Kecelakaan
kereta api (KA) Commuter Line jurusan Serpong–Tanah Abang terjadi setelah
bertabrakan dengan truk yang mengangkut muatan 24.000 liter BBM. Peristiwa
itu terjadi sekitar pukul 11.20 WIB tanggal 9 Desember 2012.
Kecelakaan terjadi di jalur kereta dari arah Stasiun Pondok Ranji menuju
Stasiun Kebayoran Lama. Begitu kerasnya benturan akibat kecelakaan
tersebut, mengakibatkan gerbong satu kereta itu atau gerbong khusus wanita
terbakar. Begitu pula dengan truk yang memuat BBM yang juga ludes terbakar.
Tujuh orang meninggal dunia dan 59 orang luka-luka. Sungguh sangat tragis,
nyawa melayang begitu banyak dan hal ini sering terjadi. Ironisnya lagi
sebagian besar korban adalah ibuibu.
Tentunya kerugian yang diderita baik PT KAI maupun penggunanya sangat
besar. Di samping kerugian materi, tentunya pengguna tidak lagi bisa
menggunakan Commuter Line untuk waktu tertentu karena perlunya perbaikan
rel KA dan fasilitas lain yang rusak. Jalur kereta api harus diperbaiki
untuk kurun waktu tertentu.
Ketidakdisiplinan warga dan sifat yang tidak sabaran ditambah dengan
jalanan yang macet menjadi biang keladi terbesar akan terjadinya kecelakaan
KA. Bahkan saat ini banyak sekali palang pintu buatan warga yang sengaja
dibuat dan diatur sendiri agar tersedia jalan pintas yang cepat menuju
tujuan. Sebagai informasi, saat ini ada sekitar 2.923 palang pintu
perlintasan kereta api yang tersebar di Pulau Jawa.
Dari jumlah tersebut tercatat sekitar 1.192 tidak dijaga petugas. Belum
lagi lintasan yang tidak resmi. Ambil contoh: antara Stasiun KA Tebet
sampai dengan Kalibata saja ada sekitar 20 lintasan yang tidak resmi, belum
lagi lintasan tidak resmi di daerah. Setiap terusan gang atau jalan
dibuatkan tembusan secara swadaya oleh masyarakat, entah bagaimana proses
perizinannya, tiba-tiba saja perlintasan dibangun dan dijaga oleh warga
setempat.
Tentunya hal ini sangat membahayakan karena di samping perlintasan liar
tidak ada rambu yang resmi, juga petugas perlintasan tidak mempunyai
kompetensi yang cukup untuk menjaga perlintasan tersebut. Oleh karena itu
harus ada kesadaran masyarakat, kedisiplinan pengguna jalan, dan
keterlibatan semua pihak dari Kementerian Perhubungan, dinas perhubungan
provinsi/kota/kabupaten, PT KAI, Polri, akademisi, dan masyarakat dalam
rangka mewujudkan keselamatan di perlintasan kereta api.
Selain itu butuh ketegasan aparat setempat di antaranya kepolisian sektor
(polsek), termasuk RT, RW, lurah, dan camat setempat untuk tegas menutup
jalur yang tidak resmi dan dibangun oleh warga tanpa izin agar terhindar
korban jiwa yang lebih banyak lagi. Terus terang kedisiplinan masyarakat
Indonesia sangat rendah dan hal ini dibuktikan dengan tingginya angka
kecelakaan di perlintasan kereta api.
Dalam lima tahun terakhir terjadi sekitar 106 kecelakaan di perlintasan
dengan korban 401 orang luka parah dan 169 orang meninggal dunia. Padahal
aturannya sudah jelas seperti yang dimuat di dalam UU Nomor 23 Tahun 2007
tentang Perkeretaapian dan UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009, bahwa ketika akan
melewati pintu perlintasan, setiap orang maupun pengendara yang akan melewati
perlintasan kereta api harus memprioritaskan kereta api untuk lewat
terlebih dahulu.
Dengan banyaknya perlintasan tidak resmi itu, artinya 40% perlintasan yang
ada rawan terjadi kecelakaan dan membahayakan keselamatan jiwa pengguna
jalan dan mengganggu perjalanan kereta. Kerja sama pemerintah dan PT KAI
untuk mengatur kewenangan penanganan penjagaan perlintasan perlu diatur
dengan baik. Di samping itu ketegasan untuk menutup perlintasan KA liar dan
menindak tegas para penerobos perlintasan KA harus dilakukan.
Di dalam Peraturan Menteri 36/2011, Ditjen Kereta Api selaku regulator
harus mengawasi pengoperasian perlintasan kereta ini, termasuk melakukan
penutupan terhadap perlintasan liar. Namun pengawasan kelayakan
operasional, pemberian izin hingga penutupan perlintasan kereta menjadi
tanggung jawab pemerintah yang dilakukan secara bersama sama dengan
aparatur terkait lainnya.
Untuk masa yang akan datang, pemerintah perlu memikirkan untuk pembangunan
infrastruktur yang terencana untuk menghindari kecelakaan perlintasan KA
yang kerap berulang. Contoh yang baik antara lain pembangunan rel KA layang
seperti yang dibangun saat era Presiden Soeharto, yakni KA layang dari
Jatinegara hingga Stasiun Kota, yang kiranya perlu dijadikan contoh dan
diteruskan.
Di samping itu pembangunan underpass atau flyover di lintasan ramai perlu
direncanakan semisal lintasan Jatinegara arah Pulo Gadung, perlintasan Ulu
Jami Bintaro, perlintasan Palmerah arah Simprug dan tempat-tempat lain yang
ramai dilalui kendaraan.
Apa yang sudah dilakukan oleh PT KAI untuk lintasan Commuter Line
Jabodetabek saat ini saya kira sudah cukup baik, misalnya peremajaan KRL
Commuter Line, berkurangnya penumpang gelap yang bergelantungan di atap
KRL, kemudian sistem e-ticketing berlangganan, multitrip, tarif progresif
yang memudahkan penumpang untuk tidak mengantre lagi bila sudah
berlangganan/ memakai kartu multitrip, penataan kaki lima di sekitaran
stasiun/terminal.
Tinggal sekarang bagaimana caranya meningkatkan keamanan bagi penumpangnya
serta pengguna jalan yang bersinggungan dengan perlintasan kereta api.
Tentunya KAI tidak dapat bekerja sendiri untuk mengamankan operasional
perjalanan kereta api ini.
Keterlibatan pemda dalam mempersiapkan flyover atau underpass di
perlintasan strategis juga diperlukan, di samping ketegasan aparat setempat
untuk menutup perlintasan liar, dan kepedulian masyarakat untuk melaporkan
setiap adanya pembangunan perlintasan liar.
Kecelakaan di perlintasan KA juga bisa dikurangi apabila ada kesadaran
masyarakat untuk disiplin dan tertib mematuhi rambu-rambu yang ada. Semoga saja kejadian tragedi Bintaro
tidak terulang kembali di masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar