Tertabraknya
mobil tangki bahan bakar minyak (BBM) Pertamina oleh kereta api di Bintaro
telah merengut setidaknya tujuh nyawa dan puluhan lain terluka berat dan
ringan. Seperti biasa, bila terjadi kecelakaan yang merengut banyak nyawa,
apalagi berkait dengan truk pengangkut BBM yang terbakar sesaat setelah
tabrakan, barulah mampu mengundang banyak pihak ”peduli” dengan faktor
”keselamatan” transportasi.
Semua terbangun dan kemudian semua berteriak, keluarlah kemudian seribu
satu macam teori tentang bagaimana seharusnya mengelola transportasi dengan
aman. Sayangnya, hanya sebentar dan kemudian kondisi kembali seperti semula
lagi. Begitulah seterusnya adegan demi adegan yang terjadi di bumi Ibu
Pertiwi tercinta ini. Khusus tragedi Bintaro, agak sedikit menarik karena
muncul komplain yang cukup keras dari PT KAI yang menuntut ke Pertamina
sebagai ”biang kerok” kecelakaan itu. Belakangan ini memang harus diakui PT
KAI tengah berada dalam proses berbenah diri dan sudah jelas kelihatan
hasilnya.
Stasiun-stasiun KA sudah kelihatan tertib dan bersih sebagaimana seharusnya
dan bahkan kini jauh lebih baik daripada pelabuhan udara mana pun di
Indonesia ini. Tidak terlihat lagi penumpang liar yang bertahun-tahun
seolah diizinkan dan konon bahkan katanya ditarik bayaran untuk ”nongkrong”
di atap kereta dan ”nangkring” di beberapa bagian di badan lokomotif. Bisa
dibayangkan bila masih seperti itu, korbanyangberjatuhanpada peristiwa
Bintaro tersebut. Sangatbisadimaklumikemarahan PT KAI, di tengah-tengah
kerja kerasnya menertibkan kereta api, kemudian sang masinisnya ”dipaksa”
untuk menabrak tangki pembawa bahan bakar yang posisinya tepat di atas rel
menghalangi jalan KA.
Bila kembali kepada masalah mendasar dan prinsip, memang tidak perlu lagi
dilakukan penyelidikan siapa yang salah karena jelas dan terang benderang
KA menabrak tangki Pertamina tepat di atas rel. Mendasar dan prinsip,
dengan beberapa pengecualian kecil tentu saja bahwa lintasan rel adalah
”right of way” dari kereta api. Jadi sangat gamblang dalam hal ini mobil
tangki Pertamina berada dalam posisi yang ”sulit sekali” untuk berusaha
mengatakan bahwa mereka tidak salah.
Namun, dalam segala hal, kiranya ”hasil penyelidikan” penyebab kecelakaan
dari instansi berwenang yang akan mempunyai hak untuk mengumumkan segala
hal yang berkait dengan penyebab kecelakaan, termasuk siapa yang kemudian
diketahui lalai dan harus bertanggung jawab. Hasil penyelidikan minimal
akan memperoleh legitimasi karena hanya mereka orang-orang yang kompeten di
bidang masing-masing dan sekaligus memiliki aspek legal dalam melakukan
penyelidikan.
Jadi bila hendak mengetahui apa gerangan yang sebenarnya terjadi, kita
harus bersabar menunggu hasil penyelidikan tersebut. Tetapi, tidak ada
salahnya bila kita turut menyumbangkan dan berbagi dalam membuat analisis
awal yang sifatnya ”macro pictures” dari kejadian itu.
Agak
berbeda dengan ihwal yang prinsip dan mendasar tadi, dinamika yang terjadi
di lapangan sangat berlawanan. Prinsip dan dasar dari aturanaturan lalu
lintas yang ada jelasjelas akan mengantar kita kepada ”ngawurnya” mobil
tangki yang berhenti di atas rel saat KA akan berlalu.
Sementara dinamika di lapangan, kondisi lalu lintas kita sehari-hari
menunjukkan dengan jelas berada dalam keadaan ”chaos”. Chaos dalam arti
yang sempit adalah kondisi di mana aturan dan tanda-tanda larangan sudah
tidak dipatuhi lagi. Lampu merah dilanggar, kendaraan melewati di trotoar
seenaknya saja, jalan melawan arah dan pihak yang benar justru yang
dimaki-maki, serta banyak lagi lainnya. Nah, dalam kondisi yang ”chaos” ini
tentu saja orang akan berpikir dua kali bila terjadi kecelakaan untuk
menuding segera siapa yang bersalah.
Sangat dapat dimaklumi, Pertamina–– walau jelas-jelas mobil tangkinya
berada tepatdilintasan KA saat kejadian––tidak juga serta-merta mengakui
bahwa mereka bersalah. Mengapa? Karena ya itu tadi kondisi lalu lintas kita
saat ini chaos! Aturan tidak jelas, disiplin sangat rendah, pengawasan
lemah, dan hukuman tidak ada yang memiliki ”efek jera”. Jadi, siapa yang
”lihai” berargumentasi kelihatannya yang akan menang dan mungkin saja
dianggap benar.
Chaos
memang sudah menjadi jatah ”hukum rimba”. Tinggal bagaimana kemauan kita
semua saat ini? Apakah akan
dibiarkan berlalu sesuai siklus yang selama ini memang selalu berulang
terjadi? Atau peristiwa Bintaro akan dijadikan satu ”turning-point” untuk
menuju ke peradaban baru umat manusia Indonesia dalam berlalu lintas di
jalan raya? Masalahnya, siapa yang akan melakukan kerja keras membenahi
ini? Sementara kita semua tahu bahwa sebagian besar dari mereka yang seharusnya
bertanggung jawab terhadap ketertiban dan keselamatan lalu lintas––entah
dengan segala alasan yang menjadi penyebabnya––tidaklah memiliki kualitas
unjuk kerja yang memadai untuk dapat melakukannya.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang akan memulai dan atau memeloporinya?
Selama dua pertanyaan ini tidak memperoleh jawaban, akan sia-sialah kita
berharap akan muncul perbaikan dalam sistem lalu lintas jalan raya kita.
Maka akan benarlah, apa yang selama ini dilontarkan banyak orang bahwa
”perbaikan sementara” yang merupakan respons dari kecelakaan Bintaro akan
berstatus sama yaitu ”anget-anget tai ayam”.
Banyak orang percaya bahwa kejadian Bintaro akan dengan cepat menguap dan
kita semua––terutama yang kini begitu bersemangat bicara tentang
”keselamatan dan keamanan”–– akan tertidur lagi dan baru akan bangun
kembali nanti bila terjadi kecelakaan sejenis atau mungkin yang lebih
dahsyat lagi–– mudah-mudahan tidak terjadi–– berulang kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar