.

Menurut Bloom, ada enam tingkatan dalam domain kognitif. Tingkat paling dasar adalah pengetahuan, yang berisi hal-hal spesifik, metode, dan struktur sederhana. Jika berpola mengkliping, berarti ada pada tataran pengetahuan karena mereka mengenal definisi, unsur, faktor, atau hal-hal lain yang ada dalam konsep tersebut.

Berbeda dari cara memahami, mengaplikasi, dan menganalisis dari sumber internet. Memahami sebagai langkah awal menjelaskan dan menguraikan sebuah konsep atau pengertian. Mengaplikasi sebagai kemampuan menggunakan bahan yang telah dipelajari ke dalam situasi nyata, meliputi aturan, metode konsep, prinsip, hukum-hukum, dan teori.

Menganalisis sebagai kemampuan merinci bahan jadi bagian-bagian supaya strukturnya mudah dimengerti. Menyintesis sebagai kemampuan mengombinasikan bagian-bagian jadi satu keseluruhan baru yang menitikberatkan pada tingkah laku kreatif dengan cara memformulasikan pola dan struktur baru. Mengevaluasi sebagai kemampuan mempertimbangkan nilai untuk maksud tertentu, berdasarkan kriteria internal dan eksternal.

Hanya Memindahkan

Bila mahasiswa yang ’’mengkliping Google itu kita tanya tentang tugasnya, jawabannya cenderung letterlijk, apa adanya. Mereka tidak bisa menguraikan, menjelaskan, memberi contoh, atau mengaplikasikan. Nyaris tak terlihat kreativitas keilmiahannya mengingat mereka hanya memindahkan dari internet.
Karena itu, dosen harus menaikkan tingkatan ranah belajar mahasiswa, juga guru terhadap siswa. Tak hanya cukup pengetahuan tetapi perlu pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Semuanya membutuhkan proses. Belajar adalah proses yang berkelanjutan dengan cara mengomentari, menganalisis, mengkritisi, dan mempraktikkan.

Melalui proses tersebut maka budaya ilmiah di kalangan mahasiswa dapat terwujud.

Kita mengenal Mark Zuckeberg sebagai penemu facebook. Dia tidak lulus di Harvard University AS tapi sukses menciptakan situs jejaring sosial yang kemudian mendunia.

Secara pendidikan, dia telah melakukan pembelajaran berbasis proses.
Ia tidak hanya memahami tetapi mengaplikasikan informasi yang diperolehnya. Ia berhasil mengaplikasikan informasi secara nyata sesuai dengan aturan, metode, konsep, prinsip, atau hukum menjadi bagian-bagian agar strukturnya mudah dipahami banyak orang.

Karena itu, mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan materi ketimbang sekadar menerima materi, terlebih hanya dari Google. Salah satu strategi adalah dengan mendalami materi, daripada mendapatkan banyak materi tetapi tidak menguasai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar