Pilih Cabang
dan Atlet Prioritas
Tim Kompas ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2013
MEMILIH cabang prioritas
tampaknya hanya menjadi wacana pemangku kepentingan olahraga negeri ini.
Hingga kini, apa yang menjadi cabang prioritas dalam berbagai tingkatan tak
jua ada.
Dua bulan! Itulah waktu intensif
yang dilalui para lifter angkat besi Indonesia sebelum tampil di Olimpiade
London 2012. Sebelum itu, mereka memang sudah berlatih, tetapi tidak
maksimal. ”Yang betul-betul intensif dengan pelatih yang sangat membimbing
adalah dua bulan menjelang ke London,” ujar lifter angkat besi kelas 69
kilogram, Triyatno.
Dengan persiapan minim dan kurang
dukungan, para atlet tidak mendapat bantuan suplemen, vitamin, hingga
dukungan peralatan. ”Kami bersiap, tetapi apa adanya,” ujar lifter Eko Yuli
Irawan.
Dengan segala keterbatasan itu,
para lifter menyelamatkan Indonesia di panggung dunia. Tradisi bulu tangkis
Indonesia yang selalu menyumbang medali emas dalam Olimpiade terhenti di
London. Para lifterlah yang menjadi juru selamat meski tanpa emas. Medali
perak didapat Triyatno dan perunggu disumbangkan Eko. ”Namun, kami tidak mau
lagi melakukan persiapan dengan cara seperti 2012. Menuju Olimpiade Rio de
Janeiro 2016 harus ada persiapan jangka panjang,” ujar pelatih angkat besi
Dirdja Wihardja.
Mendesak dilakukan
Staf Ahli Menteri Pemuda dan
Olahraga Ivana Lie menegaskan, persiapan melalui pelatnas terhadap
cabang-cabang prioritas mendesak dilakukan. Berdasarkan hasil empat kali
Olimpiade terakhir, ada beberapa cabang yang dievaluasi dan stabil menyumbang
medali, yaitu bulu tangkis dan angkat besi.
Panahan pun dinilai masuk
prioritas karena rekam jejak keberhasilan dalam Olimpiade Seoul 1988: meraih
perak. Juga dengan melajunya atlet panah Ika Yuliana Rochmawati ke babak 16
besar Olimpiade London 2012.
Meski demikian, harus diingat bahwa
panahan hanya merebut medali perak pada Olimpiade Seoul 1988. Itu terjadi 25
tahun lalu. Penampilan atlet panah Indonesia di SEA Games Myanmar 2013 kurang
memuaskan. Dari target tiga medali emas, mereka hanya merebut dua emas dari recurve dan compound beregu
putri. Nomorrecurve putri perseorangan dengan pemanah andalan Ika
Yuliana Rochmawati, yang di atas kertas mampu menyabet emas, hanya mendapat
perunggu karena persoalan salah memprediksi angin.
Menurut Lilies Handayani, mantan
atlet panahan yang meraih perak di Olimpiade Seoul 1988, PP Perpani harus mau
mencari lebih banyak atlet andal. Perlu digelar seleksi nasional untuk
mencari atlet terbaik sehingga atlet yang terseleksi tidak hanya atlet yang
sudah tampil di SEA Games atau PON. ”Malaysia punya delapan pemanah andalan,
tapi pelapisnya 16-32 orang. Kita juga perlu tambahan atlet meskipun tidak
perlu sebanyak Malaysia,” kata Lilies.
Ketua Bidang Pembinaan dan
Pengembangan Prestasi PP Perpani I Nyoman Budhiana pernah mengungkapkan,
panahan mengincar tiket Rio 2016 untuk nomor perseorangan dan beregu.
Alasannya jelas, untuk memperbesar peluang mendapat medali.
Deputi IV Bidang Peningkatan
Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Djoko Pekik Irianto
mengatakan, ada dua cabang yang dinilai bisa berbicara di Olimpiade, yaitu
tinju dan taekwondo. Namun, pemilihan dua cabang ini rasanya patut
dipertanyakan. Tengok saja hasil kedua cabang itu di Myanmar 2013. Tak ada
satu emas pun yang disumbangkan.
Alih-alih menentukan cabang,
memilih atlet yang punya peluang tampil di Olimpiade (dari cabang apa pun)
bisa jadi pilihan lain. Renang misalnya. Secara umum, cabang tersebut ”cukup”
diprioritaskan meraih emas di level SEA Games. Namun, seorang Triady Fauzi
Sidiq, sebagai perenang Asia Tenggara pertama yang menembus waktu di bawah 50
detik untuk 100 meter gaya bebas, pantas dapat prioritas untuk multicabang
lebih tinggi.
Ambisi untuk mempertahankan
tradisi medali (emas) di Olimpiade, ujar Djoko, adalah hal penting yang harus
dicapai dengan fokus dan keseriusan. Tidak mau mengulang persiapan apa
adanya, Kemenpora, menurut Djoko, sudah menyiapkan secara detail program
pelatnas menuju Rio melalui Satlak Prima.
Lagi-lagi Satlak Prima sebagai
lembaga yang bertugas menyiapkan atlet-atlet andalan diharapkan bisa membuat
pemetaan kekuatan dan potensi cabang berdasarkan bukti prestasi. ”Data detail
dan program latihan menuju Rio 2016 sudah disampaikan kepada Kementerian
Keuangan. Tujuannya agar dukungan anggaran tidak terhambat dengan adanya
blokir-blokir dari Kemenkeu seperti yang terjadi dalam persiapan SEA Games
Myanmar 2013,” ujar Djoko.
Dengan begitu, pelatnas jangka
panjang ke Rio 2016, yang disiapkan bersamaan dengan pelatnas multicabang
lainnya, bisa terdukung. ”Namun, tentu tiga cabang itu akan mendapat
prioritas,” ujarnya.
Pelatnas jangka panjang juga
digelar Pengurus Besar Taekwondo Indonesia (PBTI) untuk meloloskan atletnya.
Selama pelatnas itu, atlet yang memiliki peringkat dunia akan diikutkan dalam
berbagai kejuaraan dunia dan kejuaraan terbuka tingkat internasional untuk
mengumpulkan poin demi merebut tiket Olimpiade.
”Ahmad Nabil adalah salah satu
atlet taekwondo yang kami proyeksikan untuk merebut tiket Olimpiade. Kami
juga menggemblengnya agar dapat merebut medali bagi Indonesia,” kata Marciano
Norman, Ketua Umum PBTI.
Prioritas ke Olimpiade 2016
membuat Ahmad Nabil absen dari SEA Games Myanmar 2013 karena harus mengikuti
kejuaraan dunia di Manchester, Inggris.
KONI dan KOI
Hasil London 2012, ketika tradisi
emas terhenti, ditambah kegagalan mempertahankan juara dan target 120 emas
SEA Games 2013, selayaknya jadi peringatan bagi atlet, pelatih, pengurus
organisasi olahraga, dan pemerintah. ”Sudah benarkah kami mengurus puluhan
induk cabang olahraga dan ribuan atletnya? Sudahkah kami memberi sumbangsih
yang cukup untuk kemajuan prestasi atlet Indonesia sehingga mampu bersaing di
level tertinggi?”
Awal 2013, masyarakat olahraga
dikejutkan dengan langkah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang
ingin ”mengakuisisi” peran Komite Olimpiade Indonesia (KOI), yang sejatinya
hanya berperan sebagai event organizer dan liaison officer,
terutama ketika berhubungan dengan multicabang internasional di bawah Komite
Olimpiade Internasional (IOC). Tapi, langkah itu dibalas pengurus KOI dengan
mengukuhkan kepengurusan Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) karena
Indonesia akan mencalonkan diri sebagai tuan rumah kejuaraan dunia.
Tugas KONI sebagai pembina cabang
olahraga nasional, sekaligus menyiapkan atlet untuk bertarung di berbagai
kejuaraan, pun hilang ketika Program Atlet Andalan—kini jadi Satlak
Prima—diluncurkan. Tugas pembinaan atlet pun menjadi ujung tombak setiap
induk organisasi. Peran KONI dan KOI tak cukup signifikan hadir di sana. Ini
pun untuk mengatakan tidak ada sama sekali.
Ketika dua lembaga ini hanya punya
tugas administrasi, untuk apa berkonflik? Mengerahkan tenaga untuk hal yang
lebih positif, mengembalikan kejayaan Indonesia di Rio 2016, haruslah berada
di atas segala kepentingan, terutama kepentingan individu dan kelompok
tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar