Jumat, 13 Desember 2013

Survei Politik dan Peran Media

Survei Politik dan Peran Media
Wisnu Prasetya Utomo  ;   Alumnus Komunikasi UGM
HALUAN,  05 Desember 2013
  


Akhir-akhir ini, banyak lembaga survei telah me­rilis hasil survei­nya terkait pemilihan umum 2014. Dalam survei terkait calon presiden, mayoritas lembaga survei menempatkan Jokowi di urutan pertama bila diban­dingkan dengan tokoh-tokoh politik lain. Artinya, bila pemilu presiden dilakukan hari ini, sang Gubernur DKI kemungkinan besar akan menjadi presiden yang baru.

Dengan melepaskan diri dari berbagai pertanyaan mengenai metodologi, hasil survei-survei tersebut bisa dikatakan hampir mencer­minkan bagaimana suara masyarakat Indonesia saat ini.

Namun, survei-survei tersebut meninggalkan satu hal yang menggelisahkan. Survei-survei tersebut secara tidak langsung telah mem­ben­tuk diskursus publik pada kesukaan dan ketidak­sukaan masyarakat terhadap calon tertentu. Seolah pertimbangan untuk menjadi presiden hanya berputar sekitar elektabilitas calon maupun partai politik.

Personalisasi politik semacam ini meninggalkan lubang besar dalam perja­lanan menuju kompetisi elektoral 2014. Pertama, alih-alih menyajikan ide-ide alternatif yang akan dibawa, aktor-aktor politik cenderung saling menyerang sisi perso­nal satu sama lain. Kita bisa melihat dari komentar aktor-aktor politik yang muncul di media menyikapi hasil-hasil survei tersebut. Kampanye negatif, pembu­nuhan karakter, sampai pencemaran nama baik menjadi metode yang diang­gap wajar untuk mem­peroleh kemenangan.

Sampai saat ini pun belum banyak muncul ide-ide alternatif semacam apa yang dibawa kandidat bah­kan partai politik menuju 2014. Padahal dengan kom­pleksitas permasalahan yang membelenggu republik saat ini, publik membutuhkan kepemimpinan baru yang berjalan dengan tawaran solusi yang sistematis dan komprehensif.

Kalaupun para kandidat belum memiliki atau belum memikirkan cetak biru rencana kepemimpinan nasional yang akan dibawa ke 2014, partai politik sebagai tulang punggung kandidat-kandidat tersebut sudah semestinya menyiap­kan rencana jangka panjang untuk memperbaiki negeri.

Minimnya diskursus ihwal gagasan alternatif tersebut berimplikasi pada persoalan kedua, publik tidak diajak untuk melihat secara kritis gagasan yang dibawa oleh sosok kandidat yang (di)muncul(kan) dari survei-survei tersebut. Karena yang kerap dibica­rakan adalah aspek-aspek personal kandidat atau calon presiden, publik lebih cen­derung membicarakan pe­nam­pilan luar kandidat. 

Dalam era di mana media mengambil peran yang penting dalam iklan-iklan politik, penam­pilan kandidat adalah satu hal yang bisa dibentuk dengan pencitraan.

Diskursus semacam ini bisa membawa masyarakat pada kekecewaan pasca 2014. Kita bisa melihat dari pelajaran di pemilihan umum nasional maupun di daerah selama ini. Ekspek­tasi yang tinggi dari masya­rakat kerap tidak bertemu dengan realisasi janji calon terpilih. Tentu kita tidak berharap hal tersebut terjadi lagi.

Pada titik ini kita berha­rap pada media yang menja­di saluran informasi utama bagi masyarakat untuk mengakses berita-berita politik. Dalam era politik yang termediasi seperti saat ini, media telah menjadi elemen komunikasi politik yang perannya melampaui partai politik dan warga. Aktor-aktor politik harus menggunakan media untuk memastikan pesan-pesannya – baik berupa program-progam politik, pernyataan sikap, maupun kampanye –  sampai kepada publik.

Asp dan Esaiasson da­­lam ­The Modernization of Swedish Campaign : Indi­vidualization, Profe­sionali­zation, and Medializa­tion (1996) sudah lama mengingatkan bahwa keha­diran media sebagai peran­tara antara pemilih dengan kandidat akan berimplikasi pada perubahan dramatis. Perubahan dramatis ini dimulai dari migrasi besar-besaran dunia politik ke dalam media, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Ada tiga tahapan dari perubahan dramatis ini. Tahapan pertama muncul ketika media massa teru­tama televisi menjadi kanal dominan yang meng­hubung­kan antara pemerintah, partai politik, dan warga. Proses komunikasi politik tidak terjadi secara langsung melalui komunikasi interper­sonal. Perjumpaan secara fisik berganti dengan citra artifisial yang direproduksi media. Alih-alih dianggap sebagai warga negara, individu-individu lebih tepat disebut sebagai penonton dalam kultur baru ini.

Sedangkan tahapan ke­dua, media tidak lagi hanya menjadi arena politik dan kontestasi ideologis. Media telah menjadi aktor politik itu sendiri. Media melaku­kan proses menyaring berita yang akan disiarkan. Penya­ringan ini dilakukan secara selektif oleh gatekeepers yang menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disem­bunyikan. Media mem­bentuk dan memobilisasi opini publik mengenai persepsi dan pemahaman politik. Tujuannya, tentu saja, membentuk agar agenda media – beserta berbagai kepentingan politik di belakangnya – menjadi agenda publik.

Tahapan ketiga yang merupakan tahapan terakhir memperlihatkan bentuk dari kekuatan media yang “tak terlihat”. Tahap ini terjadi ketika masyarakat atau lebih luas sistem sosial dan politik mengadopsi bagaimana nalar media bekerja. 
Masyarakat terjebak dalam rutinitas yang diciptakan oleh media. Semisal tentang bagaimana logika media mengeluarkan atau menahan satu isu, melakukan konfrontasi, membuka ruang polemik, sampai personifikasi isu, dan sebagainya.

Media menjadi medan perebutan citra politik untuk mendapatkan simpati publik. Skala kehadiran politisi ke ruang-ruang keluarga itu semakin lama semakin meningkat karena para politisi tidak hanya hadir dalam forum-forum yang “serius”. Dalam tayangan infotainment di televisi misalnya, kita semakin sering melihat politisi diliput aktivitas kesehariaannya.

Pengaruh media jauh melampaui apa yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam menyampaikan pe­san-pesannya. Dengan peran yang sedemikian penting, media memiliki peran untuk menentukan diskursus publik yang muncul. Sampai di sini tentu publik berharap media tidak sekadar menam­pilkan aspek-aspek personal kandidat calon presiden. Lebih dari itu, yang bisa dimunculkan media adalah gagasan-gagasan baru yang dibawa oleh kandidat mau­pun partai politik.

Dengan memperlihatkan ide-ide solusi alternatif untuk memperbaiki beragam per­soa­lan yang ada di Indo­nesia, masyarakat bisa menilai mana sosok kandidat yang serius memperbaiki negeri. Masyarakat bisa mengritisi ide-ide yang muncul. Jika media bisa memanfaatkan perannya strategisnya tersebut, masya­rakat Indonesia tidak akan membeli kucing dalam karung di tahun 2014. 

Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar