Polwan berjilbab?
Itulah salah satu berita menarik dikalangan Kepolisian Republik Indonesia
beberapa pekan terakhir ini. Ya, keinginan dan kerinduan sebagian anggota
Polwan untuk memakai kerudung atau jilbab dalam bertugas terjawab sudah.
Kapolri Jenderal Sutarman akhirnya mengeluarkan kebijakan yang membolehkan
anggota polisi wanita (Polwan) yang beragama Islam di Indonesia
memakai jilbab saat bertugas. Kebijakan yang sudah lama ditunggu-tunggu
sebenarnya.
Namun baru
sekarang kebijakan itu keluar dan tentu disambut gembira oleh Polwan.
Betapa tidak, keinginan untuk melaksanakankan ajaran agama disatu sisi
dan menjalankan tugas negara disisi lain, akhirnya dapat dilakukan secara
sekaligus. Dalam artian, tidak ada lagi pemisahan antara menunaikan ibadah
dengan melaksanakan tugas kedinasan. Dalam Islam memang tidak ada
pemisahan habluminallah dengan habluminannas.
Berjilbab
bagi Polwan muslimah memang tidak perlu dilarang. Sebab antara
menjalan agama dengan menjalankan tugas kedinasan merupakan satu kesatuan.
Dalam Islam, semua kegiatan yang positif adalah amal atau ibadah. Jadi
Polwan yang bertugas menunaikan amanat untuk menjaga ketertiban umum dan
keamanan juga adalah ibadah. Jadi alangkah lengkap dan sempurna jika dalam
bertugas Polwan juga memakai jilbab sebagai bagian dari amal agama yang
diyakininya.
Selain itu, di
Negara-negara Eropa saja yang muslimnya minoritas, pemakaian jilbab tidak
dilarang. Karena memang jilbab adalah pakaian seorang muslimah yang wajib
digunakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Alquran, perintah untuk menggunakan
jilbab terdapat dalam QS 24; 31, 24; 60, 33; 53, 33;55.
Karenanya, tak
sepantasnya seorang muslimah yang ingin menggunakannya dilarang. Selain
ia merupakan perintah agama, memakai jilbab adalah hak asasi seseorang. UU
Dasar 1945 jelas menjamin hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk
menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama sesuai dengan agama dan
kepercayaannya, termasuk dalam memakai jilbab.
Menggunakan
jilbab merupakan bagian dari hak seorang muslimah untuk menjaga dirinya
dari berbagai godaan, gangguan, fitnah dan sebagainya. Dalam Islam, jilbab
berfungsi untuk menghindari pelecehan, memelihara kecemburuan laki-laki,
mencegah penyangkit kanker kulit, memperlambat gejala penuaan, dan dapat
memberi keselamatan dari azab Allah SWT. Selain itu, jilbab bukan
saja bermakna teologis, dalam artian untuk kemanfaatan akhirat, melainkan
juga kemanfaatan duniawi. Buktinya, mereka yang memakai jilbab tidak pernah
mengurangi makna keahlian, keterampilan dan keprofesionalannya dalam
menjalankan tugas atau kedinasan. Bahkan tidak jarang mereka yang memakai
jilbab justru prestasi, komitmen dan loyalitasnya lebih baik dari yang
lainnya.
Kewajiban pemakai
jilbab dan kemanfaatannya memang tak terbantahkan lagi. Yang menjadi
persoalan yang perlu didiskusikan adalah sejauhmana seseorang memakai
jilbab itu terpanggil oleh panggilan teologis ( keimanan), bukan sekedar
panggilan tradisi, kultur dan model. Hal ini menarik dicermati, karena perkembangan
pemakaian jilbab di Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan dan
pergeseran, dari yang sifat teologis, tradisi dan kultur, kini telah
beralih menjadi model. Artinya, tidak semua orang memakai jilbab dewasa
ini diawali oleh dengan panggilan keimanan (teologis), tetapi ada yang
karena terpaksa, tradisi, kultur atau karena tarikan modelnya.
Di era tahun
1970an, memakai jilbab dianggap sesuatu yang dilekatkan dengan agama,
atau teologis, atau tradisi daerah tertentu. Dimana memakai jilbab atau
kerudung tradisional yang populer disebut kapstok. (Moeflich Hasbullah,
2012), yang populer di kalangan pesantren, madrasah, majelis taklim dan
ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Namun pasca tahun 1980an,
memakai jilbab meluas. Berbagai mahasiswa di perguruan tinggi, seperti ITB,
UGM, UI dan lainnya mulai menjadikan jilbab sebagai pakaian keislaman
mereka. Mereka tak lagi malu, segan dan takut dianggap tradisional, kuno
dan Islam garis keras atau fanatik. Jilbab merambah bagaikan air bah yang
terus membahana dimana-mana.
Maka diera tahun
1990an, pemakaian jilbab kemudian merambah ke kalangan yang lebih luas
seperti para politisi, pengusaha, artis, seniman, kantor pemerintah,
swasta, lembaga politik dan kaum profesional lainnya. Dalam era ini, jilbab
sudah menjadi bagian dari kehidupan kelas menengah dan elite.
Berbeda
dengan era sebelum tahun 1980an dan 1990an, dalam kesaharian kini kita menyaksikan
kerudung dipakai oleh perempuan berkelas dengan mengendarai mobil mewah,
pengusaha, politisi dan kaum profesional lainnya. Lahirlah beberapa
perintis dan perancang model busana muslimah seperti Anne Rufaidah, Ida
Royani, Ida Leman, Neno Warisman-untuk menyebut beberapa diantaranya.
Jilbab
gaul
Jika sebelumnya
semangat dan panggilan keimanan ( teologis) lebih mewarnai seseorang memakai
jilbab, maka di era sekarang semangat keagamaan mulai mencair dan bahkan
bergeser. Seseorang memakai jilbab bukan lagi semata-mata ingin mempertegaskan
dirinya sebagai seorang muslimah, melainkan juga karena tarikan model,
pergaulan dan lingkungan sosial yang mengitarinya.
Sebagai seorang
muslimah mereka ingin memakai pakaian muslimah, tetapi tetap ingin tampil
cantik dan menarik. Maka terjadi penggabungan dua panggilan sekaligus. Panggilan
keagamaan (teologis) yang menutup aurat, namun di sisi lain ada show keindahan tubuh, antara berkerudung
dan seksi. Seksi dan menarik adalah ikon-ikon kecantikan sekuler yang tak
terpisahkan dari cara berfikir para wanita muda dan remaja.
Ya, jilbab
kemudian kehilangan nilai sakralnya. Model pakaian muslimah seperti ini
telah kehilangan makna teologis/keagamaan. Yang ada ada nilai modisnya
saja. Hal ini telah diingatkan Rasulullah ratusan tahun silam; “Berpakaian
tetapi telanjang”. Pria yang matanya kreatif masih leluasa menikmati memandang
tubuh si pemakai jilbab. Pergeseran spirit dan panggilan dalam memakai
jilbab yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat, baik itu kaum
remaja, ibu-ibu dan kaum selebritas kita, mengakibatkan jilbab yang
berfungsi sebagai pakaian keimanan berubah menjadi pakaian gaul semata.
Hal ini tentu membuat kita prihatin, karena jilbab adalah pakaian yang diharapkan
mampu mencerminkan identitas diri dan perilaku si pemakainya.
Memaknai
Dalam suasana
kultur dan trend pemakaian jilbab yang tidaklagi mencerminkan semangat
dan panggilan teologis,melainkan beralih menjadi jilbab gaul yang lebih
mewakili trend model dan global, maka keinginan Polwan untuk memakai
jilbab dalam berdinas, yang selama ini terus diperjuangkan, tentu
merupakan peluang kultural untuk mengembalikkan makna pemakaian jilbab itu
sendiri.
Polwan berjilbab tentu bukan karena fakor trend atau gaul, karena
pakaian atau model jilbabnya disesuaikan dengan kepentingan dinas. Selain
itu, apa yang mereka perjuangkan selama ini benar-benar didasarkan atas
pilihan keimanan dan hak asasi manusia. Karena selain jilbab mereka bebas
memilih model pakaian dinas dan pakaian sehari-hari. Tapi mereka tetap
ingin memakai jilbab.
Hal ini berbeda dengan sebagian kaum lain seperti
selebriti atau yang lain, lebih dikarenakan tarikan trend, perteman, atau
memenuhi situasi tertentu.
Jika motivasi dan
keinginan Polwan berjilbab benar-benar didasari atas panggilan keimanan,
tentu kita menaruh harapan yang tinggi terhadap keinginan Polwan
berjilbab. Yakni bagaimana mereka mengembalikan semangat berjilbab itu
sebagai panggilan teologis atau keimanan, bukan semata-mata karena trend
atau gaul. Penulis berkeyakinan, apa yang mereka perjuangkan selama ini
dan baru di zaman Kapolri Sutarman ini direstui, merupakan bentuk dan realisasi
dari keyakinan yang hakiki akan kebenaran dan makna jilbab itu sendiri
sebagai pakaian takwa, dan bukan karena yang lain. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar