Jumat, 13 Desember 2013

Memaknai Polwan Berjilbab

Memaknai Polwan Berjilbab
Umar Natuna  ;   Ketua STAI Natuna
HALUAN,  03 Desember 2013
  


Polwan ber­jil­bab?  Itulah salah satu berita me­narik dikalangan Kepolisian Republik In­donesia beberapa pekan terakhir ini. Ya, keinginan dan kerinduan sebagian anggota Polwan untuk memakai kerudung atau jilbab dalam bertugas ter­jawab sudah. Kapolri Jen­deral Sutarman akhirnya mengeluarkan kebijakan yang membolehkan anggota polisi wanita (Polwan) yang beragama Islam di In­donesia  memakai jilbab saat bertugas. Kebijakan yang sudah lama ditunggu-tunggu sebenarnya.

Namun baru sekarang kebijakan itu keluar dan tentu disambut gembira oleh Polwan. Betapa tidak, keinginan untuk me­lak­sanakankan ajaran agama disatu sisi dan menjalankan tugas negara disisi lain, akhirnya dapat dilakukan secara sekaligus. Dalam artian, tidak ada lagi pemisahan antara menu­naikan ibadah dengan me­lak­sanakan tugas  ke­dinasan. Dalam Islam me­mang tidak ada pemi­sahan habluminallah dengan hab­luminannas.

Berjilbab bagi  Polwan muslimah memang tidak perlu dilarang. Sebab antara menjalan agama dengan menjalankan tugas ke­dinasan merupakan satu kesatuan. Dalam Islam, semua kegiatan yang positif adalah amal atau ibadah. Jadi Polwan yang bertugas menunaikan amanat untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan juga adalah ibadah. Jadi alangkah lengkap dan sempurna jika dalam bertugas Polwan juga memakai jilbab sebagai bagian dari amal agama yang diyakininya.

Selain itu, di Negara-negara Eropa saja yang muslimnya minoritas, pema­kaian jilbab tidak dilarang. Karena memang jilbab adalah pakaian seorang muslimah yang wajib digu­nakan oleh setiap peme­luknya. Dalam Alquran, perintah untuk meng­gu­nakan jilbab terdapat dalam QS 24; 31, 24; 60, 33; 53, 33;55. 

Karenanya, tak sepantasnya seorang mus­limah yang ingin meng­gunakannya dilarang. Selain ia merupakan perintah agama, memakai jilbab adalah hak asasi seseorang. UU Dasar 1945 jelas men­jamin hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama sesuai dengan agama dan kepercayaannya, termasuk dalam memakai jilbab.

Menggunakan jilbab merupakan bagian dari hak seorang muslimah untuk menjaga dirinya dari ber­bagai godaan, gangguan, fitnah dan sebagainya. Dalam Islam, jilbab ber­fungsi untuk menghindari pelecehan, memelihara kecemburuan laki-laki, mencegah penyangkit kan­ker kulit, memperlambat gejala penuaan, dan dapat memberi keselamatan dari azab Allah SWT.  Selain itu, jilbab bukan saja bermakna teologis, dalam artian untuk kemanfaatan akhirat, me­lain­­kan juga kemanfaatan duniawi. Buktinya, mereka yang memakai jilbab tidak pernah mengurangi makna keah­lian, keterampilan dan keprofesionalannya dalam menjalankan tugas atau kedinasan. Bahkan tidak jarang mereka yang mema­kai jilbab justru prestasi, komitmen dan loyalitasnya lebih baik dari yang lainnya.

Kewajiban pemakai jilbab dan kemanfaatannya me­mang tak terbantahkan lagi. Yang menjadi persoalan yang perlu didiskusikan adalah sejauhmana seseorang me­ma­kai jilbab itu terpanggil oleh panggilan teologis ( keimanan), bukan sekedar panggilan tradisi, kultur dan model. Hal ini menarik dicermati, karena per­kembangan pemakaian jilbab di Indonesia telah mengalami berbagai perkem­bangan dan perge­seran, dari yang sifat teologis, tradisi dan kultur, kini telah beralih menjadi model. Artinya, tidak semua orang memakai jilbab de­wasa ini diawali oleh dengan pang­gilan keimanan (teo­logis), tetapi ada yang karena terpaksa,  tradisi, kultur atau karena tarikan model­nya.

Di era tahun 1970an,  memakai jilbab dianggap sesuatu yang dilekatkan dengan agama, atau teologis, atau tradisi daerah tertentu. Dimana memakai jilbab atau kerudung tradisional yang populer disebut kap­stok. (Moeflich Has­bullah, 2012), yang populer di kalangan pesantren, madra­sah, majelis taklim dan ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Namun pasca tahun 1980an, memakai jilbab meluas. Berbagai mahasiswa di perguruan tinggi, seperti ITB, UGM, UI dan lainnya mulai menjadikan jilbab sebagai pakaian keislaman mereka. Mereka tak lagi malu, segan dan takut dianggap tradisional, kuno dan Islam garis keras atau fanatik. Jilbab merambah bagaikan air bah yang terus membahana dimana-mana.

Maka diera tahun 1990an, pemakaian jilbab kemudian merambah ke kalangan yang lebih luas seperti para politisi, pe­ngusaha, artis, seniman, kantor pemerintah, swasta, lembaga politik dan kaum profesional lainnya. Dalam era ini, jilbab sudah menjadi bagian dari kehidupan kelas menengah dan elite. 

Berbeda dengan era sebelum tahun 1980an dan 1990an, dalam kesaharian kini kita me­nyaksikan kerudung dipakai oleh perempuan berkelas dengan mengendarai mobil mewah, pengusaha, politisi dan kaum profesional lain­nya. Lahirlah beberapa perintis dan perancang model busana muslimah seperti Anne Rufaidah, Ida Royani, Ida Leman, Neno War­isman-untuk menyebut beberapa diantaranya.

Jilbab gaul

Jika sebelumnya se­mangat dan panggilan keimanan ( teologis) lebih mewarnai seseorang me­makai jilbab, maka di era sekarang semangat ke­agamaan mulai mencair dan bahkan bergeser.  Seseorang memakai jilbab bukan lagi semata-mata ingin mem­pertegaskan dirinya sebagai seorang muslimah, me­lainkan juga karena tarikan model, pergaulan dan ling­kungan sosial yang me­ngitarinya. 

Sebagai se­orang muslimah mereka ingin memakai pakaian muslimah, tetapi tetap ingin tampil cantik dan menarik. Maka terjadi penggabungan dua panggilan sekaligus. Pang­gilan keagamaan  (teologis) yang menutup aurat, namun di sisi lain ada show  kein­dahan tubuh, antara ber­kerudung dan seksi. Seksi dan menarik adalah ikon-ikon kecantikan sekuler yang tak terpisahkan dari cara berfikir para wanita muda dan remaja.

Ya, jilbab kemudian kehilangan nilai sakralnya. Model pakaian muslimah seperti ini telah kehilangan makna teologis/keagamaan. Yang ada ada nilai mo­disnya saja. Hal ini telah di­ingatkan Rasulullah ratusan tahun silam; “Berpakaian tetapi telanjang”. Pria yang matanya kreatif masih leluasa menikmati meman­dang tubuh si pe­makai jilbab. Pergeseran spirit dan panggilan dalam memakai jilbab yang terjadi dalam realitas kehidupan masya­rakat, baik itu kaum rema­ja, ibu-ibu dan kaum sele­britas kita, mengakibatkan jilbab yang berfungsi sebagai pakaian keimanan berubah menjadi pakaian gaul se­mata. Hal ini tentu mem­buat kita prihatin, karena jilbab adalah pakaian yang di­harapkan mampu men­cerminkan identitas diri dan perilaku si pemakainya.

Memaknai

Dalam suasana kultur dan trend pemakaian jilbab yang tidaklagi men­cer­minkan semangat dan panggilan teologis,melainkan beralih menjadi jilbab gaul yang lebih mewakili trend model dan global,  maka keinginan Polwan untuk memakai jilbab dalam berdinas, yang selama ini terus di­per­juangkan, tentu merupakan peluang kultural untuk mengembalikkan makna pemakaian jilbab itu sendiri. 

Polwan berjilbab tentu bukan karena fakor trend atau gaul, karena pakaian atau model jilbabnya disesuaikan dengan ke­pentingan dinas. Selain itu, apa yang mereka per­juang­kan selama ini benar-benar didasarkan atas pilihan keimanan dan hak asasi manusia. Karena selain jilbab mereka bebas memilih model pakaian dinas dan pakaian sehari-hari. Tapi mereka tetap ingin memakai jilbab. 
Hal ini berbeda dengan sebagian kaum lain seperti selebriti atau yang lain, lebih dikarenakan tarikan trend, perteman, atau memenuhi situasi tertentu.

Jika motivasi dan ke­inginan Polwan berjilbab benar-benar didasari atas panggilan keimanan, tentu  kita menaruh harapan yang tinggi terhadap keinginan Polwan berjilbab. Yakni bagaimana mereka mengem­balikan semangat berjilbab itu sebagai panggilan teologis atau keimanan, bukan semata-mata karena trend atau gaul. Penulis ber­keyakinan, apa yang mereka perjuangkan selama ini dan baru di zaman Kapolri Su­tarman ini direstui, me­rupakan bentuk dan rea­lisasi dari keyakinan yang hakiki akan kebenaran dan makna jilbab itu sendiri sebagai pakaian takwa, dan bukan karena yang lain. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar