Rabu, 11 Desember 2013

Ketika Kesehatan Jadi Komoditas

Ketika Kesehatan Jadi Komoditas
Achmad Maulani  ;   Staf Ahli DPR, Kandidat Doktor dari Universitas Indonesia
SUARA MERDEKA,  10 Desember 2013

  

"Penting, mengorelasikan hubungan sektor kesehatan dengan kebijakan ekonomi sebagai politik kesehatan"

PUBLIK kembali dikejutkan kasus yang terjadi dalam dunia kesehatan. Ayu Swasyari Prawani, dokter Rumah Sakit Umum (RSU) Dokter DR Kandou Manado Sulut harus mendekam di Rutan Malendeng, di kota yang sama. Dia dinyatakan terbukti melakukan malapraktik dan dihukum 10 bulan penjara oleh hakim Mahkamah Agung (MA). Para pihak, baik manajemen rumah sakit maupun keluarga korban, Julia Fransiska Maketey, saling membela lewat argumentasi masing-masing. Rumah sakit merasa telah menunaikan tugas sesuai prosedur. Adapun keluarga korban berpendapat akibat kelalaian dokter di rumah sakit itu terkait persoalan biaya mengakibatkan meninggalnya anggota keluarga mereka. Kasus itu lagi-lagi memperlihatkan bahwa persoalan kesehatan ternyata masih menjadi barang mewah dan mahal bagi sebagian masyarakat. Untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi, masyarakat bahkan harus menggadaikan barang.

Tak tanggung-tanggung, nyawa pun menjadi taruhan. Sebagian rumah sakit dan dokter mulai kehilangan wajah manusiawinya. Banyak persoalan yang saat ini masih menyelimuti dunia kesehatan. Dari mahalnya harga obatobatan, rumah sakit yang seringkali hanya menampilkan wajah bisnis, profesi dokter yang kerap jadi agen dari kartel farmasi, belum adanya pemerataan dan distribusi tenaga kesehatan, hingga persoalan fasilitas kesehatan di berbagai daerah. 

Pada ranah itulah diperlukan keberpihakan negara untuk melindungi warga yang kurang mampu supaya tidak semakin tersisih dalam pembangunan. Saat ini fakta kerap menunjukkan banyak lembaga kesehatan yang hanya berorientasi ekonomi, kurang berpihak kepada masyarakat miskin. Masyarakat selalu menjadi korban, bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem. Kesehatan dalam konteks ini hanya dipandang sebagai perkara medis. Fungsi sosial yang seharusnya juga diemban rumah sakit, terkikis oleh hasrat penumpukan laba. 

Dengan sekitar 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, sudah saatnya negara mengambil prakarsa lebih konkret melindungi mereka agar berbagai lembaga kesehatan dan hal lain yang terkait, seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, dan dokter, tidak justru jadi mesin yang menggilas mereka yang miskin. Itulah kira-kira bentuk politik kesehatan yang harus dijalankan negara. 

Seperti dikatakan Jeffrey Sachs (2005) bahwa banyak hal yang menyebabkan seseorang akan makin terperangkap dalam jebakan kemiskinan. Salah satunya adalah ketiadaan human capital dengan salah satu variabel dalam wujud akses kesehatan yang memadai dan terjangkau.

Mengapa komitmen negara dalam bentuk politik kesehatan menjadi penting? Kondisi warga miskin di negeri ini sudah seperti orang yang terendam di air sampai ke leher, sehingga ombak kecil sekali pun akan menenggelamkannya. Ombak kecil dalam konteks ini bisa berupa kemahalan biaya rumah sakit, dokter, dan obat-obatan. Pada titik inilah penting mengorelasikan hubungan antara sektor kesehatan dan kebijakan ekonomi sebagai bentuk konkret politik kesehatan. IPM Rendah Banyak bukti kemiskinan ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) memasukkan tiga parameter penting dalam menghitung tingkat kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Fakta itu , menunjukkan bahwa peringkat kesejahteraan Indonesia pada 2013 berada pada urutan ke-121 dari 187 negara. Peringkat Indonesia setara dengan negara-negara seperti Karibia dan Afrika Selatan yang memiliki nilai IPM sama.

Dibanding negara anggota ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan IPM terendah. Singapura menempati peringkat tertinggi, yakni urutan ke-18, sementara Malaysia ke-64, Thailand ke- 103, dan Filipina ke-114. Bila diukur dari Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), skor Indonesia 17,9 dan itu peringkat ke-33 dari 94 negara. IKM mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator berupa presentase penduduk di bawah garis kemiskinan, angka buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan meninggal sebelum usia 40 tahun, proporsi penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, dan persentase balita dengan gizi buruk. Mencermati data itu, sudah saatnya kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah juga mempertimbangkan implikasinya terhadap sektor kesehatan. Permukiman yang sehat, nutrisi yang lebih baik, dan keringanan biaya kesehatan adalah salah satu bentuk implementasi. Kasus pengaduan keluarga pasien yang meninggal akibat dugaan kelalaian dokter di rumah sakit dan berujung penahanan dokter di Manado tersebut menjadi pelajaran berharga. Wujud konkret lainnya bisa dalam bentuk semisal minimal di kawasan permukiman miskin harus ada klinik kesehatan. 

Klinik tersebut bisa diasuh dokter praktik atau calon dokter (co-ass) dan bisa diakses penduduk miskin. Apalagi saat ini banyak populasi penduduk miskin tinggal di kawasan-kawasan yang oleh pemerintah dipandang ilegal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar