Sabtu, 14 Desember 2013

Tidak Cukup Hanya Rfid

Tidak Cukup Hanya Rfid
Effnu Subiyanto  ;   Kandidat Doktor  Ekonomi Unair
KORAN JAKARTA,  13 Desember 2013
  


Kalah dalam  voting  kenaikan harga BBM  di sidang paripurna DPR (31/3/12),  pemerintah maju mundur,  berkali-kali mengubah rencana  mengendalikan konsumsi BBM.  Semula akan melaksanakan kebijakan  pembatasan BBM mulai 1 Mei 2012.  Kemudian diundur 1 Agustus 2012. Seluruh mobil pribadi dengan isi silinder  mesin di atas 1.500 cc akhirnya batal  membeli BBM nonsubsidi. Maju-mundur politik BBM masih  berlangsung sampai menguras energi.  Kebijakan pembatasan BBM pertama  kali keluar pada 2007 dan akan diberlakukan awal 2008. Infrastruktur  ternyata tidak siap sehingga  mundur Maret 2008, namun  lagi-lagi batal. 

Pembatasan  BBM lagi-lagi kembali  direncanakan mulai Mei  2008 dan hilang lagi. Setahun lalu, ketika pemerintah  akan memberlakukan pembatasan BBM pada Mei 2012  (dan mundur lagi Agustus),  tidak ada satu pun rencana  kebijakan yang dirilis pemerintah. Sepanjang tahun 2013,  pemerintah berencana lain  di luar BBM itu sendiri. Kebijakannya antara lain membuat mobil listrik, mewajibkan mobil pemerintah dan  BUMN membeli BBM nonsubsidi, membeli bus besar  untuk Transjakarta, dan akhirnya menaikkan BBM pada 22  Juni 2013 sebesar 22,22 sampai  44,44 persen. Menjelang akhir 2013 ini,  dimulai November 2013, pemerintah akhirnya benar-benar  menerapkan teknologi  radio frequency identification (Rfid) untuk mengendalikan BBM bersubsidi. 

Mekanismenya, sekitar 100 juta unit Rfid yang  dikendalikan sekitar 92 ribu sistem  protokol sistem monitoring pengendalian (SMP) pada 5.027 unit SPBU Indonesia akan menjatah kuota BBM setiap  kendaraan bermotor.  Motor hanya dijatah 0,7 liter per  hari, sementara mobil pribadi 3 liter  BBM premium sehari. Rfid dan SMP  yang dikembangkan BUMN PT Inti dihargai 18 rupiah setiap liter BBM yang  terjual. 

Dengan demikian, investasi  PT Inti akan kembali pada 5,79 tahun  mendatang jika diasumsikan harga beli  setiap Rfid 50 ribu rupiah untuk kuota  BBM bersubsidi sebesar 48 juta kiloliter  per tahun.  Investasi baru Pertamina paling tidak senilai 5 triliun rupiah untuk menambah alat elektronik di seluruh  SPBU dan 100 juta unit kendaraan  bermotor Indonesia.
Siapa Untung? Tantangan terbesar program ini tentu saja implementasinya karena pemerintah  mendesain setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)  sebagai pengawas di lapangan. Jumlah SPBU Pertamina seluruh Indonesia  5.027 unit dengan jumlah nozzle sekitar  92 ribu. 

Setiap  nozzle berkomunikasi  langsung dengan sistem SMP yang  akan mengizinkan atau tidak pengeluaran BBM. SPBU Pertamina sebagai operator  pelayanan BBM bersubsidi tentu saja  berpeluang menghadapi konflik dengan masyarakat secara langsung. Sementara operator SPBU asing lainnya,  seperti Shell, Petronas, dan Total, relatif  aman karena produk BBM yang dijual  jenis nonsubsidi. Apa pun kendaraan  yang masuk SPBU asing ini sudah siap  dengan harga BBM dengan harga mekanisme pasar. Berbahayanya justru pada SPBU Pertamina karena bukan tidak mungkin  para konsumen nonsubsidi lebih memilih membeli BBM di SPBU asing daripada  lokal. 

Kualitas produk BBM Pertamina  yang menjadi persoalan karena bukan  cerita baru bila SPBU Pertamina sering  praktik curang dalam menjual BBM.  Malah sering terjadi, SPBU yang  disegel polisi dan BPH Migas karena  takaran yang tidak tepat. Pernah pula  BBM jenis premium dengan oktan-88  dijual sebagai pertamax yang harganya dua kali lipat untuk keuntungan  ekonomi. Loyalnya konsumen BBM untuk tetap memakai produk Pertamina karena alasan kebangsaan agar BUMN  ini mampu  survive dan diharapkan  semakin memperbaiki kualitas produk  dan pelayanannya. Konsumen rela  dilayani dengan kecurangan, dengan  ketidakramahan, bahkan rela membayar ongkos perbaikan kendaraannya lebih sering karena menggunakan  BBM kualitas rendah daripada  switching ke BBM kualitas RON lebih tinggi.  

Ini semata-mata cek di muka kepada  Pertamina agar kemerdekaan BBM dalam negeri masih dipegangnya. Rencana pembatasan BBM bersubsidi setelah 1 Juni 2014 ketika Rfid dan  SMP siap justru akan membalik perilaku  masyarakat secara drastis. Pada saat itu,  sudah tidak ada lagi instrumen ikatan  emosional lagi sebagai satu bangsa  yang harus saling membantu. Semangat kebangsaan bubar karena justru  kebijakan parsial pemerintah yang  mengedepankan hubungan ekonomi  atas nama untuk penyelamatan APBN. SPBU asing seperti Shell, Petronas,  dan Total adalah jaminan kualitas BBM  yang dipercaya karena sertifikasi dan  pengawasannya ketat. Manajemen  SPBU asing ini juga lebih baik dalam men-treatment dan remunerasi kepada operatornya  sehingga kecurangan di lapangan lebih kecil. Perbedaan  yang mencolok dengan SPBU  Pertamina adalah soal keramahan dan kesopanan operator. 

Hal lain yang harus ditangani pemerintah secara  serius adalah penggunaan  BBM yang tidak produktif. Di  samping itu, tingginya angka  kecelakaan lalu lintas yang  didominasi sepeda motor  ekses kebijakan impor kendaraan bermotor dan BBM  yang tidak sinkron. Rakyat kian mudah memiliki sepeda motor sehingga  pertumbuhannya luar biasa.  Jumlah motor baru yang terjual tahun ini, menurut data  AISI, diproyeksikan lebih dari  7,3 juta. Sedang penjualan mobil tahun ini 1,1 juta. Kondisi psiko-sosial kini juga  berubah drastis semenjak semakin  mudahnya membeli sepeda motor.  Pelajar dan mahasiswa yang seharusnya berjalan kaki atau mengendarai  sepeda kini ke sekolah atau kuliah naik  motor atau mobil. Sangat sulit menemukan lahan parkir di kampus-kampus  Indonesia pada jam-jam belajar. 

Kekhawatiran kelangkaan BBM yang  melanda dunia seolah-olah tidak sampai  ke Indonesia. Pemborosan BBM masih  terjadi untuk keperluan yang tidak produktif. Padahal BP Migas, pada April 2012  (kini menjadi SKK Migas), memperkirakan minyak Indonesia habis 12 tahun lagi  atau pada tahun 2024. Jadi, di samping  kebijakan pembatasan BBM dengan Rfid  ini, pemerintah harus melarang penggunaan BBM tidak produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar