Rabu, 18 Desember 2013

Candu Pungli Kebelet Nikah

Candu Pungli Kebelet Nikah
Mundzar Fahman  ;    Jurnalis Senior,
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro
JAWA POS,  17 Desember 2013

  

PARA penghulu tetap akan mogok dalam melayani pernikahan di luar kantor, seperti diberitakan kemarin di Metropolis Jawa Pos. Sebelumnya koran ini edisi Jumat (13/12) melaporkan kasus dugaan pungli biaya nikah di luar KUA di Kota Kediri yang kini ditangani Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Surabaya. Yang dirilis Jawa Pos adalah pernyataan menteri agama dan anggota DPR setelah mereka melakukan rapat kerja.

Saya menilai pernyataan pejabat tinggi kemenag dan anggota DPR tersebut aneh, lucu, dan cenderung mengaburkan akar persoalan kasus itu. Misalnya, komentar mereka bahwa akad nikah di KUA tidak manusiawi, bahwa biaya sekali laundry jas milik penghulu saja Rp 100 ribu, dan bahwa ada penghulu yang harus semalaman naik kuda untuk mendatangi rumah calon pengantin. Kayaknya, dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, seorang anggota DPR mendukung aksi mogok penghulu untuk tidak melayani akad nikah di luar KUA dan di luar jam kerja kantor. Ironis.

Akar masalah yang kini menjadi isu nasional itu adalah pungli biaya akad nikah di luar KUA dan di luar jam kerja kantor. Seorang kepala KUA di Kota Kediri, Jawa Timur, diduga memungut biaya akad nikah di luar KUA dan di luar jam kerja kantor "jauh'' melebihi biaya resmi akad nikah. Biaya resmi akad nikah Rp 30 ribu. Tetapi, di KUA Kota Kediri, biaya akad nikah di luar kantor (KUA) Rp 225 ribu dan di dalam kantor Rp 175 ribu. Akibat pungli seperti itu, kepala KUA Kota Kediri selama setahun (Januari-Desember 2012) memperoleh bagian Rp 42 juta. (Jawa Pos, 10 Desember 2013)

Kasus dugaan adanya pungli biaya nikah seperti itu tidak hanya terjadi di Kota Kediri. Di KUA Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, ternyata pungli biaya nikah lebih besar daripada yang di Kota Kediri. Calon pengantin umumnya dimintai biaya hingga Rp 300 ribu. Bahkan, ada dua pasangan pengantin warga negara asing (WNA) yang dimintai biaya hingga Rp 5 juta. Kini kasus ini juga sedang ditangani kejaksaan negeri setempat. (Jawa Pos, 10 Desember 2013)

Dari Padang, Sumatera Barat, dilaporkan bahwa pungli biaya nikah mencapai hingga Rp 3 juta. Biaya minimal di lapangan adalah Rp 100 ribu. Kecuali calon pengantin yang benar-benar miskin, biayanya bisa sangat ringan hingga gratis. (Jawa Pos, 7 Desember 2013) Di Lamongan, pungli biaya nikah antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. (Jawa Pos, 10 Desember 2013)

Seorang anggota Muspida Kabupaten Bojonegoro dalam rapat koordinasi menyampaikan informasi bahwa pungli biaya nikah di DKI Jakarta mencapai Rp 2,5 juta. Katanya, pernah terjadi calon pengantin di DKI sudah membayar di depan biaya nikah Rp 1 juta kepada seorang penghulu. Tetapi, ternyata, pada hari H pelaksanaan akad nikah, si penghulu tidak hadir. Padahal, sudah telanjur banyak undangan yang hadir. Usut punya usut, katanya, biaya nikah di sana Rp 2,5 juta. "Mungkin karena si penghulu merasa hanya dibayar Rp 1 juta, akhirnya dia tidak mau datang,'' katanya.

Menurut saya, akar masalahnya sebenarnya adalah itu. Artinya, ada dugaan praktik pungli biaya nikah di banyak daerah dan tempat. Besaran punglinya berbeda-beda. Apakah pungli yang terjadi di lingkungan departemen yang mengurusi soal-soal keagamaan itu dibiarkan terus? Jika kejadian di KUA Kota Kediri itu betul-betul terbukti dan begitu pula yang terjadi di Banyuwangi, Padang, dan di Lamongan itu benar adanya, apakah tidak malu para penghulu justru melakukan mogok memberikan pelayanan di luar kantor demi solidaritas membela kepala KUA Kota Kediri? 

Kita tidak memvonis seorang Romli bersalah. Sebab, pengadilan yang punya otoritas dalam menentukan seseorang terbukti bersalah atau tidak memang belum mengetokkan palu sidangnya. Tetapi, adalah sangat layak jika aroma pungli di kantor yang ngurusi agama itu dijadikan sebagai bahan evaluasi diri. Ojo dumeh dadi pejabat yang berkuasa dan punya kekuasaan "monopoli" kemudian kita minta diberi pelayanan yang lebih. Ojo dumeh rakyat sedang butuh jasa kita lalu kita seenaknya menuntut ini-itu kepada rakyat. Ojo dumeh rakyat sedang kebelet nikah lantas kita menetapkan tarif yang di luar kewajaran.

Apakah tidak lebih baik menjadikan kasus-kasus di atas sebagai bahan introspeksi bagi para penghulu? Jadikanlah pelajaran bersama bagi para penghulu untuk mengerem tindakan-tindakan selama ini. Jika tidak ada upaya-upaya untuk mengerem, hampir pasti praktik pungli seperti itu akan terus berlanjut. Bahkan, saya haqqul yaqin, besarannya akan terus naik mengikuti kenaikan nilai dolar. Sebab, salah satu penyakit kita sebagai manusia adalah rakus alias merasa selalu kurang. Sudah punya satu ingin punya dua. Sudah punya dua ingin punya tiga dan seterusnya. Sabda Rasulullah SAW: "Seandainya seseorang sudah punya harta seisi perut bumi, dia ingin punya dua perut bumi. Jika sudah punya dua, dia ingin punya tiga. Manusia tidak akan pernah merasa cukup dan puas dalam soal harta sebelum perutnya dipenuhi dengan tanah (alias sudah mati).'' 

Perlu reformasi agar sistem pernikahan dan pelaporan nikah kepada negara lebih sederhana dan tidak ditunggangi kepentingan haram. Ini urusan agama dan akhirat, Rek...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar