Korupsi yang terjadi di
Indonesia sudah mengakar dan merajalela, sehingga meskipun penanganannya
sudah mulai membuahkan hasil, masih saja terasa sangat lamban. Banyaknya
pengaduan kasus korupsi yang masuk ke meja Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), juga sepertinya menunjukkan bahwa di negeri ini tiada hari tanpa
korupsi.
Hasil survei Transparency
International Indonesia (TII), memperlihatkan Indonesia merupakan salah
satu negara paling korup dari 177 negara yang disurvei. IPK tersebut
memiliki rentang skor antara 0-100. Semakin tinggi skor IPK sebuah negara,
semakin bersih tingkat korupsi di negara tersebut. Berdasarkan hasil survei
terhadap 177 negara, Indonesia mendapatkan skor IPK yang sama dengan tahun
2012, yaitu 32. Sementara, posisi negara-negara ASEAN lainnya jauh di atas
Indonesia, seperti Singapura (86), Brunei (60), Malaysia (50), Filipina
(36), dan Thailand (35) .
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, korupsi tidak hanya makin meluas,
tetapi dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-mata
merugikan keuangan negara tetapi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime. Jumlah kasus,
kerugian negara maupun modus operandinya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Bahkan pada IHPS I Tahun 2013, BPK menemukan 13.969 kasus kelemahan
sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan senilai Rp 56,98 triliun. Sebagai tindak kejahatan luar
biasa, pemberantasan tindak pidana korupsi seakan-akan berpacu dengan
munculnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih, karena itu
diperlukan sinergi dan persamaan persepsi dari seluruh komponen bangsa.
Kolektivitas
Di Indonesia terdapat tiga lembaga yang menangani tindak pidana korupsi
yakni, KPK, Kejaksaaan, dan Polri. Melalui media massa terlihat jelas bahwa
ketiga lembaga tersebut berperan aktif–meski terkadang terdapat kerancuan
tugas antarlembaga. Namun, apakah cukup hanya dengan peran tiga lembaga
tersebut dan korupsi dapat diberantas? Lantas, di manakah peranan
masyarakat?
Kewajiban pemberantasan korupsi itu, bukan semata terletak pada pundak
aparat penegak hukum. Bukan pula pencegahan dan pemberantasan korupsi itu
menjadi tanggung jawab jajaran pemerintahan, meski pun Presiden RI sudah
menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 24/2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi yang ditujukan kepada menteri kabinet, gubernur
sampai ke wali kota dan bupati.
Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu juga menjadi
tanggungjawab masyarakat Indonesia secara komprehensif dan kolektif.
Undang-undang Nomor: 31/1999 junto UU Nomor: 20/2001 dalam Bab V mengatur
tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana
dicantumkan dalam pasal 41, yang pada intinya masyarakat dapat berperan
serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Paling penting
adalah bersedia memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi.
Dalam skala yang lebih luas, masyarakat juga dapat juga membentuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang dijamin keberadaannya oleh undang-undang.
Banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan masyarakat. Membiarkan tindakan
koruptif terjadi di tengah-tengah lingkungan masyarakat juga perbuatan yang
tidak tepat dan dalam agama pun konsekuensinya ikut berdosa. Bilamana
masyarakat mau peduli dan punya tingkat partisipatif yang tinggi mencegah
dan memberantas korupsi, yakinlah suatu hari korupsi akan terkikis habis di
negeri ini.
Dalam memerangi korupsi masyarakat memiliki fungsi yang sangat strategis.
Pertama, menciptakan kepedulian spirit anti korupsi. Penciptaan kepedulian tersebut
dapat dilakukan dengan cara mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan
korupsi, sehingga berbekal pengetahuan tersebut masyarakat mulai menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan kecil yang sudah dianggap budaya, yang pada
hakikatnya adalah akar dari korupsi itu sendiri, semisal memberikan uang
pelicin atau menyogok petugas pemerintahan, penegak hukum agar urusan
dapat cepat selesai dan lebih lancar.
Tidak hanya itu saja, berbekal pengetahuan akan korupsi itu sendiri,
masyarakat, khususnya para orang tua, dapat menciptakan spirit antikorupsi
di lingkungan terdekat, seperti keluarga dan lingkungan di sekitarnya.
Kedua, menjalankan peranannya sebagai Controller. Masyarakat sudah
sepatutnya menyadari peran pentingnya sebagai pengawas bagi setiap kebijakan
atau keputusan yang diambil oleh pemerintah maupun kasus-kasus korupsi yang
diberitakan oleh media massa. Apabila ketika pengambilan keputusan oleh
pemerintah terdapat keputusan-keputusan yang tidak masuk akal atau tidak
berpihak kepada kepentingan bernegara, masyarakat dapat langsung mengambil
tindakan nyata seperti memprotes kebijakan tersebut agar dievaluasi
kembali. Demikian pula halnya apabila kasus-kasus korupsi telah diberitakan
oleh media massa, masyarakat pun harus turut melakukan monitoring terhadap
keberlangsungan kasus tersebut sampai pada akhirnya menemukan penyelesaian,
apakah terduga kasus korupsi dinyatakan terbukti bersalah atau tidak. Oleh
karena kedua hal itulah, peran masyarakat sebagai controller sangat
penting.
Ada pun beberapa masyarakat yang dimaksud dalam poin ini adalah media
massa, perguruan tinggi/mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, dan asosiasi
professional.
Ketiga, peran sebagai feeder atau penyuplai informasi. Tidak sulit untuk
mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah mengambil inisiatif untuk
melaporkan, membeberkan dan memberikan informasi kepada aparat penegak
hukum terhadap kemungkinan terjadinya praktek korupsi. Meskipun juga tidak
tepat untuk mengatakan bahwa BPK, BPKP, Inspektorat maupun aparat penegak
hukum tidak punya kontribusi sama sekali dalam menyuplai atau mencari
informasi atau data yang berhubungan dengan dugaan korupsi. Masyarakat juga
tidak perlu khawatir dan ragu melakukanya. Karena undang-undang telah
memberikan hak dan melindungi kita untuk melakukan pelaporan ini. KPK
menjamin kerahasiaan identitas, selama pelapor tidak mengungkapkannya.
masyarakat dapat memantau perkembangan laporannya dengan membuka kotak
komunikasi rahasia tanpa khawatir identitas akan diketahui oleh publik.
Terakhir, ikut serta dan berperan aktif dalam setiap kampanye anti korupsi.
Dengan ikut serta dan berperan aktif, masyarakat dapat menciptakan semangat
anti korupsi kepada lingkungan terdekatnya, khususnya kepada yang masih
apatis dan tidak peduli akan pentingnya pemberantasan korupsi. Poin ketiga
ini bahkan dapat dilakukan dengan sangat mudah di kehidupan sehari-hari,
yaitu dengan memanfaatkan media sosial. Dengan menyebarkan artikel-artikel
ataupun berita yang berkaitan dengan korupsi melalui akun media sosial yang
dimiliki, masyarakat dapat meningkatkan kepedulian di antara sesamanya.
Saling Mendukung
Kita juga perlu belajar dari negara Hong Kong yang mendapat predikat
pemerintah bersih sejak tahun 1982 dan dulunya juga termasuk negara paling
korup. Bagaimana Hong Kong bisa bangkit dari keterpurukan akibat korupsi?
Kuncinya masyarakat dan pemerintah Hong Kong bergandeng tangan, saling
mendukung serta komitmen yang teguh dalam pemberantasan korupsi. Keseriusan
ini dibuktikan dengan berdirinya Independent
Commission Against Corruption (ICAC) pada 1974. Kunci keberhasilan ICAC
adalah komitmen, konsistensi, dan pendekatan yang koheren antara penindakan
dan pencegahan. Penindakan dan pencegahan terintegrasi menjadi satu.
Setelah kasus korupsi di satu institusi ditindak dan selesai
pemeriksaannya, maka diikuti oleh tim pencegahan yang masuk ke institusi
tersebut untuk melakukan ‘terapi’ dan perbaikan sistem. Dengan demikian
kasus korupsi di institusi tersebut tidak akan terulang lagi.
Bilamana kesadaran dan kepeduliaan masyarakat melawan korupsi benar-benar
terwujud, tentu akan menjadi percuma belaka jika tidak diikuti keseriusan political will yang kuat dari
pemerintah, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Masyarakat
tentunya akan menjadi apatis, tidak peduli atau hanya menjadi pendengar dan
penonton saja atas terjadinya kasus korupsi. Hal itu pastinya akan
menghambat upaya bersama untuk mencegah dan memberantas korupsi di negeri
ini. Untuk itu diperlukan kolektivitas, keseimbangan dan dukungan peran
masing-masing pihak dalam melaksanakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar