PADA
3-6 Desember ini perundingan Putaran Doha WTO berlangsung di Bali. Semua
mata dunia akan menoleh ke Pulau Dewata untuk perundingan itu.
Sejak diluncurkan pada 2001,
perundingan Putaran Doha masih deadlock,
belum menemui titik temu di antara pihak terlibat. Terkait eksistensi
perundingan itu, sejauh mana perundingan Putaran Doha WTO berlangsung? Isu
apa saja yang akan dibahas para pemimpin dunia dalam konteks perundingan
Putaran Doha di Bali? Apa implikasi keterlambatan perundingan Putaran Doha
terhadap sistem perdagangan multilateral?
Perundingan Putaran Doha masih
berjalan di tempat karena beda pandangan antara negara maju dan negara berkem-
bang tentang agenda perdagangan internasional terkait pertanian, hambatan
nontarif, standar, pelayanan, dan isu lain. Pertanian, fasilitas
perdagangan, special/ differential
treatment (SDT), dan dukungan bagi negara tertinggal akan dibahas
di Bali. Konsekuensi dari berjalan lambatnya perundingan Putaran Doha ialah
menjamurnya inisiasi dan perjanjian perdagangan regional, bilateral,
plurilateral dari negara anggota WTO, dan menurunnya ekspektasi negara
anggota WTO terhadap sistem perdagangan multilateral.
Dalam satu dekade sejumlah
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) sudah dilaksanakan untuk mencari titik
temu di antara anggota WTO dan menyepakati sistem perdagangan multilateral:
KTM WTO di Cancun (September 2003), Hongkong (Desember 2005), Geneva (Juli
2008). Beberapa menteri perdagangan anggota WTO berusaha mendorong
perundingan Putaran Doha WTO lebih maju.
Kondisi ini dinilai Menteri
Perdagangan RI Gita Wirjawan tak menguntungkan Indonesia yang menjadi ketua
G-33 dan anggota G-20 yang dimotori Brasil memperjuangkan kepentingan di
sektor pertanian dan masalah pembangunan. KTM di Bali sendiri diharapkan
dapat jadi batu loncatan dan membuka jalan bagi penyelesaian perundingan
Putaran Doha.
Batu loncatan
Sebagai ketua KTM Ke-9 WTO di
Bali, Gita mengharapkan KTM di Bali menghasilkan terobosan dengan
menyepakati Paket Bali yang kecil, tapi kredibel untuk menyelesaikan Agenda
Doha lainnya. Menteri Perdagangan dan Industri India Anand Sharma
mengatakan, negaranya mendorong tercapainya kesepakatan perdagangan multilateral
yang adil di Bali. Ada harapan KTM di Bali jadi batu loncatan mencapai
kesepakatan Agenda Pembangunan Doha dan sistem perdagangan multilateral
yang adil dan seimbang di antara pihak yang berseberangan di WTO. Kita akan
menyingkap agenda yang kemungkinan besar dibahas di Bali.
Pertama, kompleksitas
liberalisasi pertanian, terutama proposal Grup 33 (G-33) tentang penyimpan
bahan pangan publik untuk ketahanan pangan dan bantuan makanan domestik
bagi negara berkembang dan struktur negosiasi satu solusi untuk semua. Ini
menjadi penting karena ada tiga argumen pendukung.
Argumen pertama, pemerintah bisa
menjamin ketahanan dan keamanan pangan bagi penduduknya yang tak dapat
akses terhadap pangan. Argumen kedua, pemerintah bisa membeli produk berda-
sarkan harga pasar dari para petani miskin secara langsung untuk
keberlangsungan hidup mereka di desa dan pembangunan ekonomi kepada
masyarakat pedesaan yang tertinggal. Negara berkembang mendorong agar
subsidi pemerintah mereka tak dibatasi, tetapi bisa dikategorikan tak
mendistorsi pasar dan akan membantu penduduk miskin.
Negara berkembang
dikenai perjanjian pertanian WTO yang memakai harga referensi—sesuai dengan
yang dideklarasikan pada 1986—dan hanya membolehkan subsidi 10 persen de
minimis dari total produksi.
Argumen ketiga, cadangan pangan
berfungsi sebagai jaring pengaman sosial jika terjadi bencana atau tragedi
kemanusiaan. Negara maju belum menyepakati argumen itu dan melalui WTO
mengajukan peace clause kepada
negara berkembang melonggarkan pemberian subsidi di negara berkembang
selama dua tahun. Negara berkembang mengajukan permohonan 8-9 tahun untuk peace clause.
Kedua, mengenai fasilitas
perdagangan, ada hal yang jadi bahan perundingan alot antara negara maju
dan berkembang. Pengaturan formalitas dan biaya administrasi dari kegiatan
ekspor/impor barang, pengaturan transit, kepabeanan, dan perizinan. Lebih
spesifik, pengukuran kesehatan, fitosanitasi, dan perizinan impor adalah
topik yang masih sulit dicarikan jalan keluarnya. Fasilitas perdagangan akan
jadi pendukung bagi negara eksportir, tetapi saat bersamaan jadi penghambat
bagi negara importir. Produk negara eksportir akan membanjiri negara
importir.
Ada hal yang perlu diingat
tentang fasilitas perdagangan bagi sejumlah negara importir. Fasilitas perdagangan
hanya akan memfasilitasi kegiatan impor di negaranya. Fasilitas perdagangan
membutuhkan biaya besar untuk mempersiapkan sistem nasional dan
infrastruktur pelabuhannya. Situasi ini akan memberatkan negara berkembang
dan tertinggal yang pengembangan dan pembiayaan infrastrukturnya masih
minim. Jika ingin merevisi regulasi tentang fasilitas perdagangan yang
sudah ditandatangani, negara importir butuh persetujuan/komentar tentang
revisi itu dari negara mitra di WTO sebelum sejumlah negara importir itu
bisa merevisi atas regulasi mereka sendiri.
Negosiasi lambat
Tarik ulur perundingan Putaran
Doha WTO antara negara maju dan berkembang mengakibatkan lambatnya
negosiasi dan absennya sistem perdagangan multilateral. Konsekuensinya,
bertumbuh dan berkembanglah inisiasi dan perjanjian perdagangan regional
dan bilateral serta perjanjian plurilateral antarnegara anggota WTO. Jumlah
kesepakatan perdagangan regional dan bilateral yang diketahui WTO kurun
2002-2008 ialah 89 perjanjian.
Sementara, kesepakatan perdagangan regional
dan bilateral yang dicatat WTO untuk kurun 2008-2013 adalah 66 perjanjian.
Deadlock perundingan antara
negara maju dan berkembang di KTM antara 2001 dan 2008 mendorong negara
anggota WTO membuat perjanjian regional dan bilateral di antara mereka.
Contohnya adalah Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China, Kesepakatan
Perdagangan Bebas ASEAN-India, Kesepakatan Perdagangan Bebas Uni
Eropa-Korea Selatan.
Ekspektasi negara anggota WTO
dan aktor bukan negara melemah terhadap sistem perdagangan multilateral
karena tergerusnya semangat dan kepercayaan mereka terhadap perundingan
Putaran Doha. Beberapa pihak di dalam WTO mulai kelelahan atas perundingan
Putaran Doha. Karena itu, negara WTO mulai berpikir ulang tentang
penting-tidaknya perundingan Putaran Doha dan sistem perdagangan
multilateral.
Kompleksitas situasi di WTO dan
tarik ulur perundingan Putaran Doha menciptakan teka-teki tentang apa yang
akan disepakati anggota WTO di Bali atau perundingan itu belum menghasilkan
kemajuan berarti. Waktu akan menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar