Spirit Natal
dan Teologi Pembebasan
Fathorrahman ; Dosen Sosiologi Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; Sedang menempuh S-3 pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS,
23 Desember 2013
Dalam dokumen ”imbauan apostolik”
Paus Fransiskus menyerukan reformasi dan pembaruan gereja Katolik dengan
mengimbau para pemimpin global dan umat untuk lebih fokus memerangi
kemiskinan. Dia juga mengecam kapitalisme yang disebutnya sebagai ”tirani
baru”.
Pernyataan Paus Fransiskus
tersebut tidak sebatas wacana. Dia merealisasikannya dalam berbagai tindakan
nyata. Seleranya yang merakyat ditunjukkan melalui kesederhanaan ketika dia
lebih memilih tinggal di guest house Vatikan dari pada istana
kerasulan yang mewah. Untuk bepergian pun dia menggunakan kendaraan yang
tidak mewah. Bahkan, dia sering keluar malam dengan menyamar sebagai biara
untuk menemui kaum papa di sekitar Vatikan.
Dalam hal ini, apa yang diperbuat
Paus Fransiskus menjadi suri teladan yang dapat menginspirasi semua kalangan.
Kiprahnya mengingatkan kita bahwa kesederhanaan adalah pangkal semua perkara.
Dan kepentingan umum (maslahat) adalah tujuan semua tindakan nyata. Aksinya
yang banyak memihak kaum papa menjadi simpul penggerak apresiasi dunia untuk
mengatakan bahwa dia adalah salah satu figur pemimpin umat yang bersahaja.
Upayanya melakukan ”konversi
kepausan” dan revitalisasi peran gereja menjadi simbol keimanan yang
bernuansa teologi pembebasan—meminjam istilah Gutierrez. Bagi Paus
Fransiskus, keimanan dimanifestasi sebagai gerakan pembebasan rakyat dari
belenggu keterbelakangan dan ketidakberdayaan.
Dia berjibaku menyadarkan umatnya
untuk peduli sesama dengan landasan saling merasakan (simbiosis mutualis) dan
saling memiliki (sense of belonging).
Bahkan, secara tegas dia
mengatakan, ”Saya lebih suka gereja yang memar, terluka, dan kotor karena
telah keluar di jalan-jalan. Bukan gereja yang sehat dan sibuk dengan
keamanannya sendiri” (Kompas, 28/11/2013). Atas sikapnya yang egaliter dan
penuh terobosan tersebut, wajar jika majalahTime mengukuhkannya sebagai
Person of the Year 2013.
Iman
yang membebaskan
Menurut Nurcholish Madjid (Cak
Nur), dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban, iman adalah sarana
melakukan emansipasi harkat kemanusiaan. Secara asasi, iman adalah upaya
memberikan keamanan dan kesentosaan. Iman tidak hanya bermakna percaya,
tetapi berfungsi sebagai sarana pembebasan diri dari ketergantungan,
kesewenangan, dan intimidasi.
Pandangan Cak Nur selaras dengan
konsep teologi al ma’un yang digagas Moeslim Abdurrahman. Konsep
ini merujuk pada surat al ma’un yang mengajarkan pembelaan terhadap
kaum melarat dan kaum tertindas. Dalam perkembangannya, konsep ini banyak
digunakan oleh lembaga-lembaga filantropi sebagai model bantuan kemanusiaan
tanpa melihat struktur kedekatan hubungan sosial, budaya, dan agama.
Secara epistemologis, definisi
iman yang terkontekstualisasi dengan teologi pembebasan dan semangat
kemanusiaan menjadi cita-cita besar Paus Fransiskus untuk membumikan
ajaran-ajaran Yesus yang rela berkorban demi kepentingan umat.
Meskipun cara Paus Fransiskus
dianggap ”aneh”, di luar nalar kebiasaan, menurut Uskup Konrad Krajewski,
Paus Fransiskus tidak pernah peduli. Yang penting adalah bisa menjalankan
tugas sebagai pelindung atau pemelihara umat.
Dalam kaitan ini, merujuk pada
teori maqashid yang dikembangkan Imam Syatibi, konsep perlindungan
atau pemeliharaan (muhafadlah) terhadap manusia dipetakan ke dalam lima
unsur, yaitu pemeliharaan agama (din), pemeliharaan jiwa (nafs), pemeliharaan
akal (‘aql), pemeliharaan keturunan (nasl), dan pemeliharaan harta (mal).
Secara detail dan eksplisit,
mungkin konsep perlindungan atau pemeliharaan manusia yang dimaksud Paus
Fransiskus tidak sama dengan gagasan Imam Syatibi.
Namun, secara umum, gagasan
Syatibi menjadi kesadaran sublimatik semua kalangan yang secara implisit
dilansir dalam berbagai pandangan.
Paus Fransiskus juga menegaskan
pentingnya tugas melindungi atau memelihara umat, baik yang berkaitan dengan
komitmen keimanan, hak asasi, kebebasan berpikir, keberlangsungan generasi,
dan kesejahteraan ekonomi.
Pada titik ini, Paus Fransiskus
berupaya menjalankan tugas kerasulan melalui pemberdayaan umat melalui kerja
kemanusiaan. Ajaran Kristiani menjadi pedoman pembebasan dari belenggu
ketidakberdayaan dan keterbelakangan.
Introspeksi
Ajaran Paus Fransiskus harus
diteladani umatnya. Dengan demikian, ajaran Kristiani menjadi semacam
’teologi al ma’un’ yang bertanggung jawab bagi pembebasan manusia dari
kemelaratan.
Dalam hal ini, Natal adalah salah
satu bentuk seremonialisasi ajaran Kristiani yang menjadi titik lebur (melting point) umat penganutnya agar
tidak menjadi sekadar ritual keagamaan. Lebih dari itu, Natal harus menjadi
inspirasi perubahan signifikan bagi tatanan kehidupan yang bermartabat.
Maka, selain menyikapi Natal
sebagai bagian dari ekspresi keimanan, Natal juga bisa menjadi sarana
introspeksi (muhasabah) untuk
memahami ajaran Kristiani agar dapat memberikan kemaslahatan yang lebih baik
pada keagungan agama, kedaulatan negara, dan semangat kebangsaan yang
nasionalistik.
Dengan demikian, perayaan Natal
menjadi the ultimate concern—meminjam
istilah Paul Tillich—yang mampu menggerakkan setiap umat pada jalan-jalan
kebajikan dan menghindarkannya dari jalan-jalan keburukan (amar ma’ruf nahyi munkar). Maka,
spirit keimanan Paus Fransiskus bisa berdampak positif bagi terwujudnya
transendensi kemanusiaan.
Selamat
Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar