Sabtu, 07 Desember 2013

Pendidikan Dromologi dan Krisis Karakter

Pendidikan Dromologi dan Krisis Karakter
Abd Hannan ;   Anggota Tim Riset dan Pustakawan Mahasiswa (PusMa) Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Budaya Universitas Trunojoyo Madura
OKEZONENEWS,  05 Desember 2013



Istilah dromologi sudah terlebih dahulu diperkenalkan oleh Paul Virilio, teoritisi sosial kebangsaan Prancis yang dikenal sebagai pemikir ulung. Dalam buku yang ditulisnya, Virilio menjelaskan bahwa dromologi merupakan proses percepatan kultural yang ditopang oleh kehadiran teknologi komputerisasi secara signifikan. Globalisasi, meodernisasi terjadi di setiap lini sehingga pada akhirnya mengantarkan manusia pada kompetisi begitu ketat. Siapa yang cepat dialah yang dapat. 
  
Dalam perkembangannya dromologi  berubah menjadi identitas masyarakat postmodern. Baik itu dalam hal ekonomi, pendidikan politik, hingga pada yang mendasar sekalipun, interaksi sosial misal. Karenanya, semakin teknologi kompeterisasi berkembang dalam beragam inovasi, maka disitulah dromologi akan semakin membudaya mempengaruhi segala aspek sosial.
  
Berkembangnya dromologi sebagai identitas kebudayaan baru tak dapat dipungkiri telah melahirkan berbagai perubahan. Aktivitas keseharian manusia tidak lagi didasarkan pada apa yang disebut kemampuan ilmiyah. Produk-produk tradisional yang lahir berdasarkan adat, kebudayaan, dan kolektivitas masyarakat tersingkap oleh produk-produk modernisme. Sehingga yang muncul adalah satu realitas sosial yang digerakkan kecepatan. Siapa yang cepat dialah yang dapat, begitulah realitas dunia dromologi digambarkan.
  
Pada era globalisasi “kecepatan” sudah menjadi ukuran kemajuan, bahkan telah menjadi paradigma kehidupan diberbagai sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Kondisi ini disarati oleh berbagai pergerakan, pergantian, dan perubahan dalam waktu sekejab dan dalam tempo dan percepatan semakin tinggi. Riuh rendah pergerakan manusia diberbagai jalan, tempat, dan ruang seakan tak mengenal henti. Semuanya beradu kecepatan dan kesigapan untuk menjadi terbaik. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan sekalipun. 

Serba Instan
  
Dromologi pendidikan berarti percepatan dalam dunia pendidikan. Percepatan disini bukan dalam arti lulus cepat dengan proses tepat, namun lebih mangarah pada pola pendidikan yang didinamisasi pada kegiatan proses belajar mengajar dalam tempo amat kilat serta dengan cara singkat pula. Sederhananya, pendidikan dromologi lebih memperioritaskan hasil ketimbang proses, tujuan ketimbang nilai, dan astetika ketimbang etika.

Darmanianingtyas dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Rusak-Rusakan” mengungkapkan, bahwa pendididikan kita saat ini tengah dihadapkan pada pusaran percepatan (dromologi). Pelajar tidak lagi memiliki niat idealis menempuh pendidikan secara normal sebagaimana biasanya. Lebih menginginkan instan ketimbang harus berproses dalm waktu relatif panjang dan melelahkan. Maklum saja, pendidikan kita selama ini berorintasi kerja, dapat dikatakan sukses manakala bisa bekerja, menghasilkan materi, dan memperbaiki status sosial. 

Dari sinilah muncul istilah-istilah lucu yang menggambarkan pendidikan kita layakanya sin salabain abra dagabra. Pendidikan langsung jadi dalam jangka waktu amat singkat. Ijazah dinilai sebagai formalitas meniti karier yang gampang diperoleh sekalipun melalui jalur lewat belakang dengan modus yang beragam. Tak pelak muncul beragam model pendidikan yang menawarkan jasa pendidikan bermodel Aladin. Sekejab langsung jadi, asal dapat Ijzah ilmu belakangan. Misal, program kelas eksekutif, home schooling, dan lain sebagainya. Akibatnya, pendidikan kita terjebak pada apa yang disebut dengan pendidikan paragmatis. 

Dari model paragmatis inilah muncul program-program anomali dunia pendidikan. Misal, budaya nyontek massal, pembocoran jawaban UN, joki dan transaksi jawaban, plagiat skripsi, thesis, forto folio sertifikasi guru palsu, serta anomali-anomali lainnya. Inilah yang disebut dromologi pendidikan. Sebuah budaya dalam dunia pendidikan yang ditopang oleh percepatan sehingga mencedrai proses pelaksanaan pendidikan dalam arti sebenarnya. 

Pendidikan yang sejatinya diberlakukan untuk memanusiakan manusia, membetuk karakter, berahlak, berintegritas, bertanggung jawab, serta mewujudkan peribadi berkualitas akhirnya berubah menjadi ajang pembentukan pribadi hedonis. Dimana pelajar tidak lagi dibimbing berdasarkan asas pembelajaran moral, tapi dididik sebagai manusia pekerja. Akibatnya, kompetensi pelajar kita cenderung memiliki kapasitas pas-pasan. Menjadi buruh pabrik yang hanya memiliki kemampuan sebagai pengabdi terhadap kaum kapital. Tidak memiliki kecakapan menciptakan peluang, dan pemikiran-pemikiran jernih yang dapat melahirkan lowongan pekerjaan.

Hilangnya Karakter
  
Berkembangnya dromologi dalam sistem pendidikan kita harus diakui menimbulkan efek buruk. Bukan saja lantaran sudah merusak sistem pendidikan, namun turut pula menyebabkakan pada kompetensi pelajar yang tidak seimbang. Proses pendidikan seakan sebatas formalitas memenuhi persyaratan bekerja, sedangkan subtansi untuk mewujudkan manusia utuh tidak diperhatikan. 

Fenomena semacam ini jelas bertentangan dengan semangat karakter yang ada dalam pendidikan kita. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pada pasal 3. Dimana didalamnya disebutkan, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa-Negara, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
  
Dalam pendidikan karakter, seorang pelajar bukan saja dituntut menguasasi disiplin pengetahuan sebatas kemampuan kognitif, namun perlu dikembangkan sehingga bisa menyentuh pada aspek praktisnya. Yaitu bagaimana pengetahuan yang didapat bisa ditranformasikan kedalam aktivitas keseharian pelajar, bukan lagi dibatasi pada hitung-hitungan, permainan logika, atau pada dataran kemampuan otak (IQ).

Kompetensi karakter bagi seorang pelajar sudah barang pasti merupakan satu kebutuhan absolut, demikian dikarenakan tujuan dasar atas ditanamkannya pendidikan terhadap peserta didik tak lain adalah bagaimana membentuk mereka menjadi pribadi unggul, berahlak mulia, dan siap terjun ditengah kompleksnya persaingan. Karenanya, Seorang pelajar tidak hanya dituntut memahami dan menghafalkan teori serta kemampuan teknis saja. Namun yang labih utamanya adalah sejauh mana mereka mampu menuangkan segala pengetahuan yang ia dapat dibangku pelajaran untuk dikorelasikan dengan realitas sosial tengah masyarakat. Dengan demikian, maka menjadikan pelajar sebagai pribadi kompetetif dan berintegritas merupakan suatu keniscayaan bagi pembangunan Bangsa-Negara kedepan.

Karena walau bagaimanapun tujuan dilaksanakannya pendidikan bukan saja diperuntunkan sebatas pengembangan kompetensi akademik. Tapi harus pula dapat membangun karakter sehingga dimungkinkan memiliki kemampuan mamaknai pengetahuan berdasarkan sikap, tindakan, dan perilaku mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar