KAWASAN Timur Tengah pada
paruh kedua tahun 2013 diwarnai rangkaian peristiwa besar yang terjadi
secara bertubi-tubi dengan jarak waktu berdekatan. Rangkaian peristiwa
itu saling terkait dan saling memengaruhi satu sama lain.
Dimulai dengan aksi
penggulingan Presiden Mesir Muhammad Mursi pada 3 Juli, disusul
persetujuan pemusnahan senjata kimia Suriah antara Amerika Serikat dan
Rusia pada akhir September. Dua bulan kemudian, tepatnya pada 24
November, tercapai kesepakatan sementara atas program pengembangan nuklir
Iran di Geneva, Swiss. Menyusul beredarnya berita tentang kesepakatan
sementara atas garis besar rancangan kesepahaman damai final
Israel-Palestina, yang terjadi pada kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat John Kerry ke Israel dan Palestina pada 12 Desember.
Rangkaian peristiwa besar itu
mau tidak mau telah mengubah tatanan hubungan regional di kawasan Timur
Tengah serta hubungan antara sejumlah negara di Timur Tengah dan kekuatan
internasional. Bahkan, hubungan antarkekuatan internasional itu juga
turut terpengaruh.
Perubahan tatanan hubungan
tersebut terus berproses saat ini dan belum mencapai bentuknya yang
final. Yang tampak adalah sedang gencar terjadi proses transaksional
antara kekuatan lokal, regional, dan internasional di Timur Tengah untuk
mendapat keuntungan politik sebesar-besarnya dari perubahan tatanan
hubungan regional itu.
Guncangan besar pertama,
misalnya, penggulingan Mursi dari kursi presiden oleh militer Mesir, tak
hanya menimbulkan friksi di dalam negeri Mesir. Tumbangnya kekuasaan
tokoh Ikhwanul Muslimin itu juga memicu perpecahan di tingkat regional
dan internasional.
Segera muncul kubu yang
mendukung tersingkirnya Mursi. Kubu ini dimotori empat negara Teluk
Persia, yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, ditambah
Jordania. Di sisi seberang lahir kubu penentang yang dipimpin Turki,
Qatar, dan Tunisia serta dalam batas tertentu Kesultanan Oman. Adapun
Israel meski tak banyak berkomentar cenderung mendukung jatuhnya Mursi.
Negara-negara Barat, khususnya
AS, cenderung bersikap kritis terhadap peristiwa itu. AS dan Barat
melihat tumbangnya Mursi bisa merusak bangunan demokrasi yang baru
dirintis di Mesir setelah tumbangnya rezim Presiden Hosni Mubarak melalui
revolusi rakyat pada tahun 2011, yang saat itu memicu Musim Semi Arab.
Sikap kritis Barat terhadap
aksi penggulingan Mursi itu berdampak terjadinya pergeseran secara
signifikan dalam parameter hubungan regional di Timur Tengah. Pendirian
itu membuat AS dan sejumlah negara Barat menjadi berseberangan sikap soal
isu Mesir dengan banyak mitra strategisnya di Timur Tengah, terutama Arab
Saudi, Jordania, Kuwait, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.
Hal ini kemudian membuat
negara-negara mitra strategis AS, seperti Mesir dan Arab Saudi, melakukan
pendekatan dengan Rusia, yang merupakan saingan utama AS di pentas
internasional.
Merapatnya Mesir ke Rusia,
misalnya, ditandai dengan kunjungan bersejarah Menteri Luar Negeri Rusia
Sergey Lavrov didampingi Menteri Pertahanan Sergey Shoigu ke Kairo, Mesir,
pada 14 November.
Munculnya poros baru hubungan
regional akibat sikap pro-kontra penggulingan Mursi di Mesir itu
diperuncing oleh tercapainya kesepakatan Rusia-AS tentang pemusnahan
senjata kimia Suriah pada akhir September. Kesepakatan tersebut membuat
AS mengurungkan niatnya menyerang Suriah.
Kesepakatan Rusia-AS itu
semakin mengecewakan negara mitra strategis AS di Timur Tengah yang
selain anti-Mursi juga menentang pemerintahan Presiden Suriah Bashar
al-Assad, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait.
Arab Saudi menganggap
kesepakatan AS-Rusia soal pemusnahan senjata kimia Suriah itu hanya
memperkuat posisi politik Assad dan pendukung kuatnya, seperti Iran dan
kelompok Hezbollah di Lebanon.
Terpinggirkan
Hanya berselang dua bulan,
kubu ini semakin merasa terpinggirkan oleh kesepakatan sementara Iran dan
kelompok 5+1, yakni lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, AS, Rusia, Inggris, Perancis, China, plus Jerman, tentang
isu program pengembangan nuklir Iran. Kesepakatan Geneva itu diterangai
digalang oleh AS, yang didahului perundingan rahasia AS-Iran di Oman
sebelum tercapainya kesepakatan Geneva itu.
Tak pelak, Arab Saudi dan
Israel berang terhadap Washington akibat kesepakatan itu. Poros baru
dalam hubungan regional pun muncul lagi setelah kesepakatan Geneva
tersebut. Secara tiba-tiba, misalnya, beredar berita ada upaya pendekatan
Arab Saudi-Israel untuk melawan kesepakatan Geneva itu.
Laman harian Israel, The
Jerusalem Post, mengutip kantor berita Iran, Fars, pada 9 Desember lalu
melansir adanya pertemuan rahasia antara Kepala Intelijen Arab Saudi
Pangeran Bandar bin Sultan dan mitranya dari Israel pada 27 November di
Geneva.
Partisipasi Oman dalam
Kesepakatan Geneva itu juga memicu ketegangan dengan Arab Saudi. Hal itu
menyebabkan terganggunya kekompakan tubuh organisasi Dewan Kerja Sama
Negara Arab Teluk (GCC). Padahal GCC selama ini dikenal sebagai
organisasi paling solid di Timur Tengah, sejak berdirinya tahun 1981.
Arab Saudi berang kepada Oman karena menjadi tuan rumah perundingan
rahasia Iran-AS.
Walaupun demikian, AS berusaha
agar hubungan strategisnya dengan Israel dan Arab Saudi tidak terganggu.
Meskipun dalam waktu bersamaan terjadi pendekatan antara AS dan Iran. AS
kini mencoba melakukan transaksi dengan Israel, dengan imbalan Israel
tidak mengganggu kesepakatan Geneva.
Bentuk transaksi yang dicoba
ditawarkan adalah rancangan kesepahaman damai final Israel-Palestina yang
disampaikan John Kerry dalam kunjungannya ke Israel dan Palestina.
Rancangan kesepahaman itu sebagian besar mengadopsi aspirasi Israel,
seperti mempertahankan posisi tentara Israel di Lembah Jordan selama 10
tahun dan bisa diperpanjang lagi.
Gesekan hubungan regional di
Timur Tengah itu terus bergulir saat ini. Bentuk final pola hubungan regional
yang baru kelak akan ditentukan oleh pola penyelesaian akhir isu Suriah,
Mesir, dan program nuklir Iran nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar