Sabtu, 14 Desember 2013

Kolektivitas vs Korupsi

Kolektivitas vs Korupsi
Ahmad Ali Imron  ;   Staf Panwaslu Kota Malang
OKEZONENEWS,  13 Desember 2013

  

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah mengakar dan merajalela, sehingga meskipun penanganannya sudah mulai membuahkan hasil, masih saja terasa sangat lamban. Banyaknya pengaduan kasus korupsi yang masuk ke meja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga sepertinya menunjukkan bahwa di negeri ini tiada hari tanpa korupsi. 

Hasil survei Transparency International Indonesia (TII), memperlihatkan Indonesia merupakan salah satu negara paling korup dari 177 negara yang disurvei. IPK tersebut memiliki rentang skor antara 0-100. Semakin tinggi skor IPK sebuah negara, semakin bersih tingkat korupsi di negara tersebut. Berdasarkan hasil survei terhadap 177 negara, Indonesia mendapatkan skor IPK yang sama dengan tahun 2012, yaitu 32. Sementara, posisi negara-negara ASEAN lainnya jauh di atas Indonesia, seperti Singapura (86), Brunei (60), Malaysia (50), Filipina (36), dan Thailand (35) .

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, korupsi tidak hanya makin meluas, tetapi dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara tetapi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime. Jumlah kasus, kerugian negara maupun modus operandinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan pada IHPS I Tahun 2013, BPK menemukan 13.969 kasus kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan senilai Rp 56,98 triliun. Sebagai tindak kejahatan luar biasa, pemberantasan tindak pidana korupsi seakan-akan berpacu dengan munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih, karena itu diperlukan sinergi dan persamaan persepsi dari seluruh komponen bangsa.

Kolektivitas

Di Indonesia terdapat tiga lembaga yang menangani tindak pidana korupsi yakni, KPK, Kejaksaaan, dan Polri. Melalui media massa terlihat jelas bahwa ketiga lembaga tersebut berperan aktif–meski terkadang terdapat kerancuan tugas antarlembaga. Namun, apakah cukup hanya dengan peran tiga lembaga tersebut dan korupsi dapat diberantas? Lantas, di manakah peranan masyarakat?

Kewajiban pemberantasan korupsi itu, bukan semata terletak pada pundak aparat penegak hukum. Bukan pula pencegahan dan pemberantasan korupsi itu menjadi tanggung jawab jajaran pemerintahan, meski pun Presiden RI sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 24/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang ditujukan kepada menteri kabinet, gubernur sampai ke wali kota dan bupati.

Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu juga menjadi tanggungjawab masyarakat Indonesia secara komprehensif dan kolektif. Undang-undang Nomor: 31/1999 junto UU Nomor: 20/2001 dalam Bab V mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41, yang pada intinya masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Paling penting adalah bersedia memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.

Dalam skala yang lebih luas, masyarakat juga dapat juga membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dijamin keberadaannya oleh undang-undang. Banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan masyarakat. Membiarkan tindakan koruptif terjadi di tengah-tengah lingkungan masyarakat juga perbuatan yang tidak tepat dan dalam agama pun konsekuensinya ikut berdosa. Bilamana masyarakat mau peduli dan punya tingkat partisipatif yang tinggi mencegah dan memberantas korupsi, yakinlah suatu hari korupsi akan terkikis habis di negeri ini.

Dalam memerangi korupsi masyarakat memiliki fungsi yang sangat strategis. Pertama, menciptakan kepedulian spirit anti korupsi. Penciptaan kepedulian tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan korupsi, sehingga berbekal pengetahuan tersebut masyarakat mulai menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan kecil yang sudah dianggap budaya, yang pada hakikatnya adalah akar dari korupsi itu sendiri, semisal memberikan uang pelicin atau menyogok petugas pemerintahan, penegak hukum agar urusan  dapat cepat selesai dan lebih lancar. 

Tidak hanya itu saja, berbekal pengetahuan akan korupsi itu sendiri, masyarakat, khususnya para orang tua, dapat menciptakan spirit antikorupsi di lingkungan terdekat, seperti keluarga dan lingkungan di sekitarnya.

Kedua, menjalankan peranannya sebagai Controller. Masyarakat sudah sepatutnya menyadari peran pentingnya sebagai pengawas bagi setiap kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah maupun kasus-kasus korupsi yang diberitakan oleh media massa. Apabila ketika pengambilan keputusan oleh pemerintah terdapat keputusan-keputusan yang tidak masuk akal atau tidak berpihak kepada kepentingan bernegara, masyarakat dapat langsung mengambil tindakan nyata seperti memprotes kebijakan tersebut agar dievaluasi kembali. Demikian pula halnya apabila kasus-kasus korupsi telah diberitakan oleh media massa, masyarakat pun harus turut melakukan monitoring terhadap keberlangsungan kasus tersebut sampai pada akhirnya menemukan penyelesaian, apakah terduga kasus korupsi dinyatakan terbukti bersalah atau tidak. Oleh karena kedua hal itulah, peran masyarakat sebagai controller sangat penting. 
Ada pun beberapa masyarakat yang dimaksud dalam poin ini adalah media massa, perguruan tinggi/mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, dan asosiasi professional.

Ketiga, peran sebagai feeder atau penyuplai informasi. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah mengambil inisiatif untuk melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Meskipun juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa BPK, BPKP, Inspektorat maupun aparat penegak hukum tidak punya kontribusi sama sekali dalam menyuplai atau mencari informasi atau data yang berhubungan dengan dugaan korupsi. Masyarakat juga tidak perlu khawatir dan ragu melakukanya. Karena undang-undang telah memberikan hak dan melindungi kita untuk melakukan pelaporan ini. KPK menjamin kerahasiaan identitas, selama pelapor tidak mengungkapkannya. masyarakat dapat memantau perkembangan laporannya dengan membuka kotak komunikasi rahasia tanpa khawatir identitas akan diketahui oleh publik.

Terakhir, ikut serta dan berperan aktif dalam setiap kampanye anti korupsi. Dengan ikut serta dan berperan aktif, masyarakat dapat menciptakan semangat anti korupsi kepada lingkungan terdekatnya, khususnya kepada yang masih apatis dan tidak peduli akan pentingnya pemberantasan korupsi. Poin ketiga ini bahkan dapat dilakukan dengan sangat mudah di kehidupan sehari-hari, yaitu dengan memanfaatkan media sosial. Dengan menyebarkan artikel-artikel ataupun berita yang berkaitan dengan korupsi melalui akun media sosial yang dimiliki, masyarakat dapat meningkatkan kepedulian di antara sesamanya.

Saling Mendukung

Kita juga perlu belajar dari negara Hong Kong yang mendapat predikat pemerintah bersih sejak tahun 1982 dan dulunya juga termasuk negara paling korup. Bagaimana Hong Kong bisa bangkit dari keterpurukan akibat korupsi? Kuncinya masyarakat dan pemerintah Hong Kong bergandeng tangan, saling mendukung serta komitmen yang teguh dalam pemberantasan korupsi. Keseriusan ini dibuktikan dengan berdirinya Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 1974. Kunci keberhasilan ICAC adalah komitmen, konsistensi, dan pendekatan yang koheren antara penindakan dan pencegahan. Penindakan dan pencegahan terintegrasi menjadi satu. Setelah kasus korupsi di satu institusi ditindak dan selesai pemeriksaannya, maka diikuti oleh tim pencegahan yang masuk ke institusi tersebut untuk melakukan ‘terapi’ dan perbaikan sistem. Dengan demikian kasus korupsi di institusi tersebut tidak akan terulang lagi.

Bilamana kesadaran dan kepeduliaan masyarakat melawan korupsi benar-benar terwujud, tentu akan menjadi percuma belaka jika tidak diikuti keseriusan political will yang kuat dari pemerintah, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Masyarakat tentunya akan menjadi apatis, tidak peduli atau hanya menjadi pendengar dan penonton saja atas terjadinya kasus korupsi. Hal itu pastinya akan menghambat upaya bersama untuk mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini. Untuk itu diperlukan kolektivitas, keseimbangan dan dukungan peran masing-masing pihak dalam melaksanakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar