Selasa, 24 Desember 2013

Spirit Natal dan Teologi Pembebasan

Spirit Natal dan Teologi Pembebasan
Fathorrahman  ;   Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; Sedang menempuh S-3 pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
KOMPAS,  23 Desember 2013

  

Dalam dokumen ”imbauan apostolik” Paus Fransiskus menyerukan reformasi dan pembaruan gereja Katolik dengan mengimbau para pemimpin global dan umat untuk lebih fokus memerangi kemiskinan. Dia juga mengecam kapitalisme yang disebutnya sebagai ”tirani baru”.

Pernyataan Paus Fransiskus tersebut tidak sebatas wacana. Dia merealisasikannya dalam berbagai tindakan nyata. Seleranya yang merakyat ditunjukkan melalui kesederhanaan ketika dia lebih memilih tinggal di guest house Vatikan dari pada istana kerasulan yang mewah. Untuk bepergian pun dia menggunakan kendaraan yang tidak mewah. Bahkan, dia sering keluar malam dengan menyamar sebagai biara untuk menemui kaum papa di sekitar Vatikan.

Dalam hal ini, apa yang diperbuat Paus Fransiskus menjadi suri teladan yang dapat menginspirasi semua kalangan. Kiprahnya mengingatkan kita bahwa kesederhanaan adalah pangkal semua perkara. Dan kepentingan umum (maslahat) adalah tujuan semua tindakan nyata. Aksinya yang banyak memihak kaum papa menjadi simpul penggerak apresiasi dunia untuk mengatakan bahwa dia adalah salah satu figur pemimpin umat yang bersahaja.

Upayanya melakukan ”konversi kepausan” dan revitalisasi peran gereja menjadi simbol keimanan yang bernuansa teologi pembebasan—meminjam istilah Gutierrez. Bagi Paus Fransiskus, keimanan dimanifestasi sebagai gerakan pembebasan rakyat dari belenggu keterbelakangan dan ketidakberdayaan.

Dia berjibaku menyadarkan umatnya untuk peduli sesama dengan landasan saling merasakan (simbiosis mutualis) dan saling memiliki (sense of belonging).
Bahkan, secara tegas dia mengatakan, ”Saya lebih suka gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan. Bukan gereja yang sehat dan sibuk dengan keamanannya sendiri” (Kompas, 28/11/2013). Atas sikapnya yang egaliter dan penuh terobosan tersebut, wajar jika majalahTime mengukuhkannya sebagai Person of the Year 2013.

Iman yang membebaskan

Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban, iman adalah sarana melakukan emansipasi harkat kemanusiaan. Secara asasi, iman adalah upaya memberikan keamanan dan kesentosaan. Iman tidak hanya bermakna percaya, tetapi berfungsi sebagai sarana pembebasan diri dari ketergantungan, kesewenangan, dan intimidasi.

Pandangan Cak Nur selaras dengan konsep teologi al ma’un yang digagas Moeslim Abdurrahman. Konsep ini merujuk pada surat al ma’un yang mengajarkan pembelaan terhadap kaum melarat dan kaum tertindas. Dalam perkembangannya, konsep ini banyak digunakan oleh lembaga-lembaga filantropi sebagai model bantuan kemanusiaan tanpa melihat struktur kedekatan hubungan sosial, budaya, dan agama.

Secara epistemologis, definisi iman yang terkontekstualisasi dengan teologi pembebasan dan semangat kemanusiaan menjadi cita-cita besar Paus Fransiskus untuk membumikan ajaran-ajaran Yesus yang rela berkorban demi kepentingan umat.

Meskipun cara Paus Fransiskus dianggap ”aneh”, di luar nalar kebiasaan, menurut Uskup Konrad Krajewski, Paus Fransiskus tidak pernah peduli. Yang penting adalah bisa menjalankan tugas sebagai pelindung atau pemelihara umat.

Dalam kaitan ini, merujuk pada teori maqashid yang dikembangkan Imam Syatibi, konsep perlindungan atau pemeliharaan (muhafadlah) terhadap manusia dipetakan ke dalam lima unsur, yaitu pemeliharaan agama (din), pemeliharaan jiwa (nafs), pemeliharaan akal (‘aql), pemeliharaan keturunan (nasl), dan pemeliharaan harta (mal).

Secara detail dan eksplisit, mungkin konsep perlindungan atau pemeliharaan manusia yang dimaksud Paus Fransiskus tidak sama dengan gagasan Imam Syatibi.

Namun, secara umum, gagasan Syatibi menjadi kesadaran sublimatik semua kalangan yang secara implisit dilansir dalam berbagai pandangan.

Paus Fransiskus juga menegaskan pentingnya tugas melindungi atau memelihara umat, baik yang berkaitan dengan komitmen keimanan, hak asasi, kebebasan berpikir, keberlangsungan generasi, dan kesejahteraan ekonomi.

Pada titik ini, Paus Fransiskus berupaya menjalankan tugas kerasulan melalui pemberdayaan umat melalui kerja kemanusiaan. Ajaran Kristiani menjadi pedoman pembebasan dari belenggu ketidakberdayaan dan keterbelakangan.

Introspeksi

Ajaran Paus Fransiskus harus diteladani umatnya. Dengan demikian, ajaran Kristiani menjadi semacam ’teologi al ma’un’ yang bertanggung jawab bagi pembebasan manusia dari kemelaratan.

Dalam hal ini, Natal adalah salah satu bentuk seremonialisasi ajaran Kristiani yang menjadi titik lebur (melting point) umat penganutnya agar tidak menjadi sekadar ritual keagamaan. Lebih dari itu, Natal harus menjadi inspirasi perubahan signifikan bagi tatanan kehidupan yang bermartabat.

Maka, selain menyikapi Natal sebagai bagian dari ekspresi keimanan, Natal juga bisa menjadi sarana introspeksi (muhasabah) untuk memahami ajaran Kristiani agar dapat memberikan kemaslahatan yang lebih baik pada keagungan agama, kedaulatan negara, dan semangat kebangsaan yang nasionalistik.

Dengan demikian, perayaan Natal menjadi the ultimate concern—meminjam istilah Paul Tillich—yang mampu menggerakkan setiap umat pada jalan-jalan kebajikan dan menghindarkannya dari jalan-jalan keburukan (amar ma’ruf nahyi munkar). Maka, spirit keimanan Paus Fransiskus bisa berdampak positif bagi terwujudnya transendensi kemanusiaan.

Selamat Natal.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar