Terhitung sejak Desember 2011
sampai dengan November 2012, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
mencatat setidaknya telah terjadi 83 tindak kejahatan penyiksaan, hukuman
yang kejam tidak manusiawi, dan tindakan yang merendahkan martabat dengan
korban mencapai 180 orang laki-laki dan 11 orang perempuan.
Sementara itu, konflik dan
kekerasan akibat persoalan lahan masih marak terjadi di tahun 2012. Masih
menurut catatan ELSAM, selama Januari-Agustus 2012, untuk subsektor
perkebunan, terdapat 59 peristiwa konflik masyarakat dengan perusahaan
perkebunan.
Banyak dari konflik ini
berbentuk bentrokan horizontal antara petani atau warga setempat dengan
buruh-buruh perusahaan perkebunan atau pasukan keamanan perusahaan, yang
biasa di-back up oleh aparat kepolisian atau aparat keamanan.
Kekerasan fisik akibat konflik
lahan ini menimbulkan 48 korban yang berasal dari petani atau warga; 14
korban yang berasal dari polisi dan TNI; 29 korban dari pasukan keamanan
perusahaan atau pamswakarsa; 11 orang dari pekerja perkebunan yang bukan
merupakan keamanan perusahaan, dan 21 korban tak teridentifikasi atau tidak
jelas identifikasinya.
Korban ini belum termasuk yang
ditangkap, kehilangan dan kerusakan harta benda, dan korban kekerasan
ekonomi, seperti mereka yang tergusur dan kehilangan akses atas penghidupannya
(ELSAM, 2013).
Sementara itu, dalam konteks
kebebasan beragama pada periode Januari-Juni 2013, Setara Institute
mencatat ada 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan
yang mengandung 160 bentuk tindakan dan itu menyebar di 16 provinsi.
Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61) peristiwa, pelanggaran tertinggi
berikutnya yaitu Jawa Timur (18) dan DKI Jakarta (10) peristiwa.
Dari 160 bentuk tindakan
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 70 tindakan
negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 70
tindakan negara, 58 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission), termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah
dan delapan tindakan diskriminasi; 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran
(by omission).
Termasuk dalam tindakan aktif
negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan
mengundang terjadinya kekerasan (condoning).
Institusi negara yang paling
banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian RI (23) tindakan, disusul
unsur pemerintah daerah di semua tingkatan pemprov, pemkab/pemkot dengan
(20) tindakan, serta Satpol PP (14) tindakan. Selebihnya adalah
institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah delapan tindakan.
Tentu, membaca deretan kekerasan
dan persoalan hak asasi manusia (HAM) yang sudah tak tertangani dengan
sedemikian serius, ini selanjutnya memperlihatkan secara tegas bahwa
kondisi penegakan HAM di republik tercinta ini berada dalam kondisi ironis.
Hak asasi manusia untuk bisa
hidup bebas dan merdeka dalam menentukan jalan kehidupannya sudah ibarat
menegakkan benang basah. Hanya karena kepentingan sektoral tertentu, HAM
yang menyangkut hajat hidup orang banyak kemudian diabaikan dengan
sedemikian rupa. Itulah yang sudah terjadi dalam sengketa lahan dan
kebebasan beragama.
Pihak perusahaan yang seharusnya
mampu menjembatani kepentingan buruh sudah tidak dipedulikan sama sekali.
Pihak aparat negara yang seharusnya mampu menjadi pendamai di antara yang
berkonflik kemudian justru melakukan pembiaran atau kemudian lebih berpihak
kepada pihak tertentu?
Terlepas apakah dibayar atau
tidak, ini persoalan lain. Yang jelas, kondisi keberpihakan aparat negara
terhadap pihak tertentu sesungguhnya sudah ikut menyumbangkan persoalan
baru dalam konteks pelanggaran HAM.
Muramnya Penegakan HAM
Diakui maupun tidak,
ketidakjelasan dan muramnya penegakan HAM yang selama ini berlangsung
sangat jelas membawa dampak sangat hebat bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara ke depan. Akibat masih dominannya kepentingan elitis untuk mencari
keuntungan sektoral sudah sangat jelas akan memproduksi kekerasan-kekerasan
yang berefek pada masa depan penegakan HAM yang suram.
Kita semua tentu sudah memiliki
pandangan yang sama bahwa pelanggaran HAM yang terus berulang sampai waktu
tak ditentukan akan menyebabkan persoalan baru bagi kehidupan bangsa. Salah
satu di antaranya adalah akan lahir ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap kelompok elite yang diberi mandat
untuk menegakkan HAM.
Kelompok elite tersebut kemudian
berjalin kelindan dengan manusia-manusia di republik ini yang sudah
diamanahi mandat sekaligus tugas untuk menjadi penyelesai
persoalan-persoalan pelanggaran HAM.
Negara dalam konteks totalitas
kemudian bertanggung jawab sepenuhnya atas kegagalan penegakan HAM. Ketika
negara selanjutnya tidak mampu menjalankan mandat serta tugasnya dalam
membumikan penegakan HAM, ini disebut sebuah hancurnya HAM di negeri
tercinta kita ini.
Tanggung Jawab Negara
HAM dalam pandangan The
Universal Declaration of Human Rights adalah setiap manusia dilahirkan
bebas dan setara. Ini berarti bahwa bebas adalah setiap manusia diberikan
banyak pilihan dalam hal apa pun.
Setara kemudian berarti bahwa
semuanya adalah sama dalam hal apa pun sepanjang itu tidak merugikan
kepentingan publik. Bahkan, setiap manusia memiliki hak hidup yang sama
untuk mendapatkan keamanan. Setiap manusia juga sama di depan hukum dan
atau mendapatkan perlakuan hukum yang sama tanpa ada tindakan-tindakan
diskriminatif.
Tidak ada yang istimewa di depan
hukum. Negara tentu bertanggung jawab sepenuhnya atas segala hak dasar yang
melekat kepada manusia. Rezim yang berkuasa saat ini pun sebetulnya
bertanggung jawab sepenuhnya agar setiap hak warga negaranya dapat dipenuhi
dengan sedemikian rupa.
Ketika hak setiap warga negara
dalam bentuk mendapatkan perlindungan hukum saat tanahnya akan diserobot
oleh pihak perusahaan dan haknya dalam menjalankan keagamaannya pun harus
diberikan sepenuhnya, negara harus mengambil peran agar hak warganya bisa
diperoleh. Pasalnya, ini berbicara tentang hak hidup dan hak menjalankan
kehidupan secara merdeka.
Pertanyaan selanjutnya adalah
mampukah negara bekerja atas nama kemanusiaan dan kebangsaan dalam rangka
menegakkan HAM di republik tercinta ini? Apabila selama ini sang presiden
selalu sesumbar akan memperjuangkan rakyat, namun selama ini juga masih
sebatas tong kosong nyaring bunyinya dan selama sudah dua periode Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin, kita semua sudah melihat dengan mata
kepala sendiri bahwa ternyata penegakan HAM tidak dijalankan sama sekali.
Pelanggaran HAM masa lalu,
seperti tragedi 1998 saja belum tuntas, apalagi tragedi HAM lainnya. Ini
adalah sebuah kondisi ironis di tengah tekad bulat sang presiden yang konon
katanya sedang berjuang untuk rakyatnya.
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014
sudah di depan mata dan kita berharap ke depan siapa pun presidennya harus
bisa lebih berani dan tegas dalam bekerja untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat dalam konteks supremasi HAM. Oleh karena itu, ketika bendera HAM
kemudian mampu berkibar dengan sedemikian tinggi, kehidupan berbangsa dan
bernegara akan menjadi bermartabat dan berwibawa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar