Rabu, 25 Desember 2013

Para Wakil Kepala Daerah Bersiap Menjadi Kepala Daerah

Para Wakil Kepala Daerah
Bersiap Menjadi Kepala Daerah
Ardi Winangun  ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
OKEZONENEWS,  24 Desember 2013
  


Begitu Komisi Pemberantas Korupsi menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menjadi tersangka korupsi, maka serta merta PDIP mengatakan Rano Karno sebagai Wakil Gubernur Banten siap menggantikan posisi Atut sebagai gubernur. Rano Karno berhak menggantikan Atut sebab aturannya memang demikian, bila kepala daerah berhalangan tetap maka wakilnya yang akan menggantikan posisinya.

Rano Karno menjadi gubernur bisa jadi merupakan berkah bagi dirinya, sebab selama ini dikatakan dirinya sering tidak diajak Atut untuk membahas berbagai kebijakan di provinsi paling barat Pulau Jawa itu. Kewenangan wakil gubernur pun dikatakan sering dipangkas oleh Atut sehingga keberadaan Rano Karno selama ini antara ada dan tiada. Kesabaran Rano Karno-lah yang akhirnya menghantarkan dirinya menjadi orang nomor satu di Banten karena sebelumnya diisukan dirinya hendak mengundurkan diri.

Orang seperti Rano Karno, yang berganti posisi dari wakil kepala daerah menjadi kepala daerah, dalam beberapa tahun terakhir ini dan ke depan sepertinya akan semakin banyak. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013 ada sekira 309 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Di Indonesia ada 33 provinsi, 414 kabupaten, 92 kota. Bila semuanya kepala daerah sebanyak, 309 kasus,  ditetapkan menjadi tersangka maka akan terjadi peralihan kekuasaan dari wakil kepala daerah menjadi kepala daerah secara massif. Sungguh sangat memprihatinkan.

Mengapa kepala daerah banyak yang menjadi tersangka korupsi? Ini merupakan akibat mahalnya demokrasi langsung yang berlangsung di Indonesia. Menurut seorang politisi DPR dalam buku karyanya, untuk menjadi anggota DPR dibutuhkan dana dari Rp300 juta hingga Rp22 miliar. Bila untuk menjadi anggota DPR diperlukan dana sebanyak itu, tentu untuk menjadi kepala daerah bisa sama bahkan bisa lebih banyak, apalagi untuk menjadi gubernur.

Dana sebesar itu untuk membiayai kampanye, membayar tim sukses, saksi, bahkan untuk menyuap oknum penyelenggara pemilu bahkan anggota Mahkamah Konstitusi. Dalam berita dikabarkan saat penyidik KPK menangkap seorang pengusaha dalam kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk sebuah kasus Pilkada ditemukan uang dalam amplop total Rp3 miliar. Untuk menyuap Akil saja sudah bisa untuk menjadikan seseorang menjadi anggota DPR. Dengan demikian untuk Pilkada bisa mencapai ratusan miliar rupiah. 

Tentu calon kepala daerah ketika maju dalam Pilkada sudah memperhitungkan biaya yang akan dikeluarkan dan ia juga sudah memperhitungkan dana dari mana uang itu bisa dikembalikan. Nah di sinilah peluang kepala daerah untuk melakukan tindakan melanggar hukum, yakni melakukan penyelewengan anggaran daerah dan pusat dengan cara menggelembungkan atau mengempiskan anggaran dan biaya sehingga ia bisa memperoleh dana untuk menutupi atau membayar utang dari dana yang sudah dikeluarkan saat Pilkada. 

Mengincar posisi kepada daerah dalam Pilkada menjadi rebutan bisa jadi dilandasi faktor jabatan kepala daerah prestisse dan ruang untuk menjadi kaya lebih besar daripada wakil kepala daerah. Sebagai posisi ban serep maka posisi wakil kepala daerah tidak banyak diincar dan diperebutkan. Hal demikian juga berpengaruh pada pengeluaran anggaran yang perlu dikeluarkan oleh calon wakil kepala daerah saat Pilkada. Anggaran yang dibebankan kepada calon wakil kepala daerah tak sebanyak calon kepala daerah. Anggaran kepala daerah biasanya ‘seikhlasnya’ atau menambahi dari kekurangan yang ada. Ini bisa terjadi karena ruang lingkup wakil kepala daerah terbatas dan secara otomatis ‘lahan basahnya’ juga terbatas.

Dengan melihat fakta semakin banyaknya kepala daerah dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi karena mengeruk uang negara untuk mengembalikan modal Pilkada, maka kalau kita mau cerdas ketika ikut dalam pemilihan kepala daerah sekali dalam lima tahun itu adalah dengan berposisi sebagai calon wakil kepala daerah. Alasannya, biaya yang ditanggung calon wakil kepala daerah kecil dan tak sebesar calon kepala daerah. Dengan kecilnya pengeluaran maka beban yang ditanggung menjadi ringan. Lain dengan calon kepala daerah yang diwajibkan untuk mengeluarkan anggaran yang lebih besar dan banyak.
 
Ketika biaya yang dikeluarkan banyak maka potensi untuk korupsi juga sangat tinggi dan terbukti 309 kepala daerah tersangkut masalah itu. Ketika kepala daerah sudah terendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan maka wakil kepala daerah berpeluang menjadi kepala daerah. Dengan melihat fakta di lapangan maka saat ini para wakil kepala daerah tinggal menunggu waktu saja menjadi kepala daerah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar