UNDANG-Undang
Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional kiranya dilaksanakan
mulai 1 Januari 2014. Sesuai dengan UU No 24/2012 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, program jaminan kesehatan bagi seluruh
penduduk dimulai pada 1 Januari 2014.
Program lainnya akan
dimulai pada pertengahan 2015 sehingga secara berta- hap akan
diimplementasikan program Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK) , Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan
Jaminan Kematian (JKM) bagi seluruh penduduk Indonesia. Kampanye Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN)/Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
begitu gencar. Kita tidak bisa mundur lagi. Di tengah suasana seperti itu,
ada baiknya kita mengantisipasi berbagai kemungkinan agar kelangsungan program
jaminan sosial bisa terjamin .
Dengan implementasi
program jaminan sosial itu, masyarakat akan memperoleh rasa aman sosial
sejak lahir hingga meninggal. Secara bertahap rakyat akan terlindung
dari risiko ekonomi terhadap berbagai kejadian yang tak terduga
maupun yang dapat diduga, yang berisiko ekonomi, misalnya sakit, kecelakaan
kerja, atau memasuki hari tua dan ketika tidak mampu bekerja
lagi.
SJSN dirancang
untuk melindungi rasa aman sosial dan memenuhi kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi seluruh penduduk Indonesia, sesuai dengan asas kemanusiaan,
sehingga cita-cita meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial
dapat terwujud. Program jaminan sosial dalam SJSN menerapkan mekanisme
asuransi sosial. Kegotongroyongan sangat menonjol.
Namun, SJSN juga
berdampak ekonomi yang luar biasa. Khususnya dari penyelenggaraan
program jangka panjang, yaitu JHT, J P, dan JK. Program jaminan
sosial pada dasarnya juga merupakan mobilisasi dana masyarakat yang
luar biasa sehingga mampu membentuk tabungan nasional yang sangat
besar. Akumulasi dana yang terkumpul dari program jangka
panjang (sebelum dana itu digunakan untuk memberi manfaat jaminan sosial)
dapat dimanfaatkan untuk memperoleh nilai tambah melalui
investasi atau kepesertaan di dalam berbagai proyek
ekonomi yang menguntungkan. Tidak terkecuali di dalam kepesertaan bursa
saham.
Pelajaran dari sejumlah negara
Bagi banyak negara
Asia yang telah mengembangkan sistem jaminan sosialnya, ternyata
program itu juga merupakan penangkal krisis ekonomi pada 1998. PM Mahathir
Mohamad, ketika itu menggunakan dana jaminan sosial dari Employee Provident Funds (EPF)
untuk menangkal merosotnya ringgit Malaysia terhadap dollar AS sebab
dana EPF sudah cukup besar. Sementara itu, Indonesia tak mampu menangkal
merosotnya nilai rupiah disebabkan tak memiliki cadangan devisa atau
tabungan yang cukup besar.
Dibandingkan
dengan dana EPF, dana PT Jamsostek masih terlalu kecil. Upaya
mematok rupiah—sebagaimana disarankan Steve Hanke waktu itu—gagal sehingga
rupiah merosot ke Rp 16.000 per dollar AS dari sekitar Rp 2.300 per
dollar AS. Malaysia juga ternyata lebih cepat pulih dibandingkan dengan
Indonesia. Inilah sebabnya, bagi Malaysia, program jaminan sosial
merupakan engine of
development.
Dana jaminan sosial
inilah yang banyak ”dipinjam” negara untuk membiayai banyak proyek
pembangunan di Malaysia. Hal ini dimungkinkan oleh karena peran negara di
dalam penyelenggaraan program jaminan sosial memang sangat besar, termasuk
menjaga likuiditas dan keamanan dana jaminan sosial.
Pengalaman Jepang
lain lagi. Jepang adalah negara yang dikenal sebagai yang terbesar
akumulasi dana jaminan sosialnya setiap tahun. Dikabarkan, penambahan
dana jaminan sosial per tahun per orang melampaui 5.000 dollar AS.
Berarti berapa triliun dollar setiap tahun? Dana ini, kalau
disimpan di bank, berbunga tidak lebih dari 1 persen. Namun, kalau dipinjam
negara untuk dipinjamkan kepada negara lain, termasuk Indonesia yang
dikatakan sebagai pinjaman lunak, bunganya lebih dari 1 persen. Keuntungannya
masuk ke dana jaminan sosial.
Kondisi inilah yang
menumbuhkan hubungan kerja seumur hidup sehingga jarang ada pemogokan buruh
di Jepang. Meskipun demikian, juga harus diakui bahwa banyak negara
maju, terutama di Eropa dan AS, yang menghadapi kesulitan disebabkan
program jaminan sosialnya. Penyebabnya ialah usia yang semakin tinggi
sehingga beban pensiun semakin besar, di samping pengelolaannya juga
kurang berhati-hati. Jerman, dalam hal ini, merupakan contoh
keberhati-hatian itu: masa usia pensiun diperpanjang menjadi 67 tahun
sehingga masa mengiur jaminan sosial juga semakin panjang.
Selain itu, konsep
pembiayaan program jaminan sosial akan menentukan kelangsungan hidup
program. Prinsip kepesertaan wajib, mekanisme asuransi yang
diterapkan, juga menentukan kelangsungan hidup program. Sebaliknya, kepesertaan sukarela, introduksi asuransi komersial sebagaimana
diterapkan terutama di Amerika Serikat, sangat rawan dengan apa yang
dikenal sebagai bias selection:
orang yang berisiko tinggi cenderung mengikuti program jaminan sosial
sehingga pembayaran manfaat bagi peserta yang memang berisiko tinggi
bisa mengancam kelangsungan hidup program. Semua itu telah
diantisipasi dalam UU SJSN sehingga kelangsungan hidupnya lebih
terjamin.
Rambu-rambu
Semua itu perlu
disampaikan, oleh karena masih ada kesan adanya berbagai pertanyaan di
sekitar pelaksanaan SJSN. Selain itu, juga masih ada keraguan
terhadap kelangsungan hidupnya, sebagaimana terjadi di beberapa negara di
mana program jaminan sosial menjadi sumber terjadinya krisis ekonomi. Hal
ini sesung- guhnya juga telah diantisipasi UU SJSN.
Rambu-rambu telah
dipersiapkan, antara lain mencegah terjadinya bias selection, bahkan
penyalahgunaan. Khususnya dalam penyelenggaraan JK, sehingga terjadinya
pelayanan yang tidak perlu atau pemakaian yang berlebihan sudah
dicegah serendah mungkin.
Kalau program
jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sesuai harapan,
tidak mustahil BPJS Ketenagakerjaan kita akan menjadi BPJS kelas dunia,
sebagaimana telah dipromosikan di sejumlah media mengingat besarnya
peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal yang sama terjadi di China, cadangan
devisa China yang dikabarkan melampaui 3 triliun dollar AS itu
sebagian besar berasal dari dana jaminan sosial. Di saat itu
program jaminan sosial kita akan benar- benar jadi engine of development sehingga
kita tidak memerlukan utang luar negeri lagi untuk membiayai pembangunan.
Inilah sesungguhnya yang juga merupakan peta jalan mewujudkan
berdikari.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar