Senin, 23 Desember 2013

Betapa Tidak Jelasnya Visi Olahraga Pemerintah Kita

Betapa Tidak Jelasnya Visi Olahraga 
Pemerintah Kita
Yunas Santhani Azis  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  23 Desember 2013

  

SEA Games Myanmar berakhir kemarin. Indonesia finis di belakang Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Puncak agenda olahraga 2013 itu meninggalkan dua jejak. Pertama, betapa para atlet membuktikan diri sebagai manusia unggul. Kedua, betapa tidak jelas visi dan politik olahraga pemerintah kita.

Olahraga adalah kisah tentang manusia yang menjalani filosofi kehidupan, yang diistilahkan Pierre de Coubertin dengan ”olimpisme”. Olimpisme adalah memuliakan dan memadukan secara seimbang seluruh kekuatan jasmani, pikiran, dan tekad. Lewat filosofi itu, atlet membentuk gaya hidup sportif yang diperjuangkan dengan segala daya upaya. Betapapun sulit jalan yang dilalui, mereka menikmatinya.

Filosofi itulah yang membuat pejalan cepat Hendro tetap menempuh jarak 12 kilometer dengan lutut kiri yang nyeri, sisa cedera setahun lalu. Di SEA Games itu, dia tak menyerah karena kuasa tekad dan pikiran menambal kelemahan jasmaninya. Hendro pun juara.

Tekad atlet tak lepas dari sumpah yang selalu mereka ucapkan: ”Demi kejayaan olahraga dan kehormatan negeri” atau for the glory of sport and the honor of our teams. Kata teams (kontingen) yang sekarang digunakan Gerakan Olimpiade menggantikan kata yang lebih gamblang, country.

Para pemanah Indonesia juga bertolak ke Myanmar dengan mengabaikan janji pemerintah yang tak terpenuhi: membekali mereka dengan peralatan tanding, yang tak kunjung diterima.

Para pemanah pun membeli sendiri busur, anak panah, dan lainnya untuk berlaga di Naypyidaw. Mereka pulang membawa 2 keping emas, 2 perak, dan 3 perunggu. Mereka hanya kalah satu perak dari juara umum cabang panahan, Malaysia.

Hendro dan para pemanah membuktikan, tekad dan pikiran mampu membawa manusia melewati keterbatasan yang digariskan jasmani atau materi.
Olimpisme selalu menumbuhkan simpati dan rasa hormat dari sesama, bahkan jika si atlet gagal menggapai mimpinya. Surat Rusdi Yanto, pembaca Kompas, kepada para atlet SEA Games bisa mewakili itu. ”Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kami tetap bangga dengan kalian. Dengan maraknya korupsi di Indonesia saat ini, kalian tetap berjuang untuk mengharumkan nama Indonesia.” Begitu bunyi suratnya.

Beberapa rekan eksekutif muda berceloteh, betapa mereka memulai hari dengan cara berbeda setelah menyaksikan tim sepak bola kita menang atau ketika Indonesia menjadi juara SEA Games 2011. Keberhasilan yang diraih atlet selalu menumbuhkan harapan, optimisme, dan harga diri dalam jiwa sesama. Mereka juga menjadi ”lebih” Indonesia.

Visi olahraga

Oleh para pemimpin di banyak negara, sifat olahraga yang menumbuhkan optimisme dan harapan itu kemudian dimanfaatkan. Bung Karno adalah salah satunya. Dia sadar, Indonesia yang baru merdeka memiliki masyarakat yang di satu sisi begitu besar semangatnya. Di sisi lain, negeri bayi ini belum diperhitungkan. Olahraga, bagi Bung Karno, bisa ikut membuat kepala bangsa Indonesia lebih tegak dan diperhitungkan dalam pergaulan internasional.

Soeharto juga melihat peran olahraga yang seperti itu. Keduanya tahu konsekuensi terhadap pilihan politik olahraga mereka: negara harus membiayai olahraga sekuatnya. Dengan cara berbeda (seperti dengan memanfaatkan hubungan ”saling menguntungkan” dengan pengusaha), Soeharto menjamin, olahragawan memperoleh yang mereka butuhkan untuk mencapai prestasi tertinggi.

Amerika Serikat memiliki politik olahraga yang berbeda. Negara tak banyak menyubsidi. Komite Olimpiade AS bahkan harus mengupayakan sendiri dana bagi kebutuhan kontingen negeri itu di Olimpiade 2012.

Namun, AS melihat sifat olahraga itu dari visi yang berbeda. Dampak olahraga bisa masif di masyarakat. Jadi, mereka memberi insentif bagi dunia olahraga agar mandiri. Contohnya seperti yang pernah diungkapkan Direktur Regional Asia Tenggara dan Selatan Federasi Atletik Internasional Ria Lumintuarso, banyak keringanan pajak yang diberikan kepada dunia swasta yang ikut mensponsori olahraga. Olahraga AS pun menjadi industri dengan nilai sekitar Rp 4.220 triliun per tahun. Ada 3 juta pekerja yang terlibat.

Pemerintah Indonesia saat ini, di satu sisi, tampak ingin meneruskan politik olahraga sejak era Bung Karno. Mereka berniat membiayai olahraga. Nyatanya, rantai birokrasi dibiarkan mementahkan kebijakan olahraga tersebut. Cerita tentang atlet SEA Games 2013 yang belum mendapat uang saku dan peralatan juga terjadi saat atlet kita menyiapkan diri menghadapi SEA Games 2011.

Tahun depan, pemerintah menjamin akan membiayai 100 persen kebutuhan latihan dan tanding atlet elite. Namun, atlet elite ada karena terseleksi dari kelompok atlet yang lebih besar. Seleksi dalam kelompok yang lebih besar itu juga sama, lewat latihan dan bertanding yang juga perlu dana besar. Kebutuhan itu diserahkan kepada organisasi setiap cabang olahraga. Agaknya, pemerintah juga ingin bergaya seperti AS, tetapi tanpa membuat insentif apa pun bagi dunia olahraga untuk tumbuh kuat.

Jadi, visi dan politik olahraga seperti apakah yang dianut pemerintah kita sekarang?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar