Membandingkan survei CSIS kali ini (November 2013) dan
yang terdahulu (Mei 2013), bisa dilihat tren konsisten kenaikan dukungan
terhadap Joko Widodo (Jokowi) di antara pemilih PDI Perjuangan, naik dari
51,9 persen menjadi 63,6 persen.
Dukungan terhadap Jokowi juga naik signifikan di antara
pemilih Gerindra, dari 12,6 persen menjadi 20,6 persen pada survei bulan
November.
Artinya, pendukung Prabowo juga mulai berpaling pada
Jokowi. Jarak tingkat dukungan terhadap Jokowi semakin lebar dari bakal
calon presiden lain. Ini menunjukkan rakyat semakin cerdas dalam memilih
pemimpinnya yang benar untuk melayani publik.
Fenomena Jokowi sebagai Gubernur Jakarta memberikan efek
kepada rakyat. Hampir tiap hari publik melihat apa yang dilakukan dan
dibuatnya. Rakyat merindukan pemimpin yang memiliki jiwa pelayan, bukan
pemimpin yang hanya mencari kekuasaan. Dibutuhkan pemimpin yang memiliki
kredibilitas di mata publik bila politik menjadi alat untuk melayani
kesejahteraan masyarakat.
Berpolitik sejatinya merupakan panggilan untuk
menyejahterakan masyarakat. Namun, partai politik kita justru gagal
menciptakan situasi kondusif untuk kesejahteraan rakyat. Partai politik
gagal menata keadaban politik mereka dan memberikan pelayanan terbaik untuk
rakyat.
Kini saatnya partai melakukan perubahan mendasar dalam
diri mereka agar kembali diterima. Partai politik diharapkan lebih aktif
mencari figur pemimpin yang memiliki keutamaan.
Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani rakyatnya
karena itu merupakan panggilan nurani. Kita membutuhkan pemimpin yang tulus
mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul
memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya.
Ketulusan menjadi dasar seseorang untuk mengantarkan
bangsa ini kepada masa depan yang dicita-citakan. Sikap tulus itu tentu
harus disertai kecerdasan dalam mengoordinasikan tujuan dan target yang
ingin dicapai.
Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan masyarakat
dari politik adu domba yang kerap dipicu perilaku politik kekuasaan. Justru
negara seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan yang
tercermin dalam peradaban para aparaturnya.
Aparatur yang beradab selalu mengutamakan tertib sosial
dan hukum. Setiap pemimpin yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai
pemimpin bangsa masa depan. Oleh karena itu, mereka harus berani menegakkan
keadilan tanpa melupakan kebenaran. Kebenaran tanpa keadilan tidak akan
menciptakan tata dunia baru. Tata dunia baru tercipta bila hukum memiliki
kedaulatan di atas kepentingan politik.
Politik harus tunduk pada moralitas. Itulah zaman yang
diharapkan dengan lembaran baru tercipta demi terwujudnya cita-cita para
pendiri bangsa ini.
Amanat Penderitaan Rakyat
Para pemimpin terpilih seharusnya kembali mengingat
untuk apa mereka memimpin. Tentu bukan untuk hura-hura karena merasa telah
memenangi kompetisi demokrasi, melainkan justru untuk sebuah agenda yang
sangat berat.
Rasa bersyukur yang berlebihan bukan sesuatu yang elok
dipandang.
Menjadi pemimpin bukanlah sebuah hadiah, melainkan
amanat penderitaan rakyat. Tentu mereka harus kembali mengingat etika dan
tujuan berpolitik.
Berpolitik harus menjelma menjadi tindakan untuk
melayani masyarakat. Orang yang terlibat dalam politik harus mengacu pada
moralitas kemanusiaan dan keadilan.
Politik dan pemerintahan harus menjadikan nilai
moralitas publik sebagai acuan. Pemimpin sejati seharusnya meninggalkan
keinginan dan nafsu kekuasaan politik sebagai sandaran hidup untuk
memperoleh kekayaan. Bila demikian, politik hanya akan menjadi arena
investasi belaka yaitu mengeluarkan berapa dan apa, lalu mendapatkan berapa
dan apa. Politik kekuasaan adalah amanat penderitaan rakyat.
Pertanyaan buat para pemimpin terpilih adalah bagaimana
kita menyikapi kondisi kritis bangsa kita saat ini. Komitmen berbangsa yang
dimanifestasikan dalam bentuk kerelaan berkorban secara sungguh-sungguh
merupakan salah satu langkah yang mengantarkan bangsa ini mencapai
perubahan pada masa mendatang. Mengapa tidak belajar dari para pendiri
negara ini dalam kentalnya komitmen mereka terhadap pengorbanan lahir batin
akan nasib bangsa.
Setiap langkah yang mereka lakukan selalu diarahkan pada
upaya bagaimana rakyat hari ini lebih baik dari kemarin, esok lebih baik
dari hari ini. Hal itu hanya bisa dilakukan bila pemimpin baru
sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat jelata, rakyat miskin, dan kaum
penganggur. Mereka semua penghuni mayoritas bangsa yang disebut Indonesia
ini.
Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat seharusnya menjadi prioritas utama
dalam kebijakan dan visi mereka ke depan. Jika dilihat dari apa yang
terjadi selama ini, kita belum menemukan calon pemimpin yang serius
memperhatikan kedaulatan rakyat itu.
Calon pemimpin bangsa hanya memandang dari cakrawala
sempit yang hanya mementingkan golongan dan partainya. Perlu cara pandang
baru bagi calon pemimpin bangsa bahwa dengan kekuatan atau figur semata,
krisis bangsa ini tidak terselesaikan.
Hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri dan
menegasikan kekuatan lainnya, bangsa ini akan semakin terjerumus ke jurang
yang curam. Bangsa ini tidak membutuhkan sosok pemimpin yang kuat, tetapi
pemimpin yang memiliki orientasi yang jelas, berpihak kepada rakyat, dan
bukan kepada pemilik modal. Pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya ukuran
sukses pemerintahan.
Ukuran utamanya adalah berkurangnya jumlah orang miskin,
pengangguran, kebodohan, kerusakan lingkungan hidup, jumlah korupsi, pelanggaran
HAM, dan kekerasan dalam jumlah yang signifikan.
Itu merupakan syarat-syarat kontrak moral terhadap siapa
pun yang berani mencalonkan dirinya sebagai pemimpin bangsa. Siapa pun
sosoknya tidak begitu penting, yang penting ialah apakah mereka benar-benar
memiliki keutamaan itu.
Keutamaan pemimpin dinilai dari catatan moral dan
pengabdian kepada bangsa yang pernah dibuatnya. Amat penting melihat
kesungguhan orang yang akan menjalankan roda pemerintahan. Inilah yang
diamati rakyat dalam sosok Jokowi. Ini pertanda zaman sulit dibendung
karena rakyat merindukan sosok pemimpin yang memiliki keutamaan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar