Kolomnis
Majalah Time, Fareed Zakaria, saat berada di Bali, Indonesia, dalam sebuah
acara, menuturkan kepada wartawan bahwa Indonesia merupakan negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan posisi yang demikian Indonesia
dapat berbicara tentang bagaimana Islam selaras dengan keragaman, selaras
dengan toleransi. Sebab semua sifat keselarasan itu benar-benar bagian dari
budaya Indonesia yang berkembang menjadi budaya demokratis.
Apa yang dikatakan Fareed itu menunjukan sebuah harapan kepada Indonesia
dengan maksud agar Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara yang
penduduknya mayoritas muslim, terutama di Timur Tengah dan Asia Selatan,
dalam menyelaraskan dan memadukan antara Islam dan demokrasi. Sebagaimana
kita ketahui bahwa sistem demokrasi bagi sebagaian ummat muslim dianggap
bukan sebuah ajaran Islam. Demokrasi dianggap sebuah ajaran dari Barat
sehingga dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Untuk itu
demokrasi wajib ditolak dan diharamkan.
Akibat anggapan yang demikian membuat banyak negara Islam terutama di Timur
Tengah menggunakan sistem lain seperti monarkhi atau kesultanan. Syukur
bila sistem itu mampu membentuk masyarakat madani, sebuah masyarakat di
mana hak-hak sebagai manusia yang bermartabat diakui, baik itu kepada kaum
laki-laki maupun kepada kaum perempuan. Namun realitanya banyak negara yang
menggunakan sistem monarkhi malah jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti
kurangnya penghargaaan kepada kaum perempuan dan kebebasan berpendapat.
Tak hanya kaum monarkhis yang membelenggu dan tak memberi kesempatan kepada
rakyatnya untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai hal. Kaum manipulator
demokrasi di negara-negara Islam pun juga berlaku sama. Kaum manipulator
demokrasi di sana menerapkan sistem pemerintahan otoriter. Kaum manipulator
itu di satu sisi menampilkan sosok yang anti demokrasi, -- meski mereka
anti demokrasi namun sistem pemerintahan yang menopang mereka adalah
sistem-sistem pemerintahan yang modern (demokrasi), seperti ada jabatan
presiden, wakil presiden, ada parlemen, dan ada menteri -- sehingga
kehadirannya diterima oleh ummat Islam namun di sisi yang lain ia tidak
bisa mewujudkan pemerintahan yang islamis sebab mereka korupsi dan
nepotisme serta menindas hak-hak lainnya.
Kesimpulannya, mereka membangun pemerintahan yang tidak islamis, tidak pula
demokratis. Pemerintahan otoriter dan jauh dari nilai Islam itu
tumbuh berkembang di Timur Tengah dan memimpin negeri-negeri itu hingga
puluhan tahun, seperti Presiden Iraq Sadam Hussein, Presiden Mesir Husni
Mubarak, Presiden Libya Muamar Khadafi, dan Presiden Tunisia Zine El
Abidine Ben Ali.
Hidup di antara sistem yang tidak jelas dan selaras membuat munculnya
gerakan demokratisasi di Timur Tengah atau yang lebih dikenal dengan Arab
Spring. Gerakan yang mulai di Tunisia itu menjalar ke Mesir, Libya, Suriah,
dan beberapa negara Timur Tengah yang lainnya. Namun gerakan demokratisasi
di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim itu tak mulus, seperti
membawa korban masyarakat bahkan presidennya dibunuh, memunculkan perang
saudara, dan malah menjerumuskan sikap-sikap ademokrastis, seperti di Mesir
dalam masa reformasi partai-partai Islam justru dilarang.
Indonesia seperti yang dipikirkan Fareed, mampu menyelaraskan Islam dan
demokrasi, tentu prosesnya tidak serta merta. Proses selarasnya Islam dan
demokrasi juga melalui perdebatan bahkan juga menimbulkan korban jiwa dan
hak asasi manusia. Seiring perjalanan waktu, demokrasi dan Islam di
Indonesia saling mengisi bahkan saling menguatkan. Ini bisa terjadi karena
semakin cerdas, toleran, dan terbukanya ummat Islam di Indonesia dan mulai
membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia ummat Islam dan kaum demokrat sudah saling membutuhkan bahkan
saat ini antara ummat Islam dan kaum demokrat susah dibedakan, seperti
sekeping mata uang, sebab ummat Islam berlaku demokratis dan kaum demokrat
juga sangat islamis. Ini terbukti dari semakin banyaknya mantan aktivis dan
pengurus organisasi Islam masuk ke dalam partai yang tidak mengusung Islam
sebagai ideologi. Ada pula kaum santri yang membentuk infrastrutktur
demokrasi, yakni partai politik. Persinggungan antara Islam dan ideologi
lain ini melahirkan hibrida ideologi, seperti nasionalis-religius.
Hal-hal yang terjadi di Indonesia itu saat ini belum terjadi di
negara-negara Timur Tengah. Presiden Mursi jatuh karena dia lebih mementingkan
kelompok Islam dan tidak merangkul kelompok-kelompok lainnya. Bila Mursi
mau merangkul kelompok lain tentu ia tidak akan jatuh seperti saat ini.
Egoisme Mursi mengakibatkan Mesir yang mayoritas penduduknya muslim malah
trauma kepada kelompok Islam sehingga melarang partai-partai Islam hadir di
tengah mereka yang tekun menjalankan ajaran Islam. Pun demikian di Suriah,
bila Presiden Basher Al Assad mau merangkul mazhab dan suku lainnya, tentu
proses demokratisasi yang terjadi tidak sampai harus membuat perang saudara
yang terjadi berlarut-larut hingga saat ini bahkan sampai menggunakan
senjata kimia.
Untuk itu menyikapi dari apa yang dikatakan Fareed tadi maka Indonesia
harus mempertahankan Islam sebagai agama mayoritas penduduknya. Keinginan
ini jangan dipandang sebagai sebuah hal yang SARA dan deskriminatif namun
harus dilihat sebagai upaya untuk membangun peradaban dunia yang lebih
bermartabat. Dengan mempertahankan Islam sebagai mayoritas di Indonesia
akan memiliki arti penting. Pertama, ada contoh negara yang bisa
menggabungkan dan menyelaraskan Islam dan demokrasi. Contoh itu adalah
Indonesia. Bila tidak ada Indonesia, negara-negara mayoritas berpenduduk
muslim lainnya hendak ke mana bila mencari contoh sebuah negara yang bisa
menggabungkan dan menyelaraskan Islam dan demokrasi? Malaysia meski
menyebut Islam sebagai agama resmi namun negara itu kurang menempatkan
kelompok lain sejajar dengan Islam. Selain itu peran Malaysia dalam kancah
internasional belum sekuat Indonesia.
Kedua, semakin cerdasnya ummat Islam di Indonesia, ditambah dengan semakin
makmurnya mereka, tentu akan semakin menyehatkan demokrasi. Bila demokrasi
semakin sehat maka toleransi juga akan semakin meningkat. Fareed mengakui
bahwa tindakan diskriminatif kepada kelompok minoritas di Indonesia itu ada
namun dirinya mengakui masalah yang demikian bisa terjadi di negara manapun
dan masalah yang demikian bisa diselesaikan seiring perjalanan waktu, 5
hingga 10 tahun. Dalam waktu 5 hingga 10 tahun, Indonesia akan semakin
lebih menghargai dan toleransi kepada kelompok minoritas. Jadi di sini
kelompok non Islam jangan merasa phobia dan terancam ketika ada keinginan
menjadikan dan mempertahankan Islam tetap sebagai mayoritas.
Pandangan dan harapan Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Islam
dalam kebisaannya memadukan Islam dan demokrasi itu bukan saja keinginan
Fareed namun keinginan banyak pihak termasuk Presiden Amerika Serikat
Barack Obama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar