Sabtu, 21 Desember 2013

“Tahun Suara Rakyat”

“Tahun Suara Rakyat”

No name (Budiarto Shambazy?)  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  21 Desember 2013
  


SEPULUH hari lagi kita masuki tahun 2014, tahun yang oleh sebagian orang disebut sebagai ”tahun politik”. Berhubung politik kita makin mendekati 2014 makin keruh, istilah ”tahun politik” terasa agak seram. Lalu tahun apa? Mungkin akan lebih menenangkan batin jika kita menamai 2014 sebagai ”tahun suara rakyat” karena penyelenggaraan Pemilu 2014 pada 9 April.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang konsultasi dengan DPR dan pemerintah agar putaran pertama Pilpres 2014 berlangsung 9 Juli 2014. Saya tidak tahu alasan KPU mengapa tanggal-tanggal Pemilu-Pilpres 2014 harus ”serba tanggal 9”?
Dari perspektif politis, 2014 pantas dikatakan sebagai ”tahun suara rakyat”. Mengapa?
Rakyat telah berubah menjadi kekuatan politik yang tak terbendung lagi oleh kekuatan- kekuatan mana pun di negeri ini. Rakyat sedang merebut kembali daulat yang sejak 2009 diselewengkan politisi, partai, dan penguasa.
Dan, penyelewengan itu dilakukan melalui korupsi. Ya, korupsi sudah menjadi musuh bersama yang menghambat kemajuan bangsa dan negara ini.
Lebih buruk lagi, korupsi telah membuat bangsa ini mundur. Rakyat telanjur memilih jalan sendiri, tak mau lagi berharap dari tiga cabang kekuasaan yang dirusak habis oleh korupsi yang sistemik dan absurd.
Itu sebabnya ada pelesetan baru tentang Trias Corruptica, yang terdiri dari cabang execu-thieves, legisla-thieves, dan judica-thieves. Semua cabang dirasuki pencuri.
Nah, ”tahun suara rakyat” itu kebetulan bersua di jalan yang sama dengan kemunculan Gubernur DKI Joko Widodo. Jokowi menjadi tokoh atau simbol perubahan yang diusung rakyat yang muak terhadap korupsi.
Selain itu, Jokowi mengenalkan sosok yang ”baru tapi lama” tentang bagaimana semestinya pemimpin bekerja. Ia berhasil mencopot ”baju lama” kepemimpinan yang cuma mengandalkan citra semata, wibawa semu, predikat-predikat kosong, dan gaya yang feodalistis.
Jokowi bukan cuma menawarkan kepemimpinan yang bekerja, melainkan juga yang apa adanya. Sebetulnya dia ikon yang goes beyond politics yang berdiri di atas semua golongan—setidaknya mayoritas rakyat—yang tecermin dari popularitasnya sebagai capres yang terus meroket menurut hampir semua survei.
Namun, celakanya, Jokowi tidak bisa melarikan diri dari realitas politik bahwa dia adalah kader PDI-P yang harus tunduk pada aturan partai. Oleh sebab itu, tiap kali ada yang bertanya kepada saya apakah PDI-P akan melepas dia sebagai capres, saya cuma bisa menjawab, ”It’s a million dollar question.”
Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Megawati memiliki legalitas politik tertinggi yang memang dimandatkan oleh Kongres Bali 2010 untuk menentukan capres PDI-P.
Memang rasanya kurang enak menggantungkan nasib ”tahun suara rakyat” kepada Megawati seorang. Bisa dirasakan betapa tidak mudahnya bagi Megawati yang sedang menjalani multi-tasking memimpin partai, menentukan capres, dan masih berminat mencalonkan diri lagi sebagai capres.
Namun, apa boleh buat dan suka atau tidak, narasi politik di ”tahun suara rakyat” ini amat sangat ditentukan oleh seorang Jokowi saja. Kita semua tahu peliknya perkara ini, yang tiada henti dibicarakan nyaris oleh tiap orang di kantor, warung, mal, sampai kamar tidur.
Mari beranda-andai
Coba kita berandai-andai: Jokowi batal nyapres, lalu kira-kira bagaimana reaksi rakyat? Saya sendiri tidak tahu kecuali berani menduga pasti akan terjadi kekecewaan berskala massal.
Kalau dia nyapres itu mungkin lebih mudah diramalkan. Kalau memang popularitas Jokowi terus meroket, tidak terjadi bubble, lalu namanya diumumkan sebagai capres sebelum Pemilu 2014, maka PDI-P kemungkinan besar akan keluar sebagai partai pemenang.
Bahkan, tak mustahil target perolehan suara PDI-P pada Pemilu 2014, yakni 27,02 persen, akan terlampaui. Pertanyaannya, apakah PDI-P sebegitu naif menyia-nyiakan peluang emas yang mungkin takkan lagi datang ini?
Sekali lagi, fenomena Jokowi inilah yang akan mendikte narasi politik kita sepanjang tahun 2014. Sebuah hal yang penting dicermati, hampir semua negara sahabat di kawasan ini dan juga di kawasan lain berkepentingan dengan apa yang akan terjadi tahun depan.
Bagi negara-negara sahabat itu, Indonesia harus stabil dan damai. Stabilitas dan perdamaian hanya bisa tercipta jika demokrasi berjalan sesuai aturan main.
Itu sebabnya mereka juga berkepentingan agar Pemilu-Pilpres 2014 tidak amburadul seperti tahun 2009. Seperti kita ketahui, Sidang Paripurna DPR Tahun 2010 menyetujui Opsi C atas korupsi Century yang diduga berkaitan dengan proses Pemilu-Pilpres 2009.
Kita bersama-sama mesti menjaga agar bencana seperti itu tidak terulang lagi tahun depan. Menurut perkiraan bisa terjadi lagi upaya pengumpulan dana ilegal untuk Pemilu-Pilpres 2014 dengan memanfaatkan sumber-sumber dana di sektor perbankan, migas dan tambang, BUMN, atau perpajakan.
Lega rasanya, kemarin, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditahan KPK pada ”Jumat keramat”. Ini kemenangan yang menjadi pembuka untuk ”tahun suara rakyat” 2014.
Ini lagi-lagi menjadi peringatan bagi mereka yang akan ikut kontes Pemilu-Pilpres 2014: jangan coba-coba! Kita rakyat ingin bersuara sekencang-kencangnya untuk menentukan ke mana dan bagaimana kita akan menempuh jalan bersama-sama ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar