Sabtu, 07 Desember 2013

Selaras Islam dan Demokrasi di Indonesia

Selaras Islam dan Demokrasi di Indonesia
Ardi Winangun ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
OKEZONENEWS,  06 Desember 2013



Kolomnis Majalah Time, Fareed Zakaria, saat berada di Bali, Indonesia, dalam sebuah acara, menuturkan kepada wartawan bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan posisi yang demikian Indonesia dapat berbicara tentang bagaimana Islam selaras dengan keragaman, selaras dengan toleransi. Sebab semua sifat keselarasan itu benar-benar bagian dari budaya Indonesia yang berkembang menjadi budaya demokratis.

Apa yang dikatakan Fareed itu menunjukan sebuah harapan kepada Indonesia dengan maksud agar Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, terutama di Timur Tengah dan Asia Selatan, dalam menyelaraskan dan memadukan antara Islam dan demokrasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem demokrasi bagi sebagaian ummat muslim dianggap bukan sebuah ajaran Islam. Demokrasi dianggap sebuah ajaran dari Barat sehingga dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Untuk itu demokrasi wajib ditolak dan diharamkan.

Akibat anggapan yang demikian membuat banyak negara Islam terutama di Timur Tengah menggunakan sistem lain seperti monarkhi atau kesultanan. Syukur bila sistem itu mampu membentuk masyarakat madani, sebuah masyarakat di mana hak-hak sebagai manusia yang bermartabat diakui, baik itu kepada kaum laki-laki maupun kepada kaum perempuan. Namun realitanya banyak negara yang menggunakan sistem monarkhi malah jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti kurangnya penghargaaan kepada kaum perempuan dan kebebasan berpendapat.

Tak hanya kaum monarkhis yang membelenggu dan tak memberi kesempatan kepada rakyatnya untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai hal. Kaum manipulator demokrasi di negara-negara Islam pun juga berlaku sama. Kaum manipulator demokrasi di sana menerapkan sistem pemerintahan otoriter. Kaum manipulator itu di satu sisi menampilkan sosok yang anti demokrasi, -- meski mereka anti demokrasi namun sistem pemerintahan yang menopang mereka adalah sistem-sistem pemerintahan yang modern (demokrasi), seperti ada jabatan presiden, wakil presiden, ada parlemen, dan ada menteri -- sehingga kehadirannya diterima oleh ummat Islam namun di sisi yang lain ia tidak bisa mewujudkan pemerintahan yang islamis sebab mereka korupsi dan nepotisme serta menindas hak-hak lainnya.

Kesimpulannya, mereka membangun pemerintahan yang tidak islamis, tidak pula demokratis.  Pemerintahan otoriter dan jauh dari nilai Islam itu tumbuh berkembang di Timur Tengah dan memimpin negeri-negeri itu hingga puluhan tahun, seperti Presiden Iraq Sadam Hussein, Presiden Mesir Husni Mubarak, Presiden Libya Muamar Khadafi, dan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali.

Hidup di antara sistem yang tidak jelas dan selaras membuat munculnya gerakan demokratisasi di Timur Tengah atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring. Gerakan yang mulai di Tunisia itu menjalar ke Mesir, Libya, Suriah, dan beberapa negara Timur Tengah yang lainnya. Namun gerakan demokratisasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim itu tak mulus, seperti membawa korban masyarakat bahkan presidennya dibunuh, memunculkan perang saudara, dan malah menjerumuskan sikap-sikap ademokrastis, seperti di Mesir dalam masa reformasi partai-partai Islam justru dilarang.

Indonesia seperti yang dipikirkan Fareed, mampu menyelaraskan Islam dan demokrasi, tentu prosesnya tidak serta merta. Proses selarasnya Islam dan demokrasi juga melalui perdebatan bahkan juga menimbulkan korban jiwa dan hak asasi manusia. Seiring perjalanan waktu, demokrasi dan Islam di Indonesia saling mengisi bahkan saling menguatkan. Ini bisa terjadi karena semakin cerdas, toleran, dan terbukanya ummat Islam di Indonesia dan mulai membaiknya pertumbuhan ekonomi. 

Di Indonesia ummat Islam dan kaum demokrat sudah saling membutuhkan bahkan saat ini antara ummat Islam dan kaum demokrat susah dibedakan, seperti sekeping mata uang, sebab ummat Islam berlaku demokratis dan kaum demokrat juga sangat islamis. Ini terbukti dari semakin banyaknya mantan aktivis dan pengurus organisasi Islam masuk ke dalam partai yang tidak mengusung Islam sebagai ideologi. Ada pula kaum santri yang membentuk infrastrutktur demokrasi, yakni partai politik. Persinggungan antara Islam dan ideologi lain ini melahirkan hibrida ideologi, seperti nasionalis-religius. 

Hal-hal yang terjadi di Indonesia itu saat ini belum terjadi di negara-negara Timur Tengah. Presiden Mursi jatuh karena dia lebih mementingkan kelompok Islam dan tidak merangkul kelompok-kelompok lainnya. Bila Mursi mau merangkul kelompok lain tentu ia tidak akan jatuh seperti saat ini. Egoisme Mursi mengakibatkan Mesir yang mayoritas penduduknya muslim malah trauma kepada kelompok Islam sehingga melarang partai-partai Islam hadir di tengah mereka yang tekun menjalankan ajaran Islam. Pun demikian di Suriah, bila Presiden Basher Al Assad mau merangkul mazhab dan suku lainnya, tentu proses demokratisasi yang terjadi tidak sampai harus membuat perang saudara yang terjadi berlarut-larut hingga saat ini bahkan sampai menggunakan senjata kimia.

Untuk itu menyikapi dari apa yang dikatakan Fareed tadi maka Indonesia harus mempertahankan Islam sebagai agama mayoritas penduduknya. Keinginan ini jangan dipandang sebagai sebuah hal yang SARA dan deskriminatif namun harus dilihat sebagai upaya untuk membangun peradaban dunia yang lebih bermartabat. Dengan mempertahankan Islam sebagai mayoritas di Indonesia akan memiliki arti penting. Pertama, ada contoh negara yang bisa menggabungkan dan menyelaraskan Islam dan demokrasi. Contoh itu adalah Indonesia. Bila tidak ada Indonesia, negara-negara mayoritas berpenduduk muslim lainnya hendak ke mana bila mencari contoh sebuah negara yang bisa menggabungkan dan menyelaraskan Islam dan demokrasi? Malaysia meski menyebut Islam sebagai agama resmi namun negara itu kurang menempatkan kelompok lain sejajar dengan Islam. Selain itu peran Malaysia dalam kancah internasional belum sekuat Indonesia.

Kedua, semakin cerdasnya ummat Islam di Indonesia, ditambah dengan semakin makmurnya mereka, tentu akan semakin menyehatkan demokrasi. Bila demokrasi semakin sehat maka toleransi juga akan semakin meningkat. Fareed mengakui bahwa tindakan diskriminatif kepada kelompok minoritas di Indonesia itu ada namun dirinya mengakui masalah yang demikian bisa terjadi di negara manapun dan masalah yang demikian bisa diselesaikan seiring perjalanan waktu, 5 hingga 10 tahun. Dalam waktu 5 hingga 10 tahun, Indonesia akan semakin lebih menghargai dan toleransi kepada kelompok minoritas. Jadi di sini kelompok non Islam jangan merasa phobia dan terancam ketika ada keinginan menjadikan dan mempertahankan Islam tetap sebagai mayoritas. 

Pandangan dan harapan Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Islam dalam kebisaannya memadukan Islam dan demokrasi itu bukan saja keinginan Fareed namun keinginan banyak pihak termasuk Presiden Amerika Serikat Barack Obama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar