10
Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia, yaitu
tanggal pengesahan DeklarasiUniversal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10
Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
DUHAM sebagai suatu deklarasi saat itu tidak memiliki kekuatan hokum
mengikat. DUHAM adalah standar bersama negara-negara anggota PBB untuk
penghormatan dan perlindungan HAM. Namun demikian, keberadaan DUHAM
merupakan bentuk komitmen bersama negaranegara anggota PBB yang amat
diperlukan untuk mewujudkan perdamaian dunia dan mencegah perang yang
menggetarkan peradaban dan kemanusiaan.
Penghormatan dan perlindungan HAM diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk
tidak mengulang tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa Perang Dunia
Kedua. Sebagai ketegasan komitmen terhadap penghormatan dan perlindungan
HAM, DUHAM telah mampu menjadi basis moral untuk pembentukan instrumen HAM
internasional yang lebih operasional dan memiliki kekuatan sebagai hukum
bagi negara-negara peserta.
Lahirlah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta berpuluh-puluh kovenan dan bentuk
perjanjian internasional lain yang saat ini menjadi instrumen hukum
internasional guna menjamin dan memastikan tercapainya standar HAM yang
telah ditetapkan dalam DUHAM.
Bagi bangsa Indonesia, persoalan HAM sesungguhnya bukan hal baru.
Pergerakan nasional untuk meraih kemerdekaan dilandasi oleh pemahaman dan
keyakinan kuat para pejuang tentang hak asasi yang dimiliki oleh setiap
manusia dan kesederajatan umat manusia. Tidak ada manusia yang boleh
ditindas dan dilanggar haknya. Penjajahan adalah wujud nyata penindasan dan
pelanggaran HAM.
Berdasarkan kesederajatan manusia, setiap bangsa berhak untuk menentukan
nasibnya sendiri. Kemerdekaan menjadi kunci menghapuskan penjajahan
sekaligus menentukan nasib sendiri. Pemahaman yang dalam dan utuh dari para
pendiri bangsa juga tampak jelas jika dilihat dari naskah konstitusi dan
perdebatan yang melatarbelakanginya. Naskah Pembukaan UUD 1945 memiliki
muatan HAM yang kokoh.
Walaupun rumusan HAM di dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI dapat
dikatakan sangat sedikit, tentu pemaknaannya tidak boleh dilepaskan dari
muatan perspektif HAM di dalam Pembukaan UUD 1945 yang sangat kokoh.
Perdebatan antara individualisme dan kolektivisme di BPUPK yang
melatarbelakangi lahirnya rumusan tersebut adalah lebih pada ide bangunan
negara yang akan melindungi dan memenuhi HAM, tidak terkait dengan
penerimaan atau penolakan eksistensi HAM itu sendiri.
Dasar konstitusional HAM yang sedemikian kokoh ini telah mendapatkan
berbagai tantangan dan mengalami pasang surut dalam sejarah dinamika
peradaban bangsa Indonesia. Banyak peristiwa pelanggaran HAM dengan
berbagai latar belakang dan faktor yang telah dialami oleh bangsa Indonesia.
Setiap peristiwa tentu tidak boleh dilupakan, tetapi harus diingat dan
menjadi pelajaran komunal agar tidak terulang dalam perjalanan bangsa
Indonesia selanjutnya.
HAM di Era Reformasi
Era reformasi merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk
menjadi lebih baik di bidang HAM. Hal ini tidak lain karena reformasi itu
sendiri lahir dari pengalaman atas berbagai bentuk pelanggaran HAM yang
terjadi di masa Orde Baru. Untuk memperkokoh fondasi jaminan hak asasi
manusia, salah satu materi utama dalam Perubahan UUD 1945 adalah penegasan
jaminan HAM yang lebih detail dengan mengikuti standar DUHAM.
Hal ini tidak tiba-tiba saja muncul dalam pembahasan Perubahan UUD 1945,
tetapi telah didahului dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang HAM dan diikuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM. UUD 1945 Pasca Perubahan memuat 37 butir ketentuan mulai
dari Pasal 28A sampai Pasal 28J.
Hak yang dijamin di dalam konstitusi ada yang ditempatkan sebagai hak
setiap orang dan ada yang ditempatkan sebagai hak konstitusional setiap
warga negara. Hak yang dijamin meliputi seluruh hak yang juga dijamin dalam
DUHAM, yang meliputi hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial
budaya, hak atas pembangunan, hak anak, hak perempuan, bahkan hak yang
bersifat khusus.
Di dalam UUD 1945 pasca perubahan juga telah ditegaskan bahwa tanggungjawab
atas perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM adalah di tangan
negara, terutama pemerintah. Untuk menegakkan dan melindungi HAM di dalam
konteks negara demokrasi, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Tantangan Pemajuan
HAM
Tuntasnya jaminan normatif terhadap HAM tentu tidak berarti tugas negara
telah selesai. Jaminan HAM di dalam peraturan perundang-undangan tidak
menjadikan persoalan HAM telah selesai. Setiap saat tetap ada potensi
terjadinya pelanggaran HAM, baik oleh aktor negara maupun nonnegara, baik
berupa tindakan individu dan kelompok maupun berupa tindakan negara dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Demokrasi yang mulai tertata diikuti dengan reformasi penyelenggaraan
negara telah mampu mencegah terjadinya pelanggaran HAM oleh negara secara
fisik. Pelanggaran HAM dalam bentuk pelanggaran berat HAM, baik berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan maupun genosida, sangat kecil kemungkinannya
dilakukanolehaktornegara diera reformasi.
Namun demikian demokrasi yang belum memasuki tahap dewasa telah memunculkan
kelompok-kelompok sosial dengan pandangan dan ideologi yang bermacam-macam
dalam spektrum yang sangat luas. Ada kelompok-kelompok sipil tertentu yang
dari sisi pahamatauideologi yangdianut tidak dapat menoleransi
kebhinnekaan. Di era reformasi, mungkin perlindungan terhadap hak sipil dan
politik telah dilakukan dan menjadi kesadaran bersama.
Tantangan ke depan adalah memajukan kesetaraan. Di bidang hak sipil
misalnya, yang harus dilakukan tidak sekadar melindungi hak setiap orang
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tetapi harus juga memajukan
hak atas keadilan dan hak akses terhadap lembaga hukum dan peradilan. Di
bidang politik tidak lagi sekadar melindungi hak pilih dan memilih tanpa
diskriminasi, tetapi bagaimana memajukan hak politik bagi kelompok tertentu
seperti perempuan dan penyandang disabilitas.
Demikian pula dalam hal hak ekonomi, sosial, dan budaya, tentu tidak pada
tempatnya tetap sekadar memenuhi layanan hak dasar di bidang pekerjaan,
kesehatan, dan pendidikan, tetapi harus memajukan dengan peningkatan
derajat dan kualitas layanan. Hanya dengan demikian perspektif HAM
sebagaimana dianut dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan dan dicapai.
Hal ini tentu tidak lagi menghendaki peran pasif negara untuk tidak
melakukan intervensi, tetapi sebaliknya menuntut peran aktif negara untuk
memajukan HAM sesuai dengan karakter negara kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar