Kalah dalam
voting kenaikan harga BBM di sidang paripurna DPR
(31/3/12), pemerintah maju mundur, berkali-kali mengubah
rencana mengendalikan konsumsi BBM. Semula akan melaksanakan
kebijakan pembatasan BBM mulai 1 Mei 2012. Kemudian diundur 1
Agustus 2012. Seluruh mobil pribadi dengan isi silinder mesin di atas
1.500 cc akhirnya batal membeli BBM nonsubsidi. Maju-mundur politik
BBM masih berlangsung sampai menguras energi. Kebijakan
pembatasan BBM pertama kali keluar pada 2007 dan akan diberlakukan
awal 2008. Infrastruktur ternyata tidak siap sehingga mundur
Maret 2008, namun lagi-lagi batal.
Pembatasan BBM lagi-lagi kembali direncanakan mulai Mei
2008 dan hilang lagi. Setahun lalu, ketika pemerintah akan
memberlakukan pembatasan BBM pada Mei 2012 (dan mundur lagi
Agustus), tidak ada satu pun rencana kebijakan yang dirilis
pemerintah. Sepanjang tahun 2013, pemerintah berencana lain di
luar BBM itu sendiri. Kebijakannya antara lain membuat mobil listrik,
mewajibkan mobil pemerintah dan BUMN membeli BBM nonsubsidi, membeli
bus besar untuk Transjakarta, dan akhirnya menaikkan BBM pada
22 Juni 2013 sebesar 22,22 sampai 44,44 persen. Menjelang akhir
2013 ini, dimulai November 2013, pemerintah akhirnya
benar-benar menerapkan teknologi radio frequency identification (Rfid) untuk mengendalikan BBM
bersubsidi.
Mekanismenya, sekitar 100 juta unit Rfid yang dikendalikan sekitar 92
ribu sistem protokol sistem monitoring pengendalian (SMP) pada 5.027
unit SPBU Indonesia akan menjatah kuota BBM setiap kendaraan
bermotor. Motor hanya dijatah 0,7 liter per hari, sementara
mobil pribadi 3 liter BBM premium sehari. Rfid dan SMP yang
dikembangkan BUMN PT Inti dihargai 18 rupiah setiap liter BBM yang
terjual.
Dengan demikian, investasi PT Inti akan kembali pada 5,79 tahun
mendatang jika diasumsikan harga beli setiap Rfid 50 ribu rupiah
untuk kuota BBM bersubsidi sebesar 48 juta kiloliter per
tahun. Investasi baru Pertamina paling tidak senilai 5 triliun rupiah
untuk menambah alat elektronik di seluruh SPBU dan 100 juta unit
kendaraan bermotor Indonesia.
Siapa Untung? Tantangan terbesar program ini tentu saja
implementasinya karena pemerintah mendesain setiap stasiun pengisian
bahan bakar umum (SPBU) sebagai pengawas di lapangan. Jumlah SPBU
Pertamina seluruh Indonesia 5.027 unit dengan jumlah nozzle
sekitar 92 ribu.
Setiap nozzle
berkomunikasi langsung dengan sistem SMP yang akan mengizinkan
atau tidak pengeluaran BBM. SPBU Pertamina sebagai operator pelayanan
BBM bersubsidi tentu saja berpeluang menghadapi konflik dengan
masyarakat secara langsung. Sementara operator SPBU asing lainnya,
seperti Shell, Petronas, dan Total, relatif aman karena produk BBM
yang dijual jenis nonsubsidi. Apa pun kendaraan yang masuk SPBU
asing ini sudah siap dengan harga BBM dengan harga mekanisme pasar.
Berbahayanya justru pada SPBU Pertamina karena bukan tidak mungkin
para konsumen nonsubsidi lebih memilih membeli BBM di SPBU asing
daripada lokal.
Kualitas produk BBM Pertamina yang menjadi persoalan karena
bukan cerita baru bila SPBU Pertamina sering praktik curang
dalam menjual BBM. Malah sering terjadi, SPBU yang disegel
polisi dan BPH Migas karena takaran yang tidak tepat. Pernah
pula BBM jenis premium dengan oktan-88 dijual sebagai pertamax
yang harganya dua kali lipat untuk keuntungan ekonomi. Loyalnya
konsumen BBM untuk tetap memakai produk Pertamina karena alasan kebangsaan
agar BUMN ini mampu survive dan diharapkan semakin
memperbaiki kualitas produk dan pelayanannya. Konsumen rela
dilayani dengan kecurangan, dengan ketidakramahan, bahkan rela
membayar ongkos perbaikan kendaraannya lebih sering karena menggunakan
BBM kualitas rendah daripada switching ke BBM kualitas RON lebih
tinggi.
Ini semata-mata cek di muka kepada Pertamina agar kemerdekaan BBM
dalam negeri masih dipegangnya. Rencana pembatasan BBM bersubsidi setelah 1
Juni 2014 ketika Rfid dan SMP siap justru akan membalik
perilaku masyarakat secara drastis. Pada saat itu, sudah tidak
ada lagi instrumen ikatan emosional lagi sebagai satu bangsa
yang harus saling membantu. Semangat kebangsaan bubar karena justru
kebijakan parsial pemerintah yang mengedepankan hubungan
ekonomi atas nama untuk penyelamatan APBN. SPBU asing seperti Shell,
Petronas, dan Total adalah jaminan kualitas BBM yang dipercaya
karena sertifikasi dan pengawasannya ketat. Manajemen SPBU
asing ini juga lebih baik dalam men-treatment
dan remunerasi kepada operatornya sehingga kecurangan di lapangan
lebih kecil. Perbedaan yang mencolok dengan SPBU Pertamina
adalah soal keramahan dan kesopanan operator.
Hal lain yang harus ditangani pemerintah secara serius adalah penggunaan
BBM yang tidak produktif. Di samping itu, tingginya angka
kecelakaan lalu lintas yang didominasi sepeda motor ekses
kebijakan impor kendaraan bermotor dan BBM yang tidak sinkron. Rakyat
kian mudah memiliki sepeda motor sehingga pertumbuhannya luar
biasa. Jumlah motor baru yang terjual tahun ini, menurut data
AISI, diproyeksikan lebih dari 7,3 juta. Sedang penjualan mobil tahun
ini 1,1 juta. Kondisi psiko-sosial kini juga berubah drastis semenjak
semakin mudahnya membeli sepeda motor. Pelajar dan mahasiswa
yang seharusnya berjalan kaki atau mengendarai sepeda kini ke sekolah
atau kuliah naik motor atau mobil. Sangat sulit menemukan lahan
parkir di kampus-kampus Indonesia pada jam-jam belajar.
Kekhawatiran kelangkaan BBM yang melanda dunia seolah-olah tidak
sampai ke Indonesia. Pemborosan BBM masih terjadi untuk
keperluan yang tidak produktif. Padahal BP Migas, pada April 2012
(kini menjadi SKK Migas), memperkirakan minyak Indonesia habis 12 tahun
lagi atau pada tahun 2024. Jadi, di samping kebijakan
pembatasan BBM dengan Rfid ini, pemerintah harus melarang penggunaan
BBM tidak produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar