SEPULUH hari lagi kita masuki
tahun 2014, tahun yang oleh sebagian orang disebut sebagai ”tahun
politik”. Berhubung politik kita makin mendekati 2014 makin keruh,
istilah ”tahun politik” terasa agak seram. Lalu tahun apa? Mungkin akan
lebih menenangkan batin jika kita menamai 2014 sebagai ”tahun suara
rakyat” karena penyelenggaraan Pemilu 2014 pada 9 April.
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sedang konsultasi dengan DPR dan pemerintah agar putaran pertama Pilpres
2014 berlangsung 9 Juli 2014. Saya tidak tahu alasan KPU mengapa
tanggal-tanggal Pemilu-Pilpres 2014 harus ”serba tanggal 9”?
Dari perspektif politis, 2014
pantas dikatakan sebagai ”tahun suara rakyat”. Mengapa?
Rakyat telah berubah menjadi
kekuatan politik yang tak terbendung lagi oleh kekuatan- kekuatan mana
pun di negeri ini. Rakyat sedang merebut kembali daulat yang sejak 2009
diselewengkan politisi, partai, dan penguasa.
Dan, penyelewengan itu
dilakukan melalui korupsi. Ya, korupsi sudah menjadi musuh bersama yang
menghambat kemajuan bangsa dan negara ini.
Lebih buruk lagi, korupsi
telah membuat bangsa ini mundur. Rakyat telanjur memilih jalan sendiri,
tak mau lagi berharap dari tiga cabang kekuasaan yang dirusak habis oleh
korupsi yang sistemik dan absurd.
Itu sebabnya ada pelesetan
baru tentang Trias Corruptica,
yang terdiri dari cabang execu-thieves, legisla-thieves,
dan judica-thieves. Semua
cabang dirasuki pencuri.
Nah, ”tahun suara rakyat” itu
kebetulan bersua di jalan yang sama dengan kemunculan Gubernur DKI Joko
Widodo. Jokowi menjadi tokoh atau simbol perubahan yang diusung rakyat
yang muak terhadap korupsi.
Selain itu, Jokowi mengenalkan
sosok yang ”baru tapi lama” tentang bagaimana semestinya pemimpin
bekerja. Ia berhasil mencopot ”baju lama” kepemimpinan yang cuma
mengandalkan citra semata, wibawa semu, predikat-predikat kosong, dan
gaya yang feodalistis.
Jokowi bukan cuma menawarkan
kepemimpinan yang bekerja, melainkan juga yang apa adanya. Sebetulnya dia
ikon yang goes beyond politics yang
berdiri di atas semua golongan—setidaknya mayoritas rakyat—yang tecermin
dari popularitasnya sebagai capres yang terus meroket menurut hampir
semua survei.
Namun, celakanya, Jokowi tidak
bisa melarikan diri dari realitas politik bahwa dia adalah kader PDI-P
yang harus tunduk pada aturan partai. Oleh sebab itu, tiap kali ada yang
bertanya kepada saya apakah PDI-P akan melepas dia sebagai capres, saya
cuma bisa menjawab, ”It’s a million
dollar question.”
Pertanyaan itu hanya bisa
dijawab oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Megawati memiliki
legalitas politik tertinggi yang memang dimandatkan oleh Kongres Bali
2010 untuk menentukan capres PDI-P.
Memang rasanya kurang enak
menggantungkan nasib ”tahun suara rakyat” kepada Megawati seorang. Bisa
dirasakan betapa tidak mudahnya bagi Megawati yang sedang menjalani multi-tasking memimpin
partai, menentukan capres, dan masih berminat mencalonkan diri lagi
sebagai capres.
Namun, apa boleh buat dan suka
atau tidak, narasi politik di ”tahun suara rakyat” ini amat sangat
ditentukan oleh seorang Jokowi saja. Kita semua tahu peliknya perkara
ini, yang tiada henti dibicarakan nyaris oleh tiap orang di kantor,
warung, mal, sampai kamar tidur.
Mari beranda-andai
Coba kita berandai-andai:
Jokowi batal nyapres, lalu kira-kira bagaimana reaksi rakyat? Saya
sendiri tidak tahu kecuali berani menduga pasti akan terjadi kekecewaan
berskala massal.
Kalau dia nyapres itu
mungkin lebih mudah diramalkan. Kalau memang popularitas Jokowi terus
meroket, tidak terjadi bubble, lalu namanya diumumkan sebagai capres
sebelum Pemilu 2014, maka PDI-P kemungkinan besar akan keluar sebagai
partai pemenang.
Bahkan, tak mustahil target
perolehan suara PDI-P pada Pemilu 2014, yakni 27,02 persen, akan
terlampaui. Pertanyaannya, apakah PDI-P sebegitu naif menyia-nyiakan
peluang emas yang mungkin takkan lagi datang ini?
Sekali lagi, fenomena Jokowi
inilah yang akan mendikte narasi politik kita sepanjang tahun 2014.
Sebuah hal yang penting dicermati, hampir semua negara sahabat di kawasan
ini dan juga di kawasan lain berkepentingan dengan apa yang akan terjadi
tahun depan.
Bagi negara-negara sahabat
itu, Indonesia harus stabil dan damai. Stabilitas dan perdamaian hanya
bisa tercipta jika demokrasi berjalan sesuai aturan main.
Itu sebabnya mereka juga
berkepentingan agar Pemilu-Pilpres 2014 tidak amburadul seperti tahun
2009. Seperti kita ketahui, Sidang Paripurna DPR Tahun 2010 menyetujui
Opsi C atas korupsi Century yang diduga berkaitan dengan proses
Pemilu-Pilpres 2009.
Kita bersama-sama mesti
menjaga agar bencana seperti itu tidak terulang lagi tahun depan. Menurut
perkiraan bisa terjadi lagi upaya pengumpulan dana ilegal untuk
Pemilu-Pilpres 2014 dengan memanfaatkan sumber-sumber dana di sektor
perbankan, migas dan tambang, BUMN, atau perpajakan.
Lega rasanya, kemarin,
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditahan KPK pada ”Jumat keramat”. Ini
kemenangan yang menjadi pembuka untuk ”tahun suara rakyat” 2014.
Ini lagi-lagi menjadi
peringatan bagi mereka yang akan ikut kontes Pemilu-Pilpres 2014: jangan
coba-coba! Kita rakyat ingin bersuara sekencang-kencangnya untuk
menentukan ke mana dan bagaimana kita akan menempuh jalan bersama-sama ke
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar