HARI Senin, 9 Desember 2013, sekitar pukul 11.30, sebuah rangkaian
kereta api komuter jurusan Serpong-Tanah Abang, KRL 1131, menabrak truk
pengangkut BBM di pelintasan Pondok Betung, Ulujami, Jakarta Selatan.
Tabung gas langsung
meledak, terbakar, membunuh sedikitnya tujuh orang, termasuk masinis dan
teknisi kereta api (KA), serta ibu-ibu di gerbong pertama khusus wanita.
Sopir dan kernet truk BBM termasuk korban luka-luka.
Peristiwa yang
sangat mengerikan: hanya gara-gara truk menyerobot jalur KA. Banyak orang
di TV (saksi mata, reporter TV, pakar) mencoba menganalisis kronologi
kejadian untuk mencari siapa yang salah. Ada yang menyalahkan palang pintu
pelintasan KA yang tidak turun, ada yang menyalahkan pemerintah yang tidak
membangun rel bawah tanah atau jalan layang, ada juga yang menyalahkan
masinis.
Akan tetapi, jelas:
kalau terjadi tabrakan dengan kereta api, yang salah pasti si korban yang
membawa kendaraannya di pelintasan KA. Sebab, korban menyerobot hak kereta
api.
UU (juga akal sehat)
No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan, di
pelintasan jalan kereta api semua harus berhenti kalau KA akan lewat (Pasal
296 jo Pasal 114 huruf a). Kereta api bukan sepeda ontel yang
bisa berhenti seketika itu juga kalau ada hambatan. Kereta api dengan
kecepatan 80 kilometer per jam belum tentu bisa berhenti dalam jarak 100
meter kalau direm mendadak.
Tak ada empati
Orang mati karena
menyerobot jalan kereta api bukan hanya sekali dua-kali. Hampir setiap hari
ada saja yang tewas karena menyerobot jalan kereta api. Mulai dari pejalan
kaki, penumpang metromini, pengendara motor, sampai truk BBM. Akan tetapi,
tidak ada efek jera sedikit pun.
Maka, jangan heran
kalau koruptor juga tidak kunjung jera walau sudah banyak contoh koruptor
yang diganjar hukuman tinggi oleh KPK. Mengapa? Karena korupsi adalah
perbuatan menyerobot juga, yaitu menyerobot hak orang lain, menyerobot hak
rakyat. Bahkan istri atau suami orang juga diserobot (kalau tidak percaya,
silakan tonton infotainment). Pokoknya kalau sudah serobot-menyerobot,
orang Indonesia paling hobi.
Coba tengok di jalan
raya. Pengemudi saling serobot. Kaki lima (jalurnya pejalan kaki) diserobot
pengendara sepeda motor dan pedagang. Bahkan, tak jarang pengendara sepeda
motor melawan arus alias menyerobot hak pengendara dari arah yang
berlawanan.
Demikian pula
bantaran sungai dan jalur hijau diserobot untuk permukiman liar. Tanah
kosong diserobot untuk tempat tinggal atau tempat usaha walau jelas-jelas
ada pemiliknya. Bahkan antrean juga diserobot sehingga di kalangan turis
mancanegara, bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang tidak punya
disiplin mengantre. Padahal sebenarnya mentalitas orang Indonesia bukan
sekadar tidak mau antre, melainkan memang punya hobi jadi tukang serobot.
Inti dari mentalitas
tukang serobot ialah tidak adanya tenggang rasa, tidak menghargai hak orang
lain, tidak bisa ikut merasakan penderitaan orang lain, tidak mampu
bersimpati kepada orang lain, kurang hablum minannas, yang semua itu
dalam bahasa psikologi disebut tidak ada empati. Tidak adanya empati ini
sudah merasuk ke berbagai sektor kehidupan masyarakat, apalagi di dunia
pemerintahan, birokrasi, dan politik. Wujudnya bukan lagi hanya saling
serobot, melainkan sudah berupa ego-sektoral, sombong dan congkak (adigang-adigung-adiguna), merasa
pintar sendiri, tidak menghargai orang tua/senior, dan lain-lain.
Bangun sistem
Mengurangi
mentalitas tukang serobot bukan dengan memberi efek jera karena pasti tak
efektif. Yang mesti dilakukan adalah membangun sistem untuk memperkecil
kemungkinan perilaku menyerobot.
PT KAI sudah
berhasil melenyapkan antrean jelang Lebaran dengan memberlakukan sistem
e-tiket. Jalur transjakarta telah disterilkan dengan pengawalan ketat,
pemberlakuan denda maksimal, dan publikasi melalui media massa. Kantor
samsat (sistem administrasi manunggal satu atap) bebas antrean dan bebas
calo sejak diberlakukan pelayanan prima. Wali Kota Surabaya Risma membuat
sistem untuk memonitor langsung pegawai-pegawainya dari HP-nya sehingga
kalau ada tender mandek, dia bisa langsung menegur pegawai yang
mengurusnya.
Pokoknya jangan
menunggu sampai bangsa ini punya empati. Langsung saja dibuat sistem yang
tidak memungkinkan perilaku serobot-menyerobot yang egoistik itu terus
”berbiak”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar