Rabu, 04 Desember 2013

Menyikapi Aturan Perdagangan Dunia

Menyikapi Aturan Perdagangan Dunia
Hatanto Reksodipoero  ;   Mantan Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan
KOMPAS,  03 Desember 2013
  


ORGANISASI Perdagangan Dunia (WTO) bak simalakama. Dituruti bikin kita susah, tak dituruti juga bikin kita susah.

Ekspor nonmigas Indonesia menurun dalam situasi di mana mitra dagang utama—khususnya AS dan Eropa—sedang resesi. China, selaku mitra dagang lain, membelokkan ekspornya pula ke Indonesia dan ini menambah besar defisit perdagangan kita.

Dalam situasi seperti ini, sering muncul desakan untuk menutup atau menghambat impor agar industri dalam negeri bisa dibangun atau ditingkatkan sehingga bisa mencukupi kebutuhan dari produksi sendiri. Mengapa produksi dalam negeri sampai tidak bisa memenuhi kebutuhan nasional? Padahal, saat impor meningkat, pengusaha Indonesia berebut meningkatkan produksi.

Jika keran impor tidak dibuka, apakah akan otomatis kebutuhan nasional bisa ditutup dari kenaikan produksi dalam negeri? Jawabannya tidak, karena butuh waktu untuk menanam atau meningkatkan kapasitas produksi. Itu pun masih dengan asumsi industriawan tidak akan menunda proses menaikkan kapasitas produksi. Yang sering dialami, pengusaha atau industriawan akan menuntut berbagai macam fasilitas dari pemerintah terlebih dahulu, terutama berkaitan dengan tingkat bunga, pajak, dan ketersediaan tanah. Katanya, tanpa fasilitas tersebut, penanam modal tidak tertarik.

Karena pembahasan terkait fasilitas bisa memakan waktu lama—terkait peraturan yang berlaku—konsumen (konsumen akhir ataupun industri) bisa telantar. Akibatnya, terjadi kelangkaan, harga akan naik dan konsumen akan bereaksi. Apalagi dibarengi dengan kenaikan inflasi jika barang itu masuk kelompok barang pangan, sandang, dan papan. Pemerintah akan menghadapi tekanan dari dua kubu yang beda kepentingan.

Kebijakan seperti apakah yang bisa diambil dalam situasi seperti ini? Dari kacamata industriawan, yang dikehendaki tentu pasar dalam negeri yang captive, artinya dengan persaingan sekecil mungkin atau lebih bagus lagi tanpa saingan. Ini berarti pemerintah diharapkan menutup atau menghambat masuknya barang impor, dengan berbagai macam cara. Persoalannya, menghambat impor dilarang oleh aturan main perdagangan internasional.

Para ”pemerhati ekonomi” dan ”pemerhati kebijakan publik”, khususnya, banyak yang melihat WTO ibarat anak yang tidak diinginkan. Namun, apakah kelahiran anak itu karena kecelakaan sehingga tidak diinginkan? Dan apakah kita bisa mengasuh anak tersebut sehingga bisa tumbuh sesuai keinginan kita? Untuk itu, kita perlu menengok ke belakang beberapa dasawarsa yang lalu.

Depresi besar

Kita perlu melihat depresi ekonomi 1930-an yang membuat rakyat Amerika dan negara-negara di Eropa saat itu jatuh miskin. Depresi ini terjadi karena negara-negara yang berdagang saat itu saling menerapkan kebijakan proteksi besar-besaran atas perekonomian masing-masing, Karena semua negara melakukan hal sama (begging-thy-neighbour), yang terjadi perekonomian bukan menjadi berkembang, tetapi justru kian lama kian menciut sampai tidak ada perdagangan lagi dan industri manufaktur dan pertanian turut hancur. Otomatis terjadi pengangguran besar, diikuti keresahan sosial yang luar biasa.

Untuk menghindari berulangnya depresi ekonomi dunia, para ahli ekonomi menyepakati aturan bersama di bidang moneter, perbankan, dan perdagangan. Pentingnya peraturan yang dibuat bersama secara multilateral adalah karena peraturan itu mengikat semua negara penanda tangan, baik negara maju maupun negara berkembang. Prinsip utama yang dipegang di sini ”nondiskriminasi”.

Aturan bersama ini menjadi sakral karena ada kesepakatan bahwa yang melanggar akan dapat hukuman berupa perlakuan yang sama dari negara-negara yang terkena dampak dari pelanggaran tersebut. Namun, sebaliknya, jika Indonesia merasa akses pasarnya di suatu negara tertentu juga dihambat secara diskriminatif, Indonesia bisa meminta kompensasi dan kalau bisa dibuktikan bahwa Indonesia benar, Indonesia bisa mengambil langkah balasan.

Misalkan Indonesia meningkatkan hambatan impor untuk produk atau barang tertentu, negara pemasok bisa menuntut ”kompensasi”. Kompensasi dapat berbentuk perbaikan akses impor untuk barang lain ke pasar Indonesia. Itu berarti akan ada sektor lain yang harus ”dikorbankan”. Apakah ada sektor tertentu yang mau jadi korban, untuk kepentingan sektor lain? Tentu tidak. Baik pemerintah maupun masyarakat pengusaha harus melihat pengaturan perdagangan multilateral ini bukan hanya dari aspek persaingan, melainkan juga dari aspek risiko.

Semua jenis kebijakan publik itu memiliki trade off. Tidak ada kebijakan yang sempurna dan memuaskan semua pihak. Itu sebabnya, suatu kebijakan perdagangan harus dibuat dengan sangat hati-hati dan dengan perencanaan jangka panjang berdasarkan skala prioritas pembangunan perekonomian bangsa.

Perundingan tingkat menteri di Bali akan membahas masalah pertanian, masalah fasilitasi perdagangan, dan persoalan pembangunan di negara-negara yang pembangunannya paling terkebelakang (LDC). Di antara tiga isu ini yang terberat adalah masalah di sektor pertanian. Sebagai tuan rumah, keberhasilan KTM Bali akan bergantung pada kepiawaian Indonesia dalam mencari ”jalan tengah”. Apakah ada peluang itu? Ini yang menjadi tanda tanya besar.

Masalah pertanian adalah yang selalu jadi sticking point. Sejak putaran perundingan sebelumnya (Putaran Uruguay) berhasil menghentikan kebijakan perdagangan protektif di sektor tekstil, pakaian jadi, dan otomotif; Amerika dan Eropa masih belum berhasil menghentikan atau mengatasi lobi para petani mereka dalam upaya menghentikan beragam subsidi di sektor pertanian mereka. Di lain pihak, persoalan di dalam negeri terkait pembangunan pertanian jauh lebih banyak menyangkut politik dalam negeri yang koruptif dibandingkan dengan masalah aturan perdagangan multilateral.

Yang diharapkan dari kepemimpinan Indonesia di Bali adalah terbukanya deadlock sehingga perundingan di tingkat pejabat senior bisa berlanjut. Keberhasilan KTM Bali amat ditentukan oleh seberapa jauh negosiator Indonesia bisa mengurai benang kusut sehingga kemudian bisa mulai ditenun kembali. Sistem perdagangan multilateral sama sekali bukan mimpi buruk kalau dilihat alternatifnya. Masalahnya, perlu pemimpin nasional visioner yang bisa memanfaatkan peluang yang dibuka sebuah sistem multilateral bagi kesejahteraan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar