PARA penghulu tetap akan mogok dalam melayani
pernikahan di luar kantor, seperti diberitakan kemarin di Metropolis Jawa
Pos. Sebelumnya koran ini edisi Jumat (13/12) melaporkan kasus dugaan
pungli biaya nikah di luar KUA di Kota Kediri yang kini ditangani
Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Surabaya. Yang dirilis Jawa Pos
adalah pernyataan menteri agama dan anggota DPR setelah mereka melakukan
rapat kerja.
Saya menilai pernyataan pejabat tinggi
kemenag dan anggota DPR tersebut aneh, lucu, dan cenderung mengaburkan akar
persoalan kasus itu. Misalnya, komentar mereka bahwa akad nikah di KUA
tidak manusiawi, bahwa biaya sekali laundry jas milik penghulu saja Rp 100
ribu, dan bahwa ada penghulu yang harus semalaman naik kuda untuk
mendatangi rumah calon pengantin. Kayaknya, dengan pertimbangan-pertimbangan
seperti itu, seorang anggota DPR mendukung aksi mogok penghulu untuk tidak
melayani akad nikah di luar KUA dan di luar jam kerja kantor. Ironis.
Akar masalah yang kini menjadi isu nasional
itu adalah pungli biaya akad nikah di luar KUA dan di luar jam kerja
kantor. Seorang kepala KUA di Kota Kediri, Jawa Timur, diduga memungut
biaya akad nikah di luar KUA dan di luar jam kerja kantor "jauh''
melebihi biaya resmi akad nikah. Biaya resmi akad nikah Rp 30 ribu. Tetapi,
di KUA Kota Kediri, biaya akad nikah di luar kantor (KUA) Rp 225 ribu dan
di dalam kantor Rp 175 ribu. Akibat pungli seperti itu, kepala KUA Kota
Kediri selama setahun (Januari-Desember 2012) memperoleh bagian Rp 42 juta.
(Jawa Pos, 10 Desember 2013)
Kasus dugaan adanya pungli biaya nikah
seperti itu tidak hanya terjadi di Kota Kediri. Di KUA Kecamatan Glenmore,
Banyuwangi, ternyata pungli biaya nikah lebih besar daripada yang di Kota
Kediri. Calon pengantin umumnya dimintai biaya hingga Rp 300 ribu. Bahkan,
ada dua pasangan pengantin warga negara asing (WNA) yang dimintai biaya
hingga Rp 5 juta. Kini kasus ini juga sedang ditangani kejaksaan negeri
setempat. (Jawa Pos, 10 Desember 2013)
Dari Padang, Sumatera Barat, dilaporkan
bahwa pungli biaya nikah mencapai hingga Rp 3 juta. Biaya minimal di
lapangan adalah Rp 100 ribu. Kecuali calon pengantin yang benar-benar
miskin, biayanya bisa sangat ringan hingga gratis. (Jawa Pos, 7 Desember
2013) Di Lamongan, pungli biaya nikah antara Rp 300 ribu hingga Rp 500
ribu. (Jawa Pos, 10 Desember 2013)
Seorang anggota Muspida Kabupaten Bojonegoro
dalam rapat koordinasi menyampaikan informasi bahwa pungli biaya nikah di
DKI Jakarta mencapai Rp 2,5 juta. Katanya, pernah terjadi calon pengantin
di DKI sudah membayar di depan biaya nikah Rp 1 juta kepada seorang
penghulu. Tetapi, ternyata, pada hari H pelaksanaan akad nikah, si penghulu
tidak hadir. Padahal, sudah telanjur banyak undangan yang hadir. Usut punya
usut, katanya, biaya nikah di sana Rp 2,5 juta. "Mungkin karena si
penghulu merasa hanya dibayar Rp 1 juta, akhirnya dia tidak mau datang,''
katanya.
Menurut saya, akar masalahnya sebenarnya
adalah itu. Artinya, ada dugaan praktik pungli biaya nikah di banyak daerah
dan tempat. Besaran punglinya berbeda-beda. Apakah pungli yang terjadi di
lingkungan departemen yang mengurusi soal-soal keagamaan itu dibiarkan
terus? Jika kejadian di KUA Kota Kediri itu betul-betul terbukti dan begitu
pula yang terjadi di Banyuwangi, Padang, dan di Lamongan itu benar adanya,
apakah tidak malu para penghulu justru melakukan mogok memberikan pelayanan
di luar kantor demi solidaritas membela kepala KUA Kota Kediri?
Kita tidak memvonis seorang Romli bersalah.
Sebab, pengadilan yang punya otoritas dalam menentukan seseorang terbukti
bersalah atau tidak memang belum mengetokkan palu sidangnya. Tetapi, adalah
sangat layak jika aroma pungli di kantor yang ngurusi agama itu dijadikan
sebagai bahan evaluasi diri. Ojo dumeh dadi pejabat yang berkuasa dan punya
kekuasaan "monopoli" kemudian kita minta diberi pelayanan yang
lebih. Ojo dumeh rakyat sedang butuh jasa kita lalu kita seenaknya menuntut
ini-itu kepada rakyat. Ojo dumeh rakyat sedang kebelet nikah lantas kita
menetapkan tarif yang di luar kewajaran.
Apakah tidak lebih baik menjadikan
kasus-kasus di atas sebagai bahan introspeksi bagi para penghulu?
Jadikanlah pelajaran bersama bagi para penghulu untuk mengerem
tindakan-tindakan selama ini. Jika tidak ada upaya-upaya untuk mengerem,
hampir pasti praktik pungli seperti itu akan terus berlanjut. Bahkan, saya haqqul
yaqin, besarannya akan terus naik mengikuti kenaikan nilai dolar. Sebab,
salah satu penyakit kita sebagai manusia adalah rakus alias merasa selalu
kurang. Sudah punya satu ingin punya dua. Sudah punya dua ingin punya tiga
dan seterusnya. Sabda Rasulullah SAW: "Seandainya seseorang sudah
punya harta seisi perut bumi, dia ingin punya dua perut bumi. Jika sudah
punya dua, dia ingin punya tiga. Manusia tidak akan pernah merasa cukup dan
puas dalam soal harta sebelum perutnya dipenuhi dengan tanah (alias sudah
mati).''
Perlu reformasi agar sistem pernikahan dan
pelaporan nikah kepada negara lebih sederhana dan tidak ditunggangi
kepentingan haram. Ini urusan agama dan akhirat, Rek...
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar