Lukisan
Revolusi
Teguh Usis ;
Pekerja
Televisi
|
TEMPO.CO,
13 Desember 2013
Seorang ibu berkerudung menangis sesenggukan. Seraya
memeluk putrinya, air mata mengalir membasahi pipi sang ibu. Adegan ini
beberapa kali muncul di layar kaca. Ini adalah kejadian nyata. Lokasinya di
sebuah rumah sakit di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.
Sang
ibu tengah berduka. Salah seorang anaknya tewas dalam kecelakaan kereta api
menabrak truk tangki pengangkut premium di perlintasan rel kereta api
Pondok Betung, Bintaro.
Peristiwa
tragis ini segera menjadi santapan media massa. Sebagai media yang punya
banyak keunggulan, televisi tak ketinggalan memberitakan kejadian itu.
Sekejap, pada Senin siang itu, layar kaca televisi menyuguhkan laporan
langsung dari lokasi kejadian. Dua stasiun televisi berita di Tanah Air
bahkan menghabiskan durasi mereka sampai petang hari untuk melaporkan
tragedi tersebut.
Adalah
sangat sah jika media massa, termasuk televisi, menjadi corong utama
pemberitaan sebuah kejadian tragis seperti di Bintaro. Televisi punya
kekuatan amat dahsyat. Informasi yang ditampilkan tak hanya berupa suara,
tapi juga gambar yang ditayangkan langsung dari lokasi kejadian. Api yang
masih berkobar dari truk tangki menambah dramatis informasi tersebut.
Dengan
pemberitaan yang masif, televisi telah memenuhi perannya sebagai medium
penyampai informasi. Peran ini selaras dengan teori Klaus Jensen (1995).
Kesimpulan Jensen, terdapat empat kegunaan berita bagi audiens. Dan, salah
satunya adalah kegunaan informasional.
Beragam
alasan audiens untuk terlibat pada kegunaan informasional ini. Yang utama
tentunya untuk mendapatkan informasi adakah keluarga, kenalan, atau
tetangga mereka yang berada di rangkaian kereta api tersebut.
Televisi
sudah melakukan perannya dengan baik. Namun sejatinya televisi bisa
mengambil peran yang jauh lebih penting ketimbang hanya sebatas penyampai
informasi. Televisi harus pula bisa menjadi bagian dari pemulihan trauma
korban dan keluarganya pasca-tragedi.
Peristiwa
tragis seperti kecelakaan memang mempunyai nilai berita amat besar. Ia bisa
diidentikkan dengan cerita fiksi yang mempunyai alur dramatis, sarat
problematika dan solusi, serta penuh keragaman aksi-reaksi karakter manusia
di dalamnya. Inilah yang disebut oleh Annette Hill (2005) sebagai
tabloidisasi jurnalisme.
Di
awal kejadian, boleh saja televisi menampilkan keharuan keluarga korban.
Tujuannya hanya sebatas mengundang simpati dan empati audiens untuk
merasakan kesedihan keluarga korban. Dengan cara ini, tak sedikit audiens
yang tergerak ikut membantu proses evakuasi korban.
Lantas,
apakah televisi akan terjebak pada pengulangan tayangan dramatis dari
sebuah kejadian tragis? Beberapa hari setelah kejadian di Bintaro, televisi
masih menayangkan potongan visual close-up
keluarga korban yang tengah menangis.
Betul
memang televisi juga sudah menayangkan informasi berupa solusi mengatasi
berulangnya kejadian kecelakaan di perlintasan rel. Misalnya dengan
mengetengahkan wacana pembuatan underpass bagi kendaraan, selain kereta api
yang melewati perlintasan rel. Padahal alangkah lebih elok jika berita di
televisi tak lagi menampilkan kesedihan keluarga korban. Sudahi saja
dramatisasi yang tak perlu itu. Toh, audiens pasti juga sudah paham betapa
dalam duka yang tengah dirasakan oleh sang ibu yang menangisi kepergian
anaknya itu. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar