Mulai tahun
depan, tidak akan ada lagi anak sekolah dasar (SD) yang tidak
naik kelas. Meskipun belum mampu menguasai pelajaran pada jenjang
kelasnya, anak tersebut akan dapat terus melanjutkan ke kelas
berikutnya dengan mengikuti remedial yang telah diprogramkan guru di
sekolahnya.
Itulah
kebijakan pendidikan terbaru yang dikeluarkan pemerintah yang didasarkan
kepada tuntutan pola penilaian yang mengutamakan aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Apakah itu
sebuah kabar baik? Sekilas kebijakan tersebut mampu menenteramkan hati
bukan saja bagi para siswa, namun juga orang tua.
Selama ini,
banyak masyarakat kita memberikan label bodoh kepada anak-anak yang
terpaksa tinggal kelas. Akibatnya fenomena tersebut membuat anak menjadi
takut gagal (fear of failure) dan menilai belajar sebagai sesuatu yang
tidak menyenangkan (task aversiveness).
Pada
akhirnya anak-anak belajar hanya untuk mencapai nilai akademis yang
tinggi; sehingga di satu sisi kebijakan itu memang dirasakan lebih
memanusiakan murid. Secara psikologis murid yang tertinggal tidak akan lagi
harus menanggung malu ketika harus tetap tinggal di kelas lamanya.
Namun, hal
itu justru patut menjadi kewaspadaan kita semua, karena di sisi lain
kelonggaran itu tentu saja tidak akan memacu siswa untuk memiliki daya
saing yang tinggi, bahkan mungkin akan menggerogoti motivasi diantara
mereka. Ditambah lagi, model remedial yang direncanakan diberlakukan untuk
anak-anak yang belum mampu menguasai pelajaran bukanlah perkara mudah.
Pembelajaran
remedial pada hakikatnya adalah pemberian bantuan bagi peserta didik yang
mengalami kesulitan atau kelambatan belajar. Pemberian pembelajaran
remedial meliputi dua langkah pokok, yaitu pertama mendiagnosis kesulitan
belajar dan kedua memberikan perlakuan (treatment) pembelajaran remedial.
Sementara itu, ada
dua permasalahan besar pendidikan kita yang akan sangat memengaruhi program
ini. Pertama, pemerataan guru yang masih jauh dari harapan dan kedua,
negara kita masih defisit guru SD sebanyak 112.000 orang. Jumlah guru
SD di sekolah negeri dan swasta yang ada sekitar 185.000 orang. Dari jumlah
tersebut, hanya 60 persen guru yang sudah memenuhi kualifikasinya, yaitu
telah menempuh S-1. Sisanya 40 persen bukan S-1 (Kemdikbud.org).
Jadi, bisa
dibayangkan jika sebuah sekolah yang gurunya saja masih jauh dari jumlah
ideal, bahkan banyak terjadi satu guru mengajar sekaligus beberapa jenjang
kelas. Kemungkinan seorang guru tersebut akan mampu memberikan layanan
kepada para muridnya yang “tertinggal” menjadi sangat kecil.
Selanjutnya
kita juga tidak dapat menutup mata dengan kondisi masyarakat dan kebanyakan
keluarga di Indonesia, bahwa kita termasuk masyarakat pemburu materi yang
masih harus memenuhi kebutuhan hidup.
Kondisi ini
membuat sebagian besar keluarga di negeri ini menyandarkan pendidikan
anaknya di bangku-bangku sekolah. Kelelahan yang mendera karena
kesibukannya memenuhi kebutuhan materi membuat mereka tidak lagi mempunyai
energi yang lebih untuk pendidikan anak-anaknya di rumah.
Bahkan, studi
dari berbagai lembaga internasional seperti TIMSS, PIRLS, dan PISA
menunjukkan, kemampuan bernalar dan juga berliterasi bangsa ini masih
rendah. Jika kebijakan tersebut terburu-buru dilaksanakan tanpa kajian yang
lebih mendalam, dikhawatirkan hal tersebut justru mengendorkan daya saing di
dalam lingkungan belajar.
Padahal, meningkatnya
pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya kelas menengah yang bertumbuh hingga
mencapai 131 juta orang pada 2010 menuntut upaya peningkatan kualitas SDM
sehingga mampu memiliki daya saing yang tinggi. Ini karena dengan
meningkatkan daya saing, kualitas SDM maupun daya saing produk yang
dihasilkan negara kita dapat mengungguli negara lain; sehingga tidak
lagi menjadi konsumtif akan produk dari negara lain.
Temuan Paul
Stoltz pada 1997 tentang ketangguhan pribadi (Adversity Quotient) sebagai
prediktor baru dalam melihat kesuksesan, melengkapi IQ, EQ, SQ yang lebih
dulu populer jelas-jelas harus mendapatkan tempat disekolah dasar.
Mulai dari
pendidikan dasar inilah anak harus mempunyai motivasi tinggi. Pencapaian
motivasi ini akan diraih jika ada lingkungan yang mendukung. Reward dan
punishment tetap harus diberlakukan, tentu saja harus sejalan dengan rohnya
pendidikan yang humanis.
Tidak naik
kelas adalah sebuah punishment yang memang harus diterima oleh mereka yang
tidak dapat mencapai standar yang ada. Tidak naik kelas adalah sebuah
pelajaran "kecewa" yang harus dialami anak. Itu akan menjadi
cambuk, bukan saja bagi anak yang malas dan belum mampu
bersaing, namun juga bagi mereka yang mungkin sudah dapat melewatinya.
Jika kini
semua anak pasti akan naik kelas, pembelajaran yang berdaya saing harus
kita ciptakan kepada mereka. Dengan demikian, mereka tetap akan
menjadi anak-anak yang tidak lembek, tetapi mempunyai daya juang yang
tinggi.
Bukan hanya
di sekolah, namun juga di dalam keluarga dan lingkungan tempat anak
tersebut bertumbuh. Dituntut peran yang lebih besar lagi dari kedua pilar
ini, karena memang sinergitas sekolah, keluarga dan lingkungan adalah
mutlak diperlukan bagi keseimbangan pendidikan seorang anak manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar