Sopan Santun
Bre Redana ; Kolumnis
“Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2013
Beberapa kali sopan santun
pembawa acara televisi dikeluhkan pemirsa. Peradaban macam apa hendak kita
bangun, ketika seseorang yang baru ditinggal orang (-orang) tercintanya dijadi
Kekerasan hidup akibat tekanan ekonomi,
sosial, politik, dan industri telah menggerus unsur-unsur kemanusiaan semacam
rasa persaudaraan, kehangatan, kelembutan, kebaikan hati, cinta kasih, dan
tepa selira. Padahal, di atas itu semua sebenarnya peradaban terbangun.
Seorang penyair Amerika menulis, yang terjemahannya kurang lebih: ”Sebegitu banyak tuhan, sebegitu banyak
kepercayaan/Sebegitu banyak jalur berkelok dan berliku/Sementara kiat akan
kesantunan/Hanya itulah yang dibutuhkan oleh dunia yang menyedihkan ini.”
Dengan kata lain, benar, peradaban tak lebih suatu proses perlahan untuk
belajar menjadi santun.
Kesantunan berhubungan dengan kesanggupan
menguasai diri. Diri macam apa? Inilah salah satu problem kebudayaan ketika
manusia kian terjauhkan dari alam. Pemikiran-pemikiran mutakhir berbagai
disiplin, entah itu sains, ekonomi, seni, arsitektur, umumnya kini
mengembalikan perspektifnya kepada alam. Arsitektur, misalnya, bukanlah soal
bangunan, melainkan soal manusia dan cara hidup.
Tentang gejala urbanisme dan masa depan
umat manusia, arsitek Inggris, Carolyn Steel, menulis buku
Makanan, sebagai sesuatu paling vital bagi
kehidupan kita, mengalami paradoks, menjadi sesuatu yang paling tidak
dipedulikan asal-usulnya. Manusia urban mengalami evolusi, sampai kemudian
lupa bahwa dirinya adalah bagian dari alam. Eksploitasi bermula dari situ.
Seolah-olah alam tanpa batas. Sifat alam sebagai siklus terlupakan.
Kalau kesanggupan menguasai diri
berhubungan dengan pekerti atas hukum-hukum alam, maka sebaliknya,
keterputusan pada alam itulah yang menjadikan orang lupa diri. Alam, dengan
hukum
Rasanya, pengin tertawa kalau melihat
seseorang merayakan peran pribadinya, entah itu sebagai politikus, pengusaha,
profesional, di mana sukses yang dicapai perusahaan, misalnya, didaku karena
semata-mata kepemimpinannya. Oleh Rolf Dobelli dalam ”The Art of Thinking Clearly” gejala ini ia sebut ”halo effect”.
Maksudnya, orang yang
berada di posisi atas dengan sendirinya kelihatan ”bercahaya”. Dirinyalah
cahaya penerang itu. Tidak ada faktor-faktor lain, entah kesempatan historis,
ataupun teman-teman lain, yang dianggapnya masih berpikir dalam gelap, bak
manusia dari goa hantu. Sebaliknya, pada saat bintangnya surut dan dia gagal,
dengan serta-merta yang disalahkan adalah faktor-faktor lain. Lhah,
sebelumnya, ketika ia sukses, faktor-faktor lain tadi ia taruh di mana....
Itu ”halo effect”. Kalau Anda sulit
mengingat, Indonesia-kan saja menjadi ”efek
gelok”.
Bersahajalah seperti alam. Kalau alam raya
adalah dunia besar, maka diri kita adalah alam kecil, dunia alit,
mikrokosmos. Tiga mutiara dalam diri kita, yakni pikiran, tubuh, dan spirit,
tidak bisa dipisah-pisah. Semua harus dijaga, kalau perlu dilatih. Supaya
apa? Supaya terlatih, untuk mampu menjaga sopan santun, dan sanggup menguasai
diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar