SETELAH pertemuan APEC di
Bali, Oktober, kini giliran Organisasi Perdagangan Dunia menggelar
pertemuannya di Bali akhir 2013.
Bukan tanpa alasan
pertemuan skala global ini digelar di Indonesia. Setelah hampir setengah
abad negeri ini mengobral kekayaan tambang dan hutan, menyediakan buruh
murah dan pasar raksasa, serta keuntungan berlipat bagi pemodal di atas
perilaku para pejabatnya yang korup, mereka sebenarnya ingin
menunjukkan: kepatuhan Indonesia melayani pemodal layak ditiru.
Indonesia salah satu
sumber utama pengerukan bahan mentah kebutuhan dunia, baik mineral maupun
energi fosil. Untuk itu, setidaknya telah dikeluarkan lebih dari 11.000
izin pertambangan dan batu bara. Bahan mentah ini diekspor ke negara-
negara industri lantas diolah jadi barang elektronik, senjata, otomotif,
dan perhiasan, yang kemudian diimpor kembali dengan harga mahal.
Salah satunya telepon seluler alias HP.
Dalam tiap HP setidaknya
terkandung 2 gram timah asal Bangka Belitung, kepulauan yang memasok 95
persen kebutuhan timah dunia. Melansir data Badan Intelijen AS, The
Globe Journal (21/8) menyebutkan ada 236,8 juta pemakai HP di
Indonesia, menjadi urutan ke-5 konsumen HP terbanyak dunia.
Di sisi lain, negeri yang
terkenal subur ini justru 65 persen kebutuhan pangannya bergantung impor.
Dana yang dibelanjakan mencapai Rp 125 triliun per tahun.
Ironisnya, jumlah petani dan nelayan—dua profesi yang menyediakan kebutuhan
pangan bangsa ini— justru menyusut.
Data Badan Pusat Statistik
(2011) menunjukkan, jumlah petani menyusut 7,43 persen. Sementara
Kiara (2012) menyatakan, 10 tahun terakhir jumlah nelayan menurun
hingga 25 persen. Keduanya kini menjadi profesi pinggiran dan tidak
diminati generasi muda, apalagi inovasi pertanian dan perikanan tidak
mendapatkan dukungan memadai. APBN hanya menyediakan dukungan Rp 41
triliun atau 3,9 persen dari APBN 2012.
Pemerintah telah membuat negeri
ini makin tak berdaulat. Sesungguhnya, dalam skema perdagangan WTO,
Indonesia hanya dipandang sebagai sumber bahan mentah dan pasar
raksasa, sebab hampir separuh penduduk ASEAN ada di Indonesia. Inilah
yang mereka sebut sebagai global value chains.
Pemerintahan yang korup
Itu pula sebabnya, Indonesia
diprotes keras saat bermaksud melarang ekspor bahan mentah lewat keluarnya
Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2012. Jepang, misalnya, meminta
Indonesia meninjau kembali keputusan tersebut dan membatalkan penerapan bea
keluar ekspor mineral dan batu bara.
Tak kurang tiga bulan
setelahnya, keluarlah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2012, yang
merevisi peraturan menteri sebelumnya. Peraturan menteri baru isinya
melunak. Kini ekspor boleh dilakukan apabila ada rekomendasi menteri cq Direktur
Jenderal. Lagi-lagi, WTO diuntungkan oleh ketaatan pemerintah kepada
pemodal.
WTO juga mengambil keuntungan
dari kebijakan dan penegakan hukum yang lemah serta
pemerintahan yang korup. Salah satunya pada sektor pertambangan dan
energi
Menko Perekonomian Hatta Rajasa
menyebutkan, 75 persen dari 8.000 izin pertambangan tumpang tindih
dengan peruntukan lain (2011). Situasi ini terjadi sejak daerah punya
wewenang mengeluarkan perizinan pertambangan tak terbatas, sementara jumlah
pengawas pertambangan daerah bisa dihitung dengan jari. Kalimantan
Timur, misalnya, produsen utama batu bara Indonesia, memiliki tak kurang
dari 1.488 izin pertambangan, sedangkan jumlah inspektur pertambangannya
hanya 40 orang. Itu pun hanya lima yang memiliki kualifikasi
sesuai peraturan berlaku.
Karut-marut ini yang menjamin
Indonesia bisa terus menjadi pemasok utama kebutuhan batu bara
anggota-anggota WTO. Padahal, negeri ini hanya memiliki 2-3 persen
cadangan batu bara dunia dan mengalami krisis listrik berulang.
Biaya lingkungan untuk
pertambangan di sini juga murah. Sebab, dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) yang kualitasnya buruk pun gampang lolos dan
pengawasannya memble. Kementerian Lingkungan Hidup (2008)
menyatakan, hanya 25 persen dari 474 kabupaten/kota di
Indonesia yang memiliki komisi penilai amdal. Dari angka itu, hanya 50
persen yang berfungsi menilai amdal, sementara 75 persen dokumen amdal yang
dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk
Akuntabilitas perusahaan tambang
juga bisa tipu-tipu di tengah keterbatasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
mengaudit perusahaan tambang, yang jumlahnya berjibun. Kepala BPK
mengungkap, sejak 2010 hingga 2011 telah dilakukan pemeriksaan atas
pengelolaan pertambangan batu bara terhadap 247 perusahaan pemegang izin
usaha pertambangan (IUP) batu bara di Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan. BPK menemukan 64 perusahaan tidak membuat rencana kegiatan
reklamasi pascatambang dan 73 perusahaan tidak menyetor dana jaminan
reklamasi. Tak hanya itu, dari areal bekas penambangan seluas 100.880 ha,
ternyata baru direklamasi 47,80 ha.
Jika izin pertambangan saat ini
mencapai lebih 11.000 izin, mungkin baru 40 tahun semua izin tambang
selesai diaudit.
Setelah 18 tahun
jadi anggota WTO, Indonesia justru tak beranjak dari kelas negara
pemasok bahan mentah dan penyedia pasar raksasa. Mustahil negeri ini
mencapai kedaulatan pangan, air, dan energi serta bebas dari korupsi jika
terus mendukung keberadaan WTO. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar