Rabu, 04 Desember 2013

Kita dan WTO

Kita dan WTO
Siti Maimunah  ;   Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
KOMPAS,  03 Desember 2013
  


SETELAH pertemuan APEC di Bali,  Oktober, kini giliran Organisasi Perdagangan Dunia menggelar pertemuannya di Bali akhir 2013.
Bukan tanpa alasan  pertemuan skala global ini digelar di Indonesia. Setelah hampir setengah abad negeri ini mengobral kekayaan tambang dan hutan, menyediakan buruh murah dan pasar raksasa, serta keuntungan berlipat bagi pemodal di atas perilaku para pejabatnya yang korup, mereka sebenarnya ingin menunjukkan:  kepatuhan Indonesia melayani pemodal layak ditiru.

Indonesia  salah satu sumber utama pengerukan bahan mentah kebutuhan dunia, baik mineral maupun energi fosil. Untuk itu, setidaknya telah dikeluarkan lebih dari 11.000 izin pertambangan dan batu bara. Bahan mentah ini diekspor ke  negara- negara industri lantas diolah jadi barang elektronik, senjata, otomotif, dan perhiasan, yang  kemudian diimpor kembali dengan harga mahal. Salah satunya telepon seluler alias HP. 

Dalam tiap HP setidaknya terkandung 2 gram timah asal Bangka Belitung, kepulauan yang memasok 95 persen kebutuhan timah dunia. Melansir data Badan Intelijen AS, The Globe Journal (21/8) menyebutkan ada 236,8 juta pemakai HP di Indonesia, menjadi urutan ke-5 konsumen HP terbanyak dunia.
Di sisi lain, negeri yang terkenal subur ini justru 65 persen kebutuhan pangannya bergantung impor.  Dana yang dibelanjakan mencapai  Rp 125 triliun  per tahun.  Ironisnya, jumlah petani dan nelayan—dua profesi yang menyediakan kebutuhan pangan bangsa ini— justru menyusut.

Data Badan Pusat Statistik (2011)  menunjukkan, jumlah petani menyusut 7,43 persen. Sementara Kiara (2012) menyatakan, 10 tahun terakhir jumlah  nelayan menurun hingga 25 persen. Keduanya kini menjadi profesi pinggiran dan tidak diminati generasi muda, apalagi inovasi pertanian dan perikanan tidak mendapatkan dukungan memadai. APBN  hanya menyediakan dukungan Rp 41 triliun atau 3,9 persen  dari APBN 2012.

Pemerintah telah membuat negeri ini makin tak berdaulat. Sesungguhnya, dalam skema perdagangan  WTO, Indonesia  hanya dipandang sebagai sumber bahan mentah dan  pasar raksasa, sebab hampir separuh penduduk ASEAN ada  di Indonesia.  Inilah yang mereka sebut sebagai global value chains.

Pemerintahan yang korup

Itu pula sebabnya, Indonesia diprotes keras saat bermaksud melarang ekspor bahan mentah lewat keluarnya Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2012. Jepang, misalnya,  meminta Indonesia meninjau kembali keputusan tersebut dan membatalkan penerapan bea keluar ekspor  mineral dan batu bara. 

Tak kurang tiga bulan setelahnya, keluarlah Peraturan Menteri  Nomor 11 Tahun 2012, yang merevisi peraturan menteri sebelumnya. Peraturan menteri baru isinya melunak. Kini ekspor boleh dilakukan apabila ada rekomendasi menteri cq Direktur Jenderal. Lagi-lagi, WTO diuntungkan oleh ketaatan pemerintah kepada pemodal.

WTO juga mengambil keuntungan dari kebijakan  dan penegakan hukum yang lemah serta  pemerintahan yang korup. Salah satunya pada sektor pertambangan dan energi

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyebutkan, 75 persen dari 8.000 izin pertambangan tumpang  tindih dengan peruntukan lain (2011). Situasi ini terjadi sejak  daerah punya wewenang mengeluarkan perizinan pertambangan tak terbatas, sementara jumlah pengawas pertambangan daerah bisa dihitung dengan jari.  Kalimantan Timur, misalnya, produsen utama batu bara Indonesia, memiliki tak kurang dari 1.488 izin pertambangan, sedangkan jumlah inspektur pertambangannya hanya 40 orang. Itu pun  hanya lima yang  memiliki kualifikasi sesuai peraturan berlaku.  

Karut-marut ini yang menjamin Indonesia  bisa terus menjadi pemasok utama  kebutuhan batu bara  anggota-anggota WTO. Padahal, negeri ini hanya memiliki 2-3 persen cadangan batu bara dunia dan  mengalami krisis listrik berulang.

Biaya lingkungan untuk pertambangan di sini juga murah. Sebab, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan  (amdal) yang kualitasnya buruk  pun gampang lolos dan pengawasannya memble. Kementerian Lingkungan Hidup  (2008) menyatakan,  hanya  25 persen dari 474 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki komisi penilai amdal. Dari angka itu, hanya 50 persen yang berfungsi menilai amdal, sementara 75 persen dokumen amdal yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk

Akuntabilitas perusahaan tambang juga bisa tipu-tipu di tengah keterbatasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit perusahaan tambang, yang jumlahnya berjibun. Kepala BPK mengungkap, sejak 2010 hingga 2011 telah dilakukan pemeriksaan atas pengelolaan pertambangan batu bara terhadap 247 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara di  Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. BPK  menemukan 64 perusahaan tidak membuat rencana kegiatan reklamasi pascatambang dan 73 perusahaan tidak menyetor dana jaminan reklamasi. Tak hanya itu, dari areal bekas penambangan seluas 100.880 ha, ternyata baru direklamasi 47,80 ha. 

Jika izin pertambangan saat ini mencapai lebih 11.000 izin, mungkin baru 40 tahun semua izin tambang selesai diaudit.

Setelah 18 tahun jadi anggota WTO, Indonesia  justru tak beranjak dari kelas negara pemasok bahan mentah dan  penyedia pasar raksasa. Mustahil negeri ini mencapai kedaulatan pangan, air, dan energi serta bebas dari korupsi jika terus mendukung keberadaan WTO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar