Untuk
kali pertama, sejak diselenggarakan tahun 2004, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) berkenan hadir dan membuka konferensi internasional kelapa
sawit 9th IPOC and 2014 Price Outlook di Bandung, pekan lalu.
Dengan kehadiran presiden dalam konferensi tahunan yang dilaksanakan oleh
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ini, para pelaku usaha
hulu kelapa sawit berharap bisa semakin erat bekerjasama dengan seluruh
pemangku kepentingan dalam rangka membangun industri kelapa sawit yang
berkelanjutan (sustainable palm oil).
Produk minyak kelapa sawit dan turunannya tetap memiliki prospek yang baik
di pasar domestik maupun internasional, mengingat pertumbuhan permintaan di
beberapa negara akibat pertumbuhan penduduk, khususnya di China dan India.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2030 nanti akan ada 135 juta kelas
menengah (consuming class) baru yang membutuhkan peningkatan konsumsi
pangan maupun energi.
Oleh karena itu, industri kelapa sawit Indonesia perlu berbenah diri, dan
dalam waktu 5-10 tahun mendatang harus mampu menjadi industri sawit yang
berjaya-strong, sustainable and competitive. Demikian inti pernyataan yang
disampaikan oleh Presiden SBY pada pembukaan “9th IPOC and 2014 Price
Outlook” yang dihadiri oleh lebih 1.350 peserta dari 30 negara.
Indonesia, dan khususnya industri kelapa sawit masih menghadapi dampak dari
krisis ekonomi global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan
India, dua negara konsumen terbesar produk minyak kelapa sawit Indonesia.
Walaupun, industri kelapa sawit Indonesia tetap membukukan surplus neraca
perdagangan yang sangat membantu mengurangi defisit neraca perdagangan
Indonesia yang sudah berlangsung tujuh bulan berturutturut. Sebagai
gambaran, tahun 2012 industri kelapa sawit menyumbang surplus USD22 miliar.
Dalam tahun 2013 hingga Oktober, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan
turunannya telah mencapai sekitar USD15 miliar. ***
Dalam rangka mencapai industri kelapa sawit yang berjaya-strong,
sustainable, dan competitive, Presiden SBY mengidentifikasi beberapa
masalah yang dihadapi dan harus diselesaikan bersama dalam waktu singkat.
Presiden SBY memformulasikannya sebagai “3 plus 1 isu kelapa sawit”.
Yang pertama, adalah harga minyak kelapa sawit yang fluktuatif dan
cenderung tidak bisa dikendalikan. Solusi yang ditawarkan Presiden adalah
memperkuat pasar domestik dengan meningkatkan serapan dalam negeri
khususnya biofuels sebagai bagian dari program Bahan Bakar Nabati Nasional
(BBN). Sebagaimana diketahui bahwa minyak kelapa sawit merupakan sumber
bahan baku biodiesel yang sangat efisien karena produktifitasnya yang
tinggi, sekitar 5 ton/ha/tahun.
Jauh lebih produktif dibanding minyak kedele (0,4 ton/ha/ tahun), minyak
bunga matahari (0,6 ton/ha/tahun) maupun minyak rapeseed (0,8 ton/ha/
tahun). Konsumsi solar dalam negeri diperkirakan 35 juta kiloliter per
tahun, yang jika kewajiban pencampuran 20% dengan biodiesel bisa dijalankan
maka kurang lebih 5 juta ton minyak kelapa sawit bisa diserap sebagai
tambahan serapan pasar domestik, di luar kebutuhan minyak goreng yang
berkisar 6 juta ton dan kebutuhan untuk oleochemical.
Artinya, dengan pasar domestik sebesar 12 juta ton dalam waktu dekat ini,
akan mengurangi ketergantungan pada pasar global yang cenderung fluktuatif.
Di samping itu, Presiden mendorong untuk terus dilakukan kerjasama dengan
Malaysia sebagai sesama produsen terbesar minyak kelapa sawit.
Dengan penguasaan pangsa pasar 85% minyak kelapa sawit global harusnya
Indonesia dan Malaysia memiliki posisi tawar yang kuat dalam mempengaruhi
harga. Sejalan dengan rencana mewujudkan Asean Economic Community 2015,
harusnya sektor industri kelapa sawit menjadi kekuatan terbesar dari
kawasan Asean ini.
Yang kedua, adalah masalah hambatan perdagangan (trade barrier), Presiden
menekankan perlunya dilakukan negosiasi dan diplomasi yang ‘tough’ dengan
negara pembeli. Kalau perlu, mengatasi perang dagang di sektor industri
minyak nabati inikita harus berani ‘balas membalas’. Forum-forum
international perlu dimanfaatkan untuk melakukan negosiasi atas kepentingan
ekonomi Indonesia, misalnya APEC, G 20, maupun forum WTO. Yang ketiga,
adalah masalah lingkungan.
Presiden menegaskan perlunya pelaku industri kelapa sawit benar-benar
memedomani dan melakukan praktik terbaik (best practices) pengelolaan
prinsip-prinsip keberlanjutan. Mengingat Indonesia sudah menetapkan
regulasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), maka pada tahun 2014 semua
perusahaan perkebunan sudah harus sertifikasi ISPO. Dalam menghadapi
masalah lingkungan ini, Presiden SBY menganjurkan agar baik pemerintah
maupun pengusaha menjadikan LSM sebagai mitra.
Media massa, baik cetak maupun elektronik juga diharapkan berperan, dan
pemerintah maupun pengusaha dapat memanfaatkan media untuk melakukan
pembangunan opini. Yang ‘plus 1’ adalah masalah sosial. Presiden SBY
meminta agar perusahaan perkebunan mampu mencegah konflik sosial. Cara yang
paling baik dalam mencegah konflik adalah melibatkan masyarakat dalam
proses pengelolaan usaha perkebunan, dalam bentuk kemitraan lokal maupun
pembangunan kebun plasma.
Konsep pembangunan kebun plasma, jika direncanakan, dikelola dan diawasi
dengan baik, akan merupakan bentuk program CSR (corporate social
responsibility) yang sangat baik, karena seharusnya perusahaan tidak saja
membangun kebunnya tapi juga harus membangun manusianya, melalui pelatihan
dan pendampingan yang memadai. Inilah yang disebut Presiden sebagai
pembangunan inklusif, pembangunan yang harus berorientasi membangun modal
social dimana perusahaan beroperasi. ***
Menyelesaikan ‘3 plus 1’ masalah sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya
Presiden mengajak untuk melakukannya dengan pembagian tugas dan tanggung
jawab yang disebut dengan “kontrak tanggung jawab”. Yang pertama
Pemerintah, bertanggung jawab untuk membuat UU, kebijakan dan peraturan
yang baik.
Peraturan yang baik, tentunya adalah yang sinergis satu dengan lainnya dan
tidak bersifat kontraproduktif bagi pelaksanaan investasi. Pemerintah juga
harus menjamin perijinan yang mudah, menciptakan iklim investasi yang
kondusif dan menjamin adanya kepastian hukum. Infrastruktur juga menjadi
tanggung jawab Pemerintah, walaupun Pemerintah akan mengajak swasta untuk
berpartisipasi mengingat anggaran yang besar.
Melalui MP3EI (Masterplan untuk Percepatan Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia), Pemerintah dalam waktu dua tahun ini sudah
membelanjakan sekitar Rp 737 triliun, dimana sebesar Rp 235 triliun untuk
pembangunan infrastruktur. Yang kedua, sektor usaha. Sektor usaha
bertanggung jawab untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing.
Untuk itu sektor usaha harus mau membangun riset dan pengembangan, tidak
menggantungkan diri pada Pemerintah. Presiden SBY juga meminta agar pelaku
industri kelapa sawit masuk dan mengembangkan industri hilir, termasuk
sektor energi khususnya bahan bakar nabati (biofuels). Hal ini dimaksudkan
untuk memperkuat rantai industri dari hulu hingga ke hilir dan
memaksimalkan nilai tambah di dalam negeri.
Yang ketiga, masyarakat sipil (civil society) dan media massa juga dibebani
tanggung jawab. Masyarakat sipil dan LSM silahkan mengkritisi apa yang
dilakukan pemerintah maupun swasta, namun di lain pihak masyarakat sipil
dan LSM harus membantu menjelaskan kepada pihak lain (misalnya luar negeri)
bahwa banyak perusahaan telah melakukan perubahan dan perbaikan yang
signifikan.
Media massa mempunyai peran sangat penting dalam mengedukasi dan membangun
opini publik. Justru, media massa nasional seharusnya mampu menyaring
berita-berita dari media global sebelum dijadikan berita bagi konsumsi
dalam negeri. Inilah saatnya, media massa sebagai salah satu pilar
pembangunan Indonesia dituntut membantu memperjuangkan kepentingan
nasional.
Inilah yang diusulkan kepada industri kelapa sawit, yang intinya adalah
sangat pentingnya kerja sama antar pemangku kepentingan, sinergi kebijakan
dan regulasi, baik antar sektor maupun antara pusat dan daerah. Masalahnya
ada di kita, di dalam negeri, seyogyanya diselesaikan oleh kita semua, di
dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar