Beberapa
tahun lalu saya pernah menjadi kopromotor untuk seorang calon doktor di UIN
Jakarta. Nama beliau saya sudah lupa dan apa judul disertasinya pun saya
sudah lupa.
Yang masih saya ingat adalah bahwa promovendus
(calon doktor) ketika itu ingin membuktikan bahwa Allah pun punya emosi.
Karena itulah saya diundang untuk ikut menjadi pendamping promovendus. Maka
dia hitung di dalam Alquran ada berapa ayat yang bernuansa marah, geram,
bangga, senang, dan memang dia berhasil menghitungnya dan kesimpulannya
adalah bahwa Allah pun beremosi.
Sebetulnya bagaimana kesimpulan dari
penelitian tersebut, terlepas dari bagaimana sumbangannya terhadap teologi
Islam (karena saya bukan pakar ilmu agama Islam), bukan fokus dari tulisan
saya hari ini. Hari ini saya ingin mengajak pembaca untuk mencermati gejala
yang menarik, yakni bahwa ada asumsi bahwa Tuhan itu berwatak manusia atau
dengan perkataan lain ”memanusiakan” Tuhan.
Menuhankan manusia, seperti juga menuhankan
hal, benda atau makhluk lain, jelas dilarang oleh agama-agama Ibrahim.
Dalam Islam itu namanya musyrik, suatu dosa berat yang tak berampun. Tapi
memanusiakan Tuhan banyak dilakukan orang, bahkan juga dicontohkan dalam
hadis-hadis Rasulullah.
Misalnya 99 nama Tuhan (Asmaul Husna), antara
lain Ar Rahman (Maha Pemurah), Ar Rahim (Maha Pengasih), Al Malik (Maha
Agung), Al Quddus (Maha Suci), Al Aziz (Maha Kuasa), Al Khaliq (Maha
Pencipta) dan seterusnya. Begitu juga nama orang tidak cukup satu.
Nama anak saya Aditya Suryatin Sarwono (sesuai
dengan KTP), tetapi nama panggilannya macam-macam: Dimas (di rumah), Om Jim
(dipanggil oleh keponakannya), Aditya (di kantor), Nyanyung (memanggil diri
sendiri), Abak (anaknya yang memanggil), Papi (istrinya), dan mungkin masih
ada lagi nama-namanya yang lain yang saya tidak tahu.
Semua nama punya makna masing-masing dan
merupakan ekspresi dari perasaan atau sikap tertentu dari yang memanggil.
Hampir tidak ada orang yang dipanggil hanya dengan nama KTP-nya saja.
Itulah manusia. Contoh lain adalah tentang cinta. Ulama dan ustaz sering
menggambarkan bahwa orang yang cinta pada Allah berdebar jantungnya kalau
mendengar nama Allah disebut, bak seseorang yang deg-degan mendengar nama
kekasihnya disebut.
Orang yang cinta kepada Allah sangat rindu
kepada Allah sehingga begitu terdengar azan, langsung dia berhenti dari apa
pun yang dilakukannya dan bergegas mendirikan salat untuk menjumpai Tuhan.
Tidak beda dari seseorang yang segera meletakkan semua pekerjaannya, begitu
ia mendengar dering ponselnya dan melihat nama kekasihnya muncul di layar
ponsel, ia pun langsung berdialog dengan sang kekasih.
Masih banyak contoh lain, tetapi memang itulah
cara yang perlu dilakukan kalau manusia ingin dekat, ingin memahami, dan
bahkan ingin meminta sesuatu kepada Tuhan. Meminta sesuatu, melalui doa,
kepada Tuhan yang kita bayangkan sebagai manusia jauh lebih mudah daripada
kalau Tuhan itu gaib, abstrak, dan nggak jelas sosoknya.
Bahkan umat Kristen percaya bahwa Tuhan itu
adalah Yesus, yang bukan sekadar nabi, melainkan benar-benar anak Tuhan
yang membawa roh kudus. Melalui sosok Yesus, penganut Kristen benar-benar
bisa merasakan bagaimana Tuhan selalu ingin menolong umatnya, bagaimana
Tuhan itu berkorban demi umatnya, sampaisampai di Filipina ada orangorang
yang rela disalib beneran untuk ikut merasakan bagaimana penderitaan Tuhan
ketika dia membebaskan umatnya dari dosa.
Terlepas dari percaya atau tidak, orang tidak
bisa yakin pada agama kalau ia tidak tahu atau tidak kenal siapa atau
bagaimana sosok yang disembahnya sebagai Tuhannya. Dalam kepercayaan Cina
bahkan tidak dikenal Tuhan yang satu, melainkan banyak dewa dan dewi yang
semuanya dulunya manusia-manusia seperti kita juga, tetapi yang begitu baik
hatinya sehingga ia menjelma menjadi dewa. Walaupun demikian, Tuhan memang
bukan manusia.
Tuhan itu tidak konkret, Tuhan itu abstrak.
Dia tidak ada di manamana karena belum pernah ada satu orang pun yang
benar-benar pernah bertemu dengan Tuhan (kecuali yang mengakungaku
demikian), tetapi Tuhan itu ada di mana-mana karena semua yang kita alami,
kita lihat, kita senangi, kita takuti adalah hasil pekerjaan siapa lagi
kalau bukan pekerjaan Tuhan. Tuhan menciptakan air, matahari, gunung, gempa
bumi atau tsunami.
Di kalangan petani di Jawa Tengah, Tuhan itu
yang menciptakan kesuburan dan panen melimpah yang kemudian diwujudkan
dalam sosok Dewi Sri. Tapi ternyata Dewi Sri tidak bisa memberantas hama
tikus. Karena itu manusia harus mencari tahu siapa Tuhan itu sebenarnya dan
bagaimana ia bekerja.
Maka Rasulullah Muhammad SAW. menyampaikan ayat
pertama dari Allah yang berbunyi ”Baca!” (Iqro!) dan turunlah wahyu-wahyu
Allah berikutnya yang setelah lengkap terkumpul menjadi kitab yang kita
kenal sebagai Alquran atau Sunatullah (Hukum Allah). Tapi Alquran hanya
sebagian kecil saja dari Sunatullah, begitu kecilnya sehingga ada
orang-orang yang mampu menghafal seluruh isi kitab suci itu.
Selain Sunatullah yang kecil itu ada lagi
Sunatullah yang besar, yang tidak bisa dihafal oleh siapa pun kecuali Allah
sendiri, yaitu alam semesta. Manusia harus mempelajari alam semesta
sebagaimana kita mempelajari Alquran. Bahkan lebih. Rasulullah bersabda,
”Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina dan tanyakan kepada ahlinya.”
Dengan membaca alam semesta melalui ilmu
pengetahuan, orang tahu bahwa pelangi bukan jembatan para dewi yang turun
dari langit untuk mandi di air muncrat Bundaran HI, tetapi butir-butir air
hujan yang mengurai sinar matahari menjadi warna-warni.
Dengan ilmu pengetahuan juga petani
memberantas tikus di sawah dan dengan ilmu pengetahuan pula Pemerintah DKI
membangun jalan kereta api layang untuk mencegah terjadinya tabrakan maut
antara kereta api dan truk BBM di Bintaro. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar