Senin, 16 Desember 2013

Memanusiakan Tuhan

Memanusiakan Tuhan
Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  15 Desember 2013
  


Beberapa tahun lalu saya pernah menjadi kopromotor untuk seorang calon doktor di UIN Jakarta. Nama beliau saya sudah lupa dan apa judul disertasinya pun saya sudah lupa. 

Yang masih saya ingat adalah bahwa promovendus (calon doktor) ketika itu ingin membuktikan bahwa Allah pun punya emosi. Karena itulah saya diundang untuk ikut menjadi pendamping promovendus. Maka dia hitung di dalam Alquran ada berapa ayat yang bernuansa marah, geram, bangga, senang, dan memang dia berhasil menghitungnya dan kesimpulannya adalah bahwa Allah pun beremosi. 

Sebetulnya bagaimana kesimpulan dari penelitian tersebut, terlepas dari bagaimana sumbangannya terhadap teologi Islam (karena saya bukan pakar ilmu agama Islam), bukan fokus dari tulisan saya hari ini. Hari ini saya ingin mengajak pembaca untuk mencermati gejala yang menarik, yakni bahwa ada asumsi bahwa Tuhan itu berwatak manusia atau dengan perkataan lain ”memanusiakan” Tuhan. 

Menuhankan manusia, seperti juga menuhankan hal, benda atau makhluk lain, jelas dilarang oleh agama-agama Ibrahim. Dalam Islam itu namanya musyrik, suatu dosa berat yang tak berampun. Tapi memanusiakan Tuhan banyak dilakukan orang, bahkan juga dicontohkan dalam hadis-hadis Rasulullah. 

Misalnya 99 nama Tuhan (Asmaul Husna), antara lain Ar Rahman (Maha Pemurah), Ar Rahim (Maha Pengasih), Al Malik (Maha Agung), Al Quddus (Maha Suci), Al Aziz (Maha Kuasa), Al Khaliq (Maha Pencipta) dan seterusnya. Begitu juga nama orang tidak cukup satu. 

Nama anak saya Aditya Suryatin Sarwono (sesuai dengan KTP), tetapi nama panggilannya macam-macam: Dimas (di rumah), Om Jim (dipanggil oleh keponakannya), Aditya (di kantor), Nyanyung (memanggil diri sendiri), Abak (anaknya yang memanggil), Papi (istrinya), dan mungkin masih ada lagi nama-namanya yang lain yang saya tidak tahu. 

Semua nama punya makna masing-masing dan merupakan ekspresi dari perasaan atau sikap tertentu dari yang memanggil. Hampir tidak ada orang yang dipanggil hanya dengan nama KTP-nya saja. Itulah manusia. Contoh lain adalah tentang cinta. Ulama dan ustaz sering menggambarkan bahwa orang yang cinta pada Allah berdebar jantungnya kalau mendengar nama Allah disebut, bak seseorang yang deg-degan mendengar nama kekasihnya disebut. 

Orang yang cinta kepada Allah sangat rindu kepada Allah sehingga begitu terdengar azan, langsung dia berhenti dari apa pun yang dilakukannya dan bergegas mendirikan salat untuk menjumpai Tuhan. Tidak beda dari seseorang yang segera meletakkan semua pekerjaannya, begitu ia mendengar dering ponselnya dan melihat nama kekasihnya muncul di layar ponsel, ia pun langsung berdialog dengan sang kekasih. 

Masih banyak contoh lain, tetapi memang itulah cara yang perlu dilakukan kalau manusia ingin dekat, ingin memahami, dan bahkan ingin meminta sesuatu kepada Tuhan. Meminta sesuatu, melalui doa, kepada Tuhan yang kita bayangkan sebagai manusia jauh lebih mudah daripada kalau Tuhan itu gaib, abstrak, dan nggak jelas sosoknya. 

Bahkan umat Kristen percaya bahwa Tuhan itu adalah Yesus, yang bukan sekadar nabi, melainkan benar-benar anak Tuhan yang membawa roh kudus. Melalui sosok Yesus, penganut Kristen benar-benar bisa merasakan bagaimana Tuhan selalu ingin menolong umatnya, bagaimana Tuhan itu berkorban demi umatnya, sampaisampai di Filipina ada orangorang yang rela disalib beneran untuk ikut merasakan bagaimana penderitaan Tuhan ketika dia membebaskan umatnya dari dosa. 

Terlepas dari percaya atau tidak, orang tidak bisa yakin pada agama kalau ia tidak tahu atau tidak kenal siapa atau bagaimana sosok yang disembahnya sebagai Tuhannya. Dalam kepercayaan Cina bahkan tidak dikenal Tuhan yang satu, melainkan banyak dewa dan dewi yang semuanya dulunya manusia-manusia seperti kita juga, tetapi yang begitu baik hatinya sehingga ia menjelma menjadi dewa. Walaupun demikian, Tuhan memang bukan manusia. 

Tuhan itu tidak konkret, Tuhan itu abstrak. Dia tidak ada di manamana karena belum pernah ada satu orang pun yang benar-benar pernah bertemu dengan Tuhan (kecuali yang mengakungaku demikian), tetapi Tuhan itu ada di mana-mana karena semua yang kita alami, kita lihat, kita senangi, kita takuti adalah hasil pekerjaan siapa lagi kalau bukan pekerjaan Tuhan. Tuhan menciptakan air, matahari, gunung, gempa bumi atau tsunami. 

Di kalangan petani di Jawa Tengah, Tuhan itu yang menciptakan kesuburan dan panen melimpah yang kemudian diwujudkan dalam sosok Dewi Sri. Tapi ternyata Dewi Sri tidak bisa memberantas hama tikus. Karena itu manusia harus mencari tahu siapa Tuhan itu sebenarnya dan bagaimana ia bekerja. 

Maka Rasulullah Muhammad SAW. menyampaikan ayat pertama dari Allah yang berbunyi ”Baca!” (Iqro!) dan turunlah wahyu-wahyu Allah berikutnya yang setelah lengkap terkumpul menjadi kitab yang kita kenal sebagai Alquran atau Sunatullah (Hukum Allah). Tapi Alquran hanya sebagian kecil saja dari Sunatullah, begitu kecilnya sehingga ada orang-orang yang mampu menghafal seluruh isi kitab suci itu. 

Selain Sunatullah yang kecil itu ada lagi Sunatullah yang besar, yang tidak bisa dihafal oleh siapa pun kecuali Allah sendiri, yaitu alam semesta. Manusia harus mempelajari alam semesta sebagaimana kita mempelajari Alquran. Bahkan lebih. Rasulullah bersabda, ”Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina dan tanyakan kepada ahlinya.” 

Dengan membaca alam semesta melalui ilmu pengetahuan, orang tahu bahwa pelangi bukan jembatan para dewi yang turun dari langit untuk mandi di air muncrat Bundaran HI, tetapi butir-butir air hujan yang mengurai sinar matahari menjadi warna-warni. 

Dengan ilmu pengetahuan juga petani memberantas tikus di sawah dan dengan ilmu pengetahuan pula Pemerintah DKI membangun jalan kereta api layang untuk mencegah terjadinya tabrakan maut antara kereta api dan truk BBM di Bintaro.
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar