Kamis, 12 Desember 2013

Tragedi Commuter Line dan Solusinya

Tragedi Commuter Line dan Solusinya
Wijaya Kusuma Subroto  ;   Ketua Perindo DPW DKI Jakarta
KORAN SINDO,  11 Desember 2013

  
Kecelakaan kereta api (KA) Commuter Line jurusan Serpong–Tanah Abang terjadi setelah bertabrakan dengan truk yang mengangkut muatan 24.000 liter BBM. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 11.20 WIB tanggal 9 Desember 2012. 

Kecelakaan terjadi di jalur kereta dari arah Stasiun Pondok Ranji menuju Stasiun Kebayoran Lama. Begitu kerasnya benturan akibat kecelakaan tersebut, mengakibatkan gerbong satu kereta itu atau gerbong khusus wanita terbakar. Begitu pula dengan truk yang memuat BBM yang juga ludes terbakar. Tujuh orang meninggal dunia dan 59 orang luka-luka. Sungguh sangat tragis, nyawa melayang begitu banyak dan hal ini sering terjadi. Ironisnya lagi sebagian besar korban adalah ibuibu. 

Tentunya kerugian yang diderita baik PT KAI maupun penggunanya sangat besar. Di samping kerugian materi, tentunya pengguna tidak lagi bisa menggunakan Commuter Line untuk waktu tertentu karena perlunya perbaikan rel KA dan fasilitas lain yang rusak. Jalur kereta api harus diperbaiki untuk kurun waktu tertentu.

Ketidakdisiplinan warga dan sifat yang tidak sabaran ditambah dengan jalanan yang macet menjadi biang keladi terbesar akan terjadinya kecelakaan KA. Bahkan saat ini banyak sekali palang pintu buatan warga yang sengaja dibuat dan diatur sendiri agar tersedia jalan pintas yang cepat menuju tujuan. Sebagai informasi, saat ini ada sekitar 2.923 palang pintu perlintasan kereta api yang tersebar di Pulau Jawa. 

Dari jumlah tersebut tercatat sekitar 1.192 tidak dijaga petugas. Belum lagi lintasan yang tidak resmi. Ambil contoh: antara Stasiun KA Tebet sampai dengan Kalibata saja ada sekitar 20 lintasan yang tidak resmi, belum lagi lintasan tidak resmi di daerah. Setiap terusan gang atau jalan dibuatkan tembusan secara swadaya oleh masyarakat, entah bagaimana proses perizinannya, tiba-tiba saja perlintasan dibangun dan dijaga oleh warga setempat. 

Tentunya hal ini sangat membahayakan karena di samping perlintasan liar tidak ada rambu yang resmi, juga petugas perlintasan tidak mempunyai kompetensi yang cukup untuk menjaga perlintasan tersebut. Oleh karena itu harus ada kesadaran masyarakat, kedisiplinan pengguna jalan, dan keterlibatan semua pihak dari Kementerian Perhubungan, dinas perhubungan provinsi/kota/kabupaten, PT KAI, Polri, akademisi, dan masyarakat dalam rangka mewujudkan keselamatan di perlintasan kereta api. 

Selain itu butuh ketegasan aparat setempat di antaranya kepolisian sektor (polsek), termasuk RT, RW, lurah, dan camat setempat untuk tegas menutup jalur yang tidak resmi dan dibangun oleh warga tanpa izin agar terhindar korban jiwa yang lebih banyak lagi. Terus terang kedisiplinan masyarakat Indonesia sangat rendah dan hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kecelakaan di perlintasan kereta api. 

Dalam lima tahun terakhir terjadi sekitar 106 kecelakaan di perlintasan dengan korban 401 orang luka parah dan 169 orang meninggal dunia. Padahal aturannya sudah jelas seperti yang dimuat di dalam UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009, bahwa ketika akan melewati pintu perlintasan, setiap orang maupun pengendara yang akan melewati perlintasan kereta api harus memprioritaskan kereta api untuk lewat terlebih dahulu. 

Dengan banyaknya perlintasan tidak resmi itu, artinya 40% perlintasan yang ada rawan terjadi kecelakaan dan membahayakan keselamatan jiwa pengguna jalan dan mengganggu perjalanan kereta. Kerja sama pemerintah dan PT KAI untuk mengatur kewenangan penanganan penjagaan perlintasan perlu diatur dengan baik. Di samping itu ketegasan untuk menutup perlintasan KA liar dan menindak tegas para penerobos perlintasan KA harus dilakukan. 

Di dalam Peraturan Menteri 36/2011, Ditjen Kereta Api selaku regulator harus mengawasi pengoperasian perlintasan kereta ini, termasuk melakukan penutupan terhadap perlintasan liar. Namun pengawasan kelayakan operasional, pemberian izin hingga penutupan perlintasan kereta menjadi tanggung jawab pemerintah yang dilakukan secara bersama sama dengan aparatur terkait lainnya. 

Untuk masa yang akan datang, pemerintah perlu memikirkan untuk pembangunan infrastruktur yang terencana untuk menghindari kecelakaan perlintasan KA yang kerap berulang. Contoh yang baik antara lain pembangunan rel KA layang seperti yang dibangun saat era Presiden Soeharto, yakni KA layang dari Jatinegara hingga Stasiun Kota, yang kiranya perlu dijadikan contoh dan diteruskan. 

Di samping itu pembangunan underpass atau flyover di lintasan ramai perlu direncanakan semisal lintasan Jatinegara arah Pulo Gadung, perlintasan Ulu Jami Bintaro, perlintasan Palmerah arah Simprug dan tempat-tempat lain yang ramai dilalui kendaraan.

Apa yang sudah dilakukan oleh PT KAI untuk lintasan Commuter Line Jabodetabek saat ini saya kira sudah cukup baik, misalnya peremajaan KRL Commuter Line, berkurangnya penumpang gelap yang bergelantungan di atap KRL, kemudian sistem e-ticketing berlangganan, multitrip, tarif progresif yang memudahkan penumpang untuk tidak mengantre lagi bila sudah berlangganan/ memakai kartu multitrip, penataan kaki lima di sekitaran stasiun/terminal. 

Tinggal sekarang bagaimana caranya meningkatkan keamanan bagi penumpangnya serta pengguna jalan yang bersinggungan dengan perlintasan kereta api. Tentunya KAI tidak dapat bekerja sendiri untuk mengamankan operasional perjalanan kereta api ini. 

Keterlibatan pemda dalam mempersiapkan flyover atau underpass di perlintasan strategis juga diperlukan, di samping ketegasan aparat setempat untuk menutup perlintasan liar, dan kepedulian masyarakat untuk melaporkan setiap adanya pembangunan perlintasan liar. 

Kecelakaan di perlintasan KA juga bisa dikurangi apabila ada kesadaran masyarakat untuk disiplin dan tertib mematuhi rambu-rambu yang ada. Semoga saja kejadian tragedi Bintaro tidak terulang kembali di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar