Akhir-akhir ini, banyak lembaga survei telah merilis hasil surveinya
terkait pemilihan umum 2014. Dalam survei terkait calon presiden, mayoritas
lembaga survei menempatkan Jokowi di urutan pertama bila dibandingkan
dengan tokoh-tokoh politik lain. Artinya, bila pemilu presiden dilakukan
hari ini, sang Gubernur DKI kemungkinan besar akan menjadi presiden yang
baru.
Dengan
melepaskan diri dari berbagai pertanyaan mengenai metodologi, hasil
survei-survei tersebut bisa dikatakan hampir mencerminkan bagaimana suara
masyarakat Indonesia saat ini.
Namun,
survei-survei tersebut meninggalkan satu hal yang menggelisahkan.
Survei-survei tersebut secara tidak langsung telah membentuk diskursus
publik pada kesukaan dan ketidaksukaan masyarakat terhadap calon tertentu.
Seolah pertimbangan untuk menjadi presiden hanya berputar sekitar
elektabilitas calon maupun partai politik.
Personalisasi
politik semacam ini meninggalkan lubang besar dalam perjalanan menuju
kompetisi elektoral 2014. Pertama, alih-alih menyajikan ide-ide alternatif
yang akan dibawa, aktor-aktor politik cenderung saling menyerang sisi personal
satu sama lain. Kita bisa melihat dari komentar aktor-aktor politik yang
muncul di media menyikapi hasil-hasil survei tersebut. Kampanye negatif,
pembunuhan karakter, sampai pencemaran nama baik menjadi metode yang dianggap
wajar untuk memperoleh kemenangan.
Sampai
saat ini pun belum banyak muncul ide-ide alternatif semacam apa yang dibawa
kandidat bahkan partai politik menuju 2014. Padahal dengan kompleksitas
permasalahan yang membelenggu republik saat ini, publik membutuhkan
kepemimpinan baru yang berjalan dengan tawaran solusi yang sistematis dan
komprehensif.
Kalaupun
para kandidat belum memiliki atau belum memikirkan cetak biru rencana
kepemimpinan nasional yang akan dibawa ke 2014, partai politik sebagai
tulang punggung kandidat-kandidat tersebut sudah semestinya menyiapkan
rencana jangka panjang untuk memperbaiki negeri.
Minimnya
diskursus ihwal gagasan alternatif tersebut berimplikasi pada persoalan
kedua, publik tidak diajak untuk melihat secara kritis gagasan yang dibawa
oleh sosok kandidat yang (di)muncul(kan) dari survei-survei tersebut.
Karena yang kerap dibicarakan adalah aspek-aspek personal kandidat atau
calon presiden, publik lebih cenderung membicarakan penampilan luar
kandidat.
Dalam era di mana media mengambil peran yang penting dalam
iklan-iklan politik, penampilan kandidat adalah satu hal yang bisa
dibentuk dengan pencitraan.
Diskursus
semacam ini bisa membawa masyarakat pada kekecewaan pasca 2014. Kita bisa
melihat dari pelajaran di pemilihan umum nasional maupun di daerah selama
ini. Ekspektasi yang tinggi dari masyarakat kerap tidak bertemu dengan
realisasi janji calon terpilih. Tentu kita tidak berharap hal tersebut
terjadi lagi.
Pada
titik ini kita berharap pada media yang menjadi saluran informasi utama
bagi masyarakat untuk mengakses berita-berita politik. Dalam era politik
yang termediasi seperti saat ini, media telah menjadi elemen komunikasi
politik yang perannya melampaui partai politik dan warga. Aktor-aktor
politik harus menggunakan media untuk memastikan pesan-pesannya – baik
berupa program-progam politik, pernyataan sikap, maupun kampanye
– sampai kepada publik.
Asp
dan Esaiasson dalam The
Modernization of Swedish Campaign : Individualization, Profesionalization,
and Medialization (1996)
sudah lama mengingatkan bahwa kehadiran media sebagai perantara antara
pemilih dengan kandidat akan berimplikasi pada perubahan dramatis.
Perubahan dramatis ini dimulai dari migrasi besar-besaran dunia politik ke
dalam media, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Ada
tiga tahapan dari perubahan dramatis ini. Tahapan pertama muncul ketika
media massa terutama televisi menjadi kanal dominan yang menghubungkan
antara pemerintah, partai politik, dan warga. Proses komunikasi politik
tidak terjadi secara langsung melalui komunikasi interpersonal. Perjumpaan
secara fisik berganti dengan citra artifisial yang direproduksi media.
Alih-alih dianggap sebagai warga negara, individu-individu lebih tepat
disebut sebagai penonton dalam kultur baru ini.
Sedangkan
tahapan kedua, media tidak lagi hanya menjadi arena politik dan kontestasi
ideologis. Media telah menjadi aktor politik itu sendiri. Media melakukan
proses menyaring berita yang akan disiarkan. Penyaringan ini dilakukan
secara selektif oleh gatekeepers yang menentukan mana yang pantas
diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Media membentuk dan
memobilisasi opini publik mengenai persepsi dan pemahaman politik.
Tujuannya, tentu saja, membentuk agar agenda media – beserta berbagai
kepentingan politik di belakangnya – menjadi agenda publik.
Tahapan
ketiga yang merupakan tahapan terakhir memperlihatkan bentuk dari kekuatan
media yang “tak terlihat”. Tahap ini terjadi ketika masyarakat atau lebih
luas sistem sosial dan politik mengadopsi bagaimana nalar media bekerja.
Masyarakat terjebak dalam rutinitas yang diciptakan oleh media. Semisal
tentang bagaimana logika media mengeluarkan atau menahan satu isu,
melakukan konfrontasi, membuka ruang polemik, sampai personifikasi isu, dan
sebagainya.
Media
menjadi medan perebutan citra politik untuk mendapatkan simpati publik.
Skala kehadiran politisi ke ruang-ruang keluarga itu semakin lama semakin
meningkat karena para politisi tidak hanya hadir dalam forum-forum yang
“serius”. Dalam tayangan infotainment di televisi misalnya, kita semakin
sering melihat politisi diliput aktivitas kesehariaannya.
Pengaruh
media jauh melampaui apa yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam
menyampaikan pesan-pesannya. Dengan peran yang sedemikian penting, media
memiliki peran untuk menentukan diskursus publik yang muncul. Sampai di
sini tentu publik berharap media tidak sekadar menampilkan aspek-aspek
personal kandidat calon presiden. Lebih dari itu, yang bisa dimunculkan
media adalah gagasan-gagasan baru yang dibawa oleh kandidat maupun partai
politik.
Dengan
memperlihatkan ide-ide solusi alternatif untuk memperbaiki beragam persoalan
yang ada di Indonesia, masyarakat bisa menilai mana sosok kandidat yang
serius memperbaiki negeri. Masyarakat bisa mengritisi ide-ide yang muncul.
Jika media bisa memanfaatkan perannya strategisnya tersebut, masyarakat
Indonesia tidak akan membeli kucing dalam karung di tahun 2014.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar