Rabu, 11 Desember 2013

HAM dan Fobia Jilbab Polwan

HAM dan Fobia Jilbab Polwan
Ardi Winangun  ;   Anggota Departemen Komunikasi dan Informasi
Majelis Nasional KAHMI
JAWA POS,  10 Desember 2013

  

PENUNDAAN pemakaian jilbab polisi wanita (polwan) perlu menjadi renungan dalam Hari Hak Asasi Manusia (HAM) hari ini. Salah satu yang mengecam pelarangan itu, Komisioner Komnas HAM Siane Indriani, dalam sebuah kesempatan mengungkapkan bahwa seharusnya tidak perlu ada larangan jilbab bagi polwan. Lebih lanjut dikatakan, larangan Polri bagi polwan untuk berjilbab merupakan bentuk pelanggaran HAM. 

Bukan hanya komisioner Komnas HAM yang berkata demikian. Ketua Komisi III DPR Pieter C. Zulkifli Simabuea menuturkan, sebaiknya Polri memberikan keleluasaan kepada polwan yang ingin menggunakan jilbab. Pieter tidak sendiri mengatakan demikian. Wakil Ketua Komisi III DPR Al Muzzamil Yusuf pun senada. Dia menyatakan, jangan menunda, lebih bijak adalah memberikan kesempatan kepada polwan untuk mengenakan jilbab.

Keinginan banyak polwan untuk menggunakan jilbab muncul sejak zaman Polri di bawah Kapolri Timur Pradopo. Begitu jabatan Kapolri berganti kepada Sutarman, polwan dires­tui untuk menggunakan jilbab. Restu itu, rupanya, disambut baik oleh para polwan. Terbukti, secara masal polwan yang tanpa dipaksa berganti penampilan. Bahkan, sempat ada peragaan penggunaan jilbab di halaman Polda Jakarta.

Peragaan tersebut menunjukkan seragam jilbab sesuai dengan kesatuan dan tingkatnya. Sebab, sebelumnya Sutarman meminta seragam jilbab mengacu pada polwan di Aceh. Setelah diberi kesempatan menggunakan pakaian yang demikian, para polwan pun senang. 

Sayangnya, kegembiraan para polwan tertunda karena Wakapolri Komjen Oegroseno menunda penggunaan jilbab dengan alasan dana untuk gampol, seragam polisi, belum dianggarkan dan baru dianggarkan pada 2015. Selain itu, Sutarman mengakui, restu yang diberikan dalam penggunaan jilbab, rupanya, ditindaklanjuti para polwan dengan menafsirkan sendiri-sendiri jilbab mereka. 

Hal itulah yang mungkin membuat Wakapolri Oegroseno mengungkapkan sesuatu yang sangat menyakitkan hati umat Islam. Di sebuah berita online, dia menegaskan, Polri itu organisasi resmi negara, bukan organisasi arisan ibu-ibu RT/RW. 

Benarkah polwan menggunakan seragam jilbab karena suka-suka mereka? Tampaknya tidak. Sebagai insan yang dididik dalam kedisiplinan, tentu mereka patuh pada aturan atasan. Dengan perkataan Sutarman bahwa seragam jilbab mengacu pada polwan di Aceh, tentu secara serentak para polwan akan siap melaksanakan tugas menjalankan ucapan Sutarman itu.

Masalahnya di sini sebenarnya bukan soal anggaran dan surat keputusan seragam jilbab, namun bisa jadi karena adanya islamphobia. Islamphobia? Ya. Sebab, begitu restu penggunaan jilbab diberikan, secara serentak banyak polwan yang menggunakan jilbab. Menghadapi yang demikian, tampaknya para petinggi Polri kaget. Mereka menganggap yang akan menggunakan jilbab hanya beberapa gelintir orang. Namun, rupanya ratusan polwan memilih pakaian jilbab untuk bertugas.

Banyaknya polwan yang berjilbab itu ditafsirkan akan mengganggu persatuan dan kesatuan di tubuh Polri. Penggunaan jilbab bisa jadi disebut akan membedakan identitas para polwan antara yang Islam dan yang bukan. Dari situlah rasa ego itu bisa muncul. Jilbab disebut sebagai identitas yang menonjolkan salah satu kelompok dan bisa mengacam kelompok yang lain. Karena itu, untuk mencegah prasangka yang demikian, restu dan kemauan baik Sutarman tersebut dicabut. 

Sebenarnya prasangka yang demikian merupakan sikap berlebihan kepada para polwan yang ingin menggunakan jilbab. Penundaan jilbab masih menunjukkan adanya islamphobia, ketakutan akan identitas agama Islam. Para polwan yang berjilbab dianggap sebagai bentuk ancaman kepada negara sehingga hal demikian harus dicegah.

Kalau kita lihat di beberapa negara, terutama negara berpenduduk mayoritas Islam, penggunaan jilbab di ins­titusi polisi dan militer sudah menjadi seragam resmi dan tidak menimbulkan masalah. Patut kita puji, di banyak negara yang mayoritas penduduknya beragama non-Islam dan sekuler, badan kepolisiannya mempersilakan polwan yang beragama Islam menggunakan jilbab. Negara mayoritas non-Islam dan sekuler yang memperbolehkan polwan berjilbab itu, antara lain, Hungaria, Swedia, Inggris, Denmark, Australia, Selandia Baru, dan AS. Bila negara seperti itu saja mengizinkan, kita kok malah menunda-nunda?

Protes penggunaan jilbab di kalangan polwan tidak hanya datang dari petinggi polisi, namun juga dari masyarakat non-Islam. Ada seseorang yang menyebutkan, kalau polwan dipersilakan memakai jilbab, polwan Kristen dan Katolik juga dibolehkan menggunakan kalung salib atau identitas kekristenan. Keinginan orang itu, yakni polwan Kristen, Katolik, dan agama lainnya diperbolehkan menggunakan identitasnya, ya harus kita dukung. Bukankah negara ini adalah negara Pancasila yang sila I-nya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila itu pastinya memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menjalankan perintah agama. Perintah menjalankan agama adalah tidak bertentangan dengan Pancasila. Dengan demikian, di mana salahnya bila polwan menggunakan jilbab? Bukankah keindonesiaan tidak akan berarti tanpa ketuhanan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar