ORGANISASI Perdagangan Dunia
(WTO) bak simalakama. Dituruti bikin kita susah, tak dituruti juga bikin
kita susah.
Ekspor nonmigas Indonesia
menurun dalam situasi di mana mitra dagang utama—khususnya AS dan
Eropa—sedang resesi. China, selaku mitra dagang lain, membelokkan ekspornya
pula ke Indonesia dan ini menambah besar defisit perdagangan kita.
Dalam situasi seperti ini,
sering muncul desakan untuk menutup atau menghambat impor agar industri
dalam negeri bisa dibangun atau ditingkatkan sehingga bisa mencukupi
kebutuhan dari produksi sendiri. Mengapa produksi dalam negeri sampai tidak
bisa memenuhi kebutuhan nasional? Padahal, saat impor meningkat, pengusaha
Indonesia berebut meningkatkan produksi.
Jika keran impor tidak dibuka,
apakah akan otomatis kebutuhan nasional bisa ditutup dari kenaikan produksi
dalam negeri? Jawabannya tidak, karena butuh waktu untuk menanam atau
meningkatkan kapasitas produksi. Itu pun masih dengan asumsi industriawan
tidak akan menunda proses menaikkan kapasitas produksi. Yang sering
dialami, pengusaha atau industriawan akan menuntut berbagai macam fasilitas
dari pemerintah terlebih dahulu, terutama berkaitan dengan tingkat bunga,
pajak, dan ketersediaan tanah. Katanya, tanpa fasilitas tersebut, penanam
modal tidak tertarik.
Karena pembahasan terkait
fasilitas bisa memakan waktu lama—terkait peraturan yang berlaku—konsumen
(konsumen akhir ataupun industri) bisa telantar. Akibatnya, terjadi
kelangkaan, harga akan naik dan konsumen akan bereaksi. Apalagi dibarengi
dengan kenaikan inflasi jika barang itu masuk kelompok barang pangan, sandang,
dan papan. Pemerintah akan menghadapi tekanan dari dua kubu yang beda
kepentingan.
Kebijakan seperti apakah yang
bisa diambil dalam situasi seperti ini? Dari kacamata industriawan, yang
dikehendaki tentu pasar dalam negeri yang captive, artinya dengan
persaingan sekecil mungkin atau lebih bagus lagi tanpa saingan. Ini berarti
pemerintah diharapkan menutup atau menghambat masuknya barang impor, dengan
berbagai macam cara. Persoalannya, menghambat impor dilarang oleh aturan
main perdagangan internasional.
Para ”pemerhati ekonomi” dan
”pemerhati kebijakan publik”, khususnya, banyak yang melihat WTO ibarat
anak yang tidak diinginkan. Namun, apakah kelahiran anak itu karena
kecelakaan sehingga tidak diinginkan? Dan apakah kita bisa mengasuh anak
tersebut sehingga bisa tumbuh sesuai keinginan kita? Untuk itu, kita perlu
menengok ke belakang beberapa dasawarsa yang lalu.
Depresi besar
Kita perlu melihat depresi
ekonomi 1930-an yang membuat rakyat Amerika dan negara-negara di Eropa saat
itu jatuh miskin. Depresi ini terjadi karena negara-negara yang berdagang
saat itu saling menerapkan kebijakan proteksi besar-besaran atas
perekonomian masing-masing, Karena semua negara melakukan hal sama
(begging-thy-neighbour), yang terjadi perekonomian bukan menjadi berkembang,
tetapi justru kian lama kian menciut sampai tidak ada perdagangan lagi dan
industri manufaktur dan pertanian turut hancur. Otomatis terjadi
pengangguran besar, diikuti keresahan sosial yang luar biasa.
Untuk menghindari berulangnya
depresi ekonomi dunia, para ahli ekonomi menyepakati aturan bersama di
bidang moneter, perbankan, dan perdagangan. Pentingnya peraturan yang
dibuat bersama secara multilateral adalah karena peraturan itu mengikat
semua negara penanda tangan, baik negara maju maupun negara berkembang.
Prinsip utama yang dipegang di sini ”nondiskriminasi”.
Aturan bersama ini menjadi
sakral karena ada kesepakatan bahwa yang melanggar akan dapat hukuman
berupa perlakuan yang sama dari negara-negara yang terkena dampak dari
pelanggaran tersebut. Namun, sebaliknya, jika Indonesia merasa akses
pasarnya di suatu negara tertentu juga dihambat secara diskriminatif,
Indonesia bisa meminta kompensasi dan kalau bisa dibuktikan bahwa Indonesia
benar, Indonesia bisa mengambil langkah balasan.
Misalkan Indonesia meningkatkan
hambatan impor untuk produk atau barang tertentu, negara pemasok bisa
menuntut ”kompensasi”. Kompensasi dapat berbentuk perbaikan akses impor
untuk barang lain ke pasar Indonesia. Itu berarti akan ada sektor lain yang
harus ”dikorbankan”. Apakah ada sektor tertentu yang mau jadi korban, untuk
kepentingan sektor lain? Tentu tidak. Baik pemerintah maupun masyarakat
pengusaha harus melihat pengaturan perdagangan multilateral ini bukan hanya
dari aspek persaingan, melainkan juga dari aspek risiko.
Semua jenis kebijakan publik itu
memiliki trade off. Tidak ada kebijakan yang sempurna dan memuaskan
semua pihak. Itu sebabnya, suatu kebijakan perdagangan harus dibuat dengan
sangat hati-hati dan dengan perencanaan jangka panjang berdasarkan skala
prioritas pembangunan perekonomian bangsa.
Perundingan tingkat menteri di
Bali akan membahas masalah pertanian, masalah fasilitasi perdagangan, dan
persoalan pembangunan di negara-negara yang pembangunannya paling
terkebelakang (LDC). Di antara tiga isu ini yang terberat adalah masalah di
sektor pertanian. Sebagai tuan rumah, keberhasilan KTM Bali akan bergantung
pada kepiawaian Indonesia dalam mencari ”jalan tengah”. Apakah ada peluang
itu? Ini yang menjadi tanda tanya besar.
Masalah pertanian adalah yang
selalu jadi sticking point. Sejak putaran perundingan sebelumnya
(Putaran Uruguay) berhasil menghentikan kebijakan perdagangan protektif di
sektor tekstil, pakaian jadi, dan otomotif; Amerika dan Eropa masih belum
berhasil menghentikan atau mengatasi lobi para petani mereka dalam upaya
menghentikan beragam subsidi di sektor pertanian mereka. Di lain pihak,
persoalan di dalam negeri terkait pembangunan pertanian jauh lebih banyak
menyangkut politik dalam negeri yang koruptif dibandingkan dengan masalah
aturan perdagangan multilateral.
Yang diharapkan dari
kepemimpinan Indonesia di Bali adalah terbukanya deadlock sehingga
perundingan di tingkat pejabat senior bisa berlanjut. Keberhasilan KTM Bali
amat ditentukan oleh seberapa jauh negosiator Indonesia bisa mengurai
benang kusut sehingga kemudian bisa mulai ditenun kembali. Sistem
perdagangan multilateral sama sekali bukan mimpi buruk kalau dilihat
alternatifnya. Masalahnya, perlu pemimpin nasional visioner yang bisa
memanfaatkan peluang yang dibuka sebuah sistem multilateral bagi
kesejahteraan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar