PENUNDAAN pemakaian
jilbab polisi wanita (polwan) perlu menjadi renungan dalam Hari Hak Asasi
Manusia (HAM) hari ini. Salah satu yang mengecam pelarangan itu, Komisioner
Komnas HAM Siane Indriani, dalam sebuah kesempatan mengungkapkan bahwa
seharusnya tidak perlu ada larangan jilbab bagi polwan. Lebih lanjut
dikatakan, larangan Polri bagi polwan untuk berjilbab merupakan bentuk
pelanggaran HAM.
Bukan hanya komisioner Komnas HAM yang berkata demikian. Ketua Komisi III
DPR Pieter C. Zulkifli Simabuea menuturkan, sebaiknya Polri memberikan
keleluasaan kepada polwan yang ingin menggunakan jilbab. Pieter tidak
sendiri mengatakan demikian. Wakil Ketua Komisi III DPR Al Muzzamil Yusuf
pun senada. Dia menyatakan, jangan menunda, lebih bijak adalah memberikan
kesempatan kepada polwan untuk mengenakan jilbab.
Keinginan banyak polwan untuk menggunakan jilbab muncul sejak zaman Polri
di bawah Kapolri Timur Pradopo. Begitu jabatan Kapolri berganti kepada
Sutarman, polwan direstui untuk menggunakan jilbab. Restu itu, rupanya,
disambut baik oleh para polwan. Terbukti, secara masal polwan yang tanpa
dipaksa berganti penampilan. Bahkan, sempat ada peragaan penggunaan jilbab
di halaman Polda Jakarta.
Peragaan tersebut menunjukkan seragam jilbab sesuai dengan kesatuan dan
tingkatnya. Sebab, sebelumnya Sutarman meminta seragam jilbab mengacu pada
polwan di Aceh. Setelah diberi kesempatan menggunakan pakaian yang
demikian, para polwan pun senang.
Sayangnya, kegembiraan para polwan tertunda karena Wakapolri Komjen
Oegroseno menunda penggunaan jilbab dengan alasan dana untuk gampol,
seragam polisi, belum dianggarkan dan baru dianggarkan pada 2015. Selain
itu, Sutarman mengakui, restu yang diberikan dalam penggunaan jilbab,
rupanya, ditindaklanjuti para polwan dengan menafsirkan sendiri-sendiri
jilbab mereka.
Hal itulah yang mungkin membuat Wakapolri Oegroseno mengungkapkan sesuatu
yang sangat menyakitkan hati umat Islam. Di sebuah berita online, dia menegaskan,
Polri itu organisasi resmi negara, bukan organisasi arisan ibu-ibu RT/RW.
Benarkah polwan menggunakan seragam jilbab karena suka-suka mereka?
Tampaknya tidak. Sebagai insan yang dididik dalam kedisiplinan, tentu
mereka patuh pada aturan atasan. Dengan perkataan Sutarman bahwa seragam
jilbab mengacu pada polwan di Aceh, tentu secara serentak para polwan akan
siap melaksanakan tugas menjalankan ucapan Sutarman itu.
Masalahnya di sini sebenarnya bukan soal anggaran dan surat keputusan
seragam jilbab, namun bisa jadi karena adanya islamphobia. Islamphobia? Ya. Sebab,
begitu restu penggunaan jilbab diberikan, secara serentak banyak polwan
yang menggunakan jilbab. Menghadapi yang demikian, tampaknya para petinggi
Polri kaget. Mereka menganggap yang akan menggunakan jilbab hanya beberapa
gelintir orang. Namun, rupanya ratusan polwan memilih pakaian jilbab untuk
bertugas.
Banyaknya polwan yang berjilbab itu ditafsirkan akan mengganggu persatuan
dan kesatuan di tubuh Polri. Penggunaan jilbab bisa jadi disebut akan
membedakan identitas para polwan antara yang Islam dan yang bukan. Dari
situlah rasa ego itu bisa muncul. Jilbab disebut sebagai identitas yang
menonjolkan salah satu kelompok dan bisa mengacam kelompok yang lain.
Karena itu, untuk mencegah prasangka yang demikian, restu dan kemauan baik
Sutarman tersebut dicabut.
Sebenarnya prasangka yang demikian merupakan sikap berlebihan kepada para
polwan yang ingin menggunakan jilbab. Penundaan jilbab masih menunjukkan
adanya islamphobia, ketakutan akan identitas agama
Islam. Para polwan yang berjilbab dianggap sebagai bentuk ancaman kepada
negara sehingga hal demikian harus dicegah.
Kalau kita lihat di beberapa negara, terutama negara berpenduduk mayoritas
Islam, penggunaan jilbab di institusi polisi dan militer sudah menjadi
seragam resmi dan tidak menimbulkan masalah. Patut kita puji, di banyak
negara yang mayoritas penduduknya beragama non-Islam dan sekuler, badan
kepolisiannya mempersilakan polwan yang beragama Islam menggunakan jilbab.
Negara mayoritas non-Islam dan sekuler yang memperbolehkan polwan berjilbab
itu, antara lain, Hungaria, Swedia, Inggris, Denmark, Australia, Selandia
Baru, dan AS. Bila negara seperti itu saja mengizinkan, kita kok malah menunda-nunda?
Protes penggunaan jilbab di kalangan polwan tidak hanya datang dari
petinggi polisi, namun juga dari masyarakat non-Islam. Ada seseorang yang
menyebutkan, kalau polwan dipersilakan memakai jilbab, polwan Kristen dan
Katolik juga dibolehkan menggunakan kalung salib atau identitas
kekristenan. Keinginan orang itu, yakni polwan Kristen, Katolik, dan agama
lainnya diperbolehkan menggunakan identitasnya, ya harus kita dukung.
Bukankah negara ini adalah negara Pancasila yang sila I-nya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila itu pastinya
memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menjalankan
perintah agama. Perintah menjalankan agama adalah tidak bertentangan dengan
Pancasila. Dengan demikian, di mana salahnya bila polwan menggunakan
jilbab? Bukankah keindonesiaan tidak akan berarti tanpa ketuhanan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar