Rabu, 11 Desember 2013

Karut-marut Penegakan HAM

Karut-marut Penegakan HAM
Moh Yamin  ;   Dosen dan Peneliti
di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin
SINAR HARAPAN,  10 Desember 2013

  

Terhitung sejak Desember 2011 sampai dengan November 2012, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat setidaknya telah terjadi 83 tindak kejahatan penyiksaan, hukuman yang kejam tidak manusiawi, dan tindakan yang merendahkan martabat dengan korban mencapai 180 orang laki-laki dan 11 orang perempuan.

Sementara itu, konflik dan kekerasan akibat persoalan lahan masih marak terjadi di tahun 2012. Masih menurut catatan ELSAM, selama Januari-Agustus 2012, untuk subsektor perkebunan, terdapat 59 peristiwa konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan.

Banyak dari konflik ini berbentuk bentrokan horizontal antara petani atau warga setempat dengan buruh-buruh perusahaan perkebunan atau pasukan keamanan perusahaan, yang biasa di-back up oleh aparat kepolisian atau aparat keamanan.

Kekerasan fisik akibat konflik lahan ini menimbulkan 48 korban yang berasal dari petani atau warga; 14 korban yang berasal dari polisi dan TNI; 29 korban dari pasukan keamanan perusahaan atau pamswakarsa; 11 orang dari pekerja perkebunan yang bukan merupakan keamanan perusahaan, dan 21 korban tak teridentifikasi atau tidak jelas identifikasinya.

Korban ini belum termasuk yang ditangkap, kehilangan dan kerusakan harta benda, dan korban kekerasan ekonomi, seperti mereka yang tergusur dan kehilangan akses atas penghidupannya (ELSAM, 2013).

Sementara itu, dalam konteks kebebasan beragama pada periode Januari-Juni 2013, Setara Institute mencatat ada 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan dan itu menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61) peristiwa, pelanggaran tertinggi berikutnya yaitu Jawa Timur (18) dan DKI Jakarta (10) peristiwa.

Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terdapat 70 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 70 tindakan negara, 58 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission), termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan delapan tindakan diskriminasi; 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran (by omission).

Termasuk dalam tindakan aktif negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning).
Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian RI (23) tindakan, disusul unsur pemerintah daerah di semua tingkatan pemprov, pemkab/pemkot dengan (20) tindakan, serta Satpol PP (14) tindakan. Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah delapan tindakan.

Tentu, membaca deretan kekerasan dan persoalan hak asasi manusia (HAM) yang sudah tak tertangani dengan sedemikian serius, ini selanjutnya memperlihatkan secara tegas bahwa kondisi penegakan HAM di republik tercinta ini berada dalam kondisi ironis.

Hak asasi manusia untuk bisa hidup bebas dan merdeka dalam menentukan jalan kehidupannya sudah ibarat menegakkan benang basah. Hanya karena kepentingan sektoral tertentu, HAM yang menyangkut hajat hidup orang banyak kemudian diabaikan dengan sedemikian rupa. Itulah yang sudah terjadi dalam sengketa lahan dan kebebasan beragama.

Pihak perusahaan yang seharusnya mampu menjembatani kepentingan buruh sudah tidak dipedulikan sama sekali. Pihak aparat negara yang seharusnya mampu menjadi pendamai di antara yang berkonflik kemudian justru melakukan pembiaran atau kemudian lebih berpihak kepada pihak tertentu?

Terlepas apakah dibayar atau tidak, ini persoalan lain. Yang jelas, kondisi keberpihakan aparat negara terhadap pihak tertentu sesungguhnya sudah ikut menyumbangkan persoalan baru dalam konteks pelanggaran HAM.

Muramnya Penegakan HAM

Diakui maupun tidak, ketidakjelasan dan muramnya penegakan HAM yang selama ini berlangsung sangat jelas membawa dampak sangat hebat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Akibat masih dominannya kepentingan elitis untuk mencari keuntungan sektoral sudah sangat jelas akan memproduksi kekerasan-kekerasan yang berefek pada masa depan penegakan HAM yang suram.

Kita semua tentu sudah memiliki pandangan yang sama bahwa pelanggaran HAM yang terus berulang sampai waktu tak ditentukan akan menyebabkan persoalan baru bagi kehidupan bangsa. Salah satu di antaranya adalah akan lahir ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap kelompok elite yang diberi mandat untuk menegakkan HAM.

Kelompok elite tersebut kemudian berjalin kelindan dengan manusia-manusia di republik ini yang sudah diamanahi mandat sekaligus tugas untuk menjadi penyelesai persoalan-persoalan pelanggaran HAM.

Negara dalam konteks totalitas kemudian bertanggung jawab sepenuhnya atas kegagalan penegakan HAM. Ketika negara selanjutnya tidak mampu menjalankan mandat serta tugasnya dalam membumikan penegakan HAM, ini disebut sebuah hancurnya HAM di negeri tercinta kita ini.

Tanggung Jawab Negara

HAM dalam pandangan The Universal Declaration of Human Rights adalah setiap manusia dilahirkan bebas dan setara. Ini berarti bahwa bebas adalah setiap manusia diberikan banyak pilihan dalam hal apa pun.

Setara kemudian berarti bahwa semuanya adalah sama dalam hal apa pun sepanjang itu tidak merugikan kepentingan publik. Bahkan, setiap manusia memiliki hak hidup yang sama untuk mendapatkan keamanan. Setiap manusia juga sama di depan hukum dan atau mendapatkan perlakuan hukum yang sama tanpa ada tindakan-tindakan diskriminatif.

Tidak ada yang istimewa di depan hukum. Negara tentu bertanggung jawab sepenuhnya atas segala hak dasar yang melekat kepada manusia. Rezim yang berkuasa saat ini pun sebetulnya bertanggung jawab sepenuhnya agar setiap hak warga negaranya dapat dipenuhi dengan sedemikian rupa.

Ketika hak setiap warga negara dalam bentuk mendapatkan perlindungan hukum saat tanahnya akan diserobot oleh pihak perusahaan dan haknya dalam menjalankan keagamaannya pun harus diberikan sepenuhnya, negara harus mengambil peran agar hak warganya bisa diperoleh. Pasalnya, ini berbicara tentang hak hidup dan hak menjalankan kehidupan secara merdeka.

Pertanyaan selanjutnya adalah mampukah negara bekerja atas nama kemanusiaan dan kebangsaan dalam rangka menegakkan HAM di republik tercinta ini? Apabila selama ini sang presiden selalu sesumbar akan memperjuangkan rakyat, namun selama ini juga masih sebatas tong kosong nyaring bunyinya dan selama sudah dua periode Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin, kita semua sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ternyata penegakan HAM tidak dijalankan sama sekali.

Pelanggaran HAM masa lalu, seperti tragedi 1998 saja belum tuntas, apalagi tragedi HAM lainnya. Ini adalah sebuah kondisi ironis di tengah tekad bulat sang presiden yang konon katanya sedang berjuang untuk rakyatnya.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sudah di depan mata dan kita berharap ke depan siapa pun presidennya harus bisa lebih berani dan tegas dalam bekerja untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam konteks supremasi HAM. Oleh karena itu, ketika bendera HAM kemudian mampu berkibar dengan sedemikian tinggi, kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi bermartabat dan berwibawa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar