Semoga PSSI
Tak Lupa Berprestasi
Tim Kompas ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2013
SETIAP kali menyaksikan
tim nasional tampil di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, bulu kuduk
merinding. Ada kebanggaan, sekaligus harapan besar, ketika lagu ”Indonesia
Raya” dikumandangkan.
Kala timnas sepak bola Indonesia
bermain di Gelora Bung Karno, penonton dari berbagai lapisan masyarakat
biasanya tak henti berteriak. Suasana stadion pun bergelora. Mereka
menyemangati pemain Indonesia sekaligus mengintimidasi lawan.
Sayangnya, dukungan besar itu
seolah tak pernah cukup. Seperti jutaan pemirsa di televisi, mereka yang
hadir di stadion lebih banyak menelan kekecewaan dengan kegagalan timnas.
Tahun 2013 bakal tutup buku.
Sepanjang tahun ini, lagi-lagi tak ada prestasi yang membanggakan dari tim
nasional senior kita. Gejolak di kepengurusan PSSI membuat kondisi timnas
senior tidak stabil. Intrik dan warna-warni kepentingan pengurus masih terasa
kental di PSSI.
Begitu pula dengan timnas U-23
yang lagi-lagi gagal di tangan Thailand sehingga hanya membawa pulang medali
perak SEA Games Myanmar 2013.
Belum genap setahun, timnas senior
telah empat kali berganti pelatih. Pada babak kualifikasi Piala Asia melawan
Irak, Februari silam, tim Garuda dipimpin oleh Nilmaizar.
Sebulan kemudian, pelatih asal
Padang itu digantikan Luis Manuel Blanco. Yang menggelikan, Blanco yang asal
Argentina bahkan belum sempat menangani tim untuk melawan Arab Saudi pada 23
Maret. Ia didepak ketua baru Badan Tim Nasional.
Duet Rahmad Darmawan dan Jacksen F
Tiago dipilih sebagai pelatih. Belakangan, Rahmad diminta menangani timnas
U-23 untuk SEA Games, sedangkan timnas senior dipegang Jacksen. Setelah
sembilan laga bersama timnas, PSSI mengganti Jacksen dengan Alfred Riedl.
Riedl, pelatih asal Austria itu,
pernah membawa Indonesia menjadi runner-up Piala AFF 2010.
Pemilihan Riedl semoga bukan langkah blunder. Secara personal, komunikasi
Riedl dengan pemain tidaklah sebaik Jacksen.
Riedl tak bisa berbahasa
Indonesia. Faktor komunikasi ini bisa menghambat hubungan dengan pemain, baik
dalam membicarakan strategi maupun sekadar ungkapan sederhana memotivasi
pemain.
Bahasa kelihatannya masalah
sepele. Tapi, bagi tim, dampaknya cukup besar. Itu sebabnya, pelatih asal
Italia, Carlo Ancelotti, mau susah payah belajar bahasa Inggris ketika
menangani Chelsea. Begitu juga dengan pelatih Bayern Muenchen Pep Guardiola,
yang menyiapkan waktu khusus untuk belajar bahasa Jerman. Bahkan pelatih
sekaliber Jose Mourinho pun menguasai lima bahasa. Tak heran jika pelatih
asal Portugal itu bisa sukses di Liga Inggris, Italia, dan Spanyol.
Kompetisi lokal
Bukan rahasia lagi, kesuksesan
timnas basisnya juga didukung kompetisi yang sehat dan profesional. Tahun
2013, sistem kompetisi kita berantakan karena adanya dualisme. Akibatnya,
tidak ada misi dan visi yang jelas. Pemilihan pemain timnas cenderung tarik
ulur karena adanya berbagai kepentingan.
Arah pembenahan kompetisi sudah
benar dengan adanya unifikasi (menggabungkan Liga Super Indonesia dan Liga
Primer Indonesia) yang dimulai 2014. Sayangnya, PSSI masih setengah hati
melakukan pembenahan.
Lucunya, PSSI dengan sengaja
menetapkan standar penilaian minim agar banyak klub bisa berpartisipasi dalam
liga unifikasi. Padahal, dari 25 klub yang diverifikasi, tak satu pun lolos
jika menggunakan lima parameter klub profesional versi Konfederasi Sepak Bola
Asia (AFC). Kelima parameter itu adalah infrastruktur pendukung, pendanaan
klub, pengembangan usia dini, personel dan administrasi, serta legalitas.
Karena tidak ada yang lolos, PSSI
akhirnya hanya menilai dua aspek, yakni infrastruktur dan pendanaan klub.
Dengan dua aspek itu, PSSI lantas menetapkan 22 klub yang lolos sementara.
Disebut sementara karena masih ada sembilan klub yang validitas keuangannya
harus dibenahi.
Dengan minimnya parameter
penilaian, klub-klub Indonesia yang berkompetisi tahun depan dipastikan tak
bisa berkompetisi di Liga Champions Asia karena tidak memenuhi standar AFC.
Profesionalisme PSSI memang masih
jauh panggang dari api. Keputusan mereka tidak meloloskan klub Pro Duta dan
Persepar Palangkaraya bisa jadi bahan tertawaan. Padahal, Pro Duta berstatus
sebagai juara play offIPL, sedangkan Persepar adalah runner-up.
PSSI beralasan kedua klub itu tidak memenuhi satu dari dua aspek yang
dijadikan parameter: infrastruktur yang memadai. Yang jadi pertanyaan, untuk
apa ada laga play off ?
Beruntung di tengah karut- marut
sepak bola nasional, masih ada timnas U-19. Sukses Evan Dimas dan kawan-kawan
menjuarai Piala AFF di Sidoarjo, Jawa Timur, September, menjadi pelipur lara.
Tim asuhan pelatih Indra Sjafri itu juga lolos ke putaran final Piala Asia
U-19 2014.
Sukses timnas U-19 lebih karena
prinsip tegas Indra Sjafri yang enggan terjebak intrik dan kepentingan
tertentu, di tubuh PSSI dan di sekelilingnya. Semoga Indra bisa bertahan pada
prinsipnya. Di sisi lain, PSSI harus lebih serius membangun sistem kompetisi
profesional sehingga tak melupakan prestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar