Istilah dromologi sudah terlebih dahulu diperkenalkan oleh
Paul Virilio, teoritisi sosial kebangsaan Prancis yang dikenal sebagai
pemikir ulung. Dalam buku yang ditulisnya, Virilio menjelaskan bahwa
dromologi merupakan proses percepatan kultural yang ditopang oleh kehadiran
teknologi komputerisasi secara signifikan. Globalisasi, meodernisasi
terjadi di setiap lini sehingga pada akhirnya mengantarkan manusia pada
kompetisi begitu ketat. Siapa yang cepat dialah yang dapat.
Dalam perkembangannya dromologi berubah menjadi identitas masyarakat
postmodern. Baik itu dalam hal ekonomi, pendidikan politik, hingga pada
yang mendasar sekalipun, interaksi sosial misal. Karenanya, semakin
teknologi kompeterisasi berkembang dalam beragam inovasi, maka disitulah
dromologi akan semakin membudaya mempengaruhi segala aspek sosial.
Berkembangnya dromologi sebagai identitas kebudayaan baru tak dapat
dipungkiri telah melahirkan berbagai perubahan. Aktivitas keseharian
manusia tidak lagi didasarkan pada apa yang disebut kemampuan ilmiyah.
Produk-produk tradisional yang lahir berdasarkan adat, kebudayaan, dan
kolektivitas masyarakat tersingkap oleh produk-produk modernisme. Sehingga
yang muncul adalah satu realitas sosial yang digerakkan kecepatan. Siapa
yang cepat dialah yang dapat, begitulah realitas dunia dromologi
digambarkan.
Pada era globalisasi “kecepatan” sudah menjadi ukuran kemajuan, bahkan
telah menjadi paradigma kehidupan diberbagai sosial, politik, ekonomi, dan
pendidikan. Kondisi ini disarati oleh berbagai pergerakan, pergantian, dan
perubahan dalam waktu sekejab dan dalam tempo dan percepatan semakin
tinggi. Riuh rendah pergerakan manusia diberbagai jalan, tempat, dan ruang
seakan tak mengenal henti. Semuanya beradu kecepatan dan kesigapan untuk
menjadi terbaik. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan sekalipun.
Serba Instan
Dromologi pendidikan berarti percepatan dalam dunia pendidikan. Percepatan
disini bukan dalam arti lulus cepat dengan proses tepat, namun lebih
mangarah pada pola pendidikan yang didinamisasi pada kegiatan proses
belajar mengajar dalam tempo amat kilat serta dengan cara singkat pula.
Sederhananya, pendidikan dromologi lebih memperioritaskan hasil ketimbang
proses, tujuan ketimbang nilai, dan astetika ketimbang etika.
Darmanianingtyas dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Rusak-Rusakan”
mengungkapkan, bahwa pendididikan kita saat ini tengah dihadapkan pada
pusaran percepatan (dromologi). Pelajar tidak lagi memiliki niat idealis
menempuh pendidikan secara normal sebagaimana biasanya. Lebih menginginkan
instan ketimbang harus berproses dalm waktu relatif panjang dan melelahkan.
Maklum saja, pendidikan kita selama ini berorintasi kerja, dapat dikatakan
sukses manakala bisa bekerja, menghasilkan materi, dan memperbaiki status
sosial.
Dari sinilah muncul istilah-istilah lucu yang menggambarkan pendidikan kita
layakanya sin salabain abra dagabra. Pendidikan langsung jadi dalam jangka
waktu amat singkat. Ijazah dinilai sebagai formalitas meniti karier yang
gampang diperoleh sekalipun melalui jalur lewat belakang dengan modus yang
beragam. Tak pelak muncul beragam model pendidikan yang menawarkan jasa
pendidikan bermodel Aladin. Sekejab langsung jadi, asal dapat Ijzah ilmu
belakangan. Misal, program kelas eksekutif, home schooling, dan lain
sebagainya. Akibatnya, pendidikan kita terjebak pada apa yang disebut
dengan pendidikan paragmatis.
Dari model paragmatis inilah muncul program-program anomali dunia
pendidikan. Misal, budaya nyontek massal, pembocoran jawaban UN, joki dan
transaksi jawaban, plagiat skripsi, thesis, forto folio sertifikasi guru
palsu, serta anomali-anomali lainnya. Inilah yang disebut dromologi
pendidikan. Sebuah budaya dalam dunia pendidikan yang ditopang oleh
percepatan sehingga mencedrai proses pelaksanaan pendidikan dalam arti
sebenarnya.
Pendidikan yang sejatinya diberlakukan untuk memanusiakan manusia, membetuk
karakter, berahlak, berintegritas, bertanggung jawab, serta mewujudkan
peribadi berkualitas akhirnya berubah menjadi ajang pembentukan pribadi
hedonis. Dimana pelajar tidak lagi dibimbing berdasarkan asas pembelajaran
moral, tapi dididik sebagai manusia pekerja. Akibatnya, kompetensi pelajar
kita cenderung memiliki kapasitas pas-pasan. Menjadi buruh pabrik yang hanya
memiliki kemampuan sebagai pengabdi terhadap kaum kapital. Tidak memiliki
kecakapan menciptakan peluang, dan pemikiran-pemikiran jernih yang dapat
melahirkan lowongan pekerjaan.
Hilangnya Karakter
Berkembangnya dromologi dalam sistem pendidikan kita harus diakui
menimbulkan efek buruk. Bukan saja lantaran sudah merusak sistem
pendidikan, namun turut pula menyebabkakan pada kompetensi pelajar yang
tidak seimbang. Proses pendidikan seakan sebatas formalitas memenuhi
persyaratan bekerja, sedangkan subtansi untuk mewujudkan manusia utuh tidak
diperhatikan.
Fenomena semacam ini jelas bertentangan dengan semangat karakter yang ada
dalam pendidikan kita. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan Nasional Pada pasal 3. Dimana didalamnya
disebutkan, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa-Negara,
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.
Dalam pendidikan karakter, seorang pelajar bukan saja dituntut menguasasi
disiplin pengetahuan sebatas kemampuan kognitif, namun perlu dikembangkan
sehingga bisa menyentuh pada aspek praktisnya. Yaitu bagaimana pengetahuan
yang didapat bisa ditranformasikan kedalam aktivitas keseharian pelajar,
bukan lagi dibatasi pada hitung-hitungan, permainan logika, atau pada
dataran kemampuan otak (IQ).
Kompetensi karakter bagi seorang pelajar sudah barang pasti merupakan satu
kebutuhan absolut, demikian dikarenakan tujuan dasar atas ditanamkannya
pendidikan terhadap peserta didik tak lain adalah bagaimana membentuk
mereka menjadi pribadi unggul, berahlak mulia, dan siap terjun ditengah
kompleksnya persaingan. Karenanya, Seorang pelajar tidak hanya dituntut
memahami dan menghafalkan teori serta kemampuan teknis saja. Namun yang
labih utamanya adalah sejauh mana mereka mampu menuangkan segala
pengetahuan yang ia dapat dibangku pelajaran untuk dikorelasikan dengan
realitas sosial tengah masyarakat. Dengan demikian, maka menjadikan pelajar
sebagai pribadi kompetetif dan berintegritas merupakan suatu keniscayaan
bagi pembangunan Bangsa-Negara kedepan.
Karena walau bagaimanapun tujuan dilaksanakannya pendidikan bukan saja
diperuntunkan sebatas pengembangan kompetensi akademik. Tapi harus pula
dapat membangun karakter sehingga dimungkinkan memiliki kemampuan mamaknai
pengetahuan berdasarkan sikap, tindakan, dan perilaku mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar