Setelah menuangkan secangkir teh untuk
tamunya, Nelson Mandela bertanya, "Bagaimana
kau mengilhami timmu untuk melakukan yang terbaik?" François
Pienaar, kapten tim nasional rugbi yang tak punya sedikit pun tebakan
kenapa diundang ke kantor presiden baru Afrika Selatan itu, menjawab, "Dengan contoh. Saya selalu
berpikir memimpin dengan contoh, Pak."
Kelihatannya
memang tak ada jawaban lain yang pas. Tapi Mandela tahu lebih dari itu pun
bukan mustahil. Katanya, "Well,
itu benar. Itu sangat tepat. Tapi bagaimana kita membuat mereka menjadi
lebih baik ketimbang anggapan mereka? Itu sangat sulit, menurutku.
Inspirasi, barangkali. Bagaimana kita mengilhami diri kita dengan kejayaan
manakala tak ada hal lain yang bisa? Aku kadang-kadang berpikir itu bisa
dilakukan dengan memanfaatkan karya orang lain."
Kita
tak tahu apakah persis seperti itu dialog di antara mereka. Buku Playing
the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Made a Nation, yang
menceritakannya kembali juga semata merekonstruksi dari ingatan para
pelakunya. Meski demikian, dari adegan film Invictus garapan Clint Eastwood
berdasarkan buku itu, kita paham kenapa François mengaku terkesan bersua
dengan pribadi yang tak seperti orang-orang yang pernah dia temui: bahwa
Mandela telah membuatnya merenungi tujuan-tujuan hidupnya, sekaligus
membukakan cakrawala baru dalam melihat Afrika Selatan.
Mandela
menyebut puisi sebagai sumber ilham. Dia bahkan kemudian, dalam kesempatan
lain, menyerahkan selembar kertas berisi sajak Invictus karya William
Ernest Henley yang ditulisnya dengan tangan-sebuah susunan kata-kata yang
meneguhkan tekad perjuangannya ketika masih meringkuk di penjara penguasa
apartheid. Di antara larik-lariknya, ada bagian yang sulit untuk tak
menabuhkan genderang di dalam diri pembacanya: I am the master of my fate/ I am the captain of my soul.
Tapi
sebenarnya karya hanyalah wujud, sesuatu yang bisa dilihat dan dirasakan.
Kita tahu ada hal lain yang memungkinkan wujud itu dicapai. Orang mungkin
menyebutnya proses kreatif, atau "pengerahan kemampuan" jika
wujud itu merupakan hasil dari satu usaha spontan, sekurang-kurangnya
performa langsung. Bagaimana proses/pengerahan kemampuan ini
dilalui/dilakukan, itulah yang menentukan kualitas "ekspresi
diri" atau "dedikasi" penciptanya.
Dalam
hal itu ada cerita tentang penyanyi Judy Garland, yang diriwayatkan oleh
Nelle Harper Lee. Dalam adegan penutup film Infamous, penulis To Kill
a Mockingbird ini bertutur, "Aku
membaca wawancara Frank Sinatra yang berkata tentang Judy Garland, 'Setiap
kali dia menyanyi, nyawanya berkurang sedikit. Sebesar itulah yang dia
berikan.'" Menurut Lee, begitulah pula penulis, yang berharap bisa
menciptakan sesuatu yang lestari. "Nyawa
mereka berkurang sedikit demi sebuah karya yang benar," katanya.
Rasanya
sulit dibantah ilham yang disebut Mandela adalah paduan antara karya yang
"benar" dan cara menghasilkannya yang tergolong "mengurangi
nyawa" itu. Yang juga pasti, dalam kaitan ini: Mandela secara sadar
kemudian menjadikan dirinya sebagai teladan. Sepanjang hidupnya, terutama
setelah dibebaskan dari penjara, dia berusaha menegakkan sebuah
"negara pelangi"-yang menyatukan dalam damai berbagai suku, ras,
dan golongan-dengan sepenuh jiwa, sebagaimana Judy Garland menyanyikan
lagunya.
Dia
berhasil mencapai tujuan tersebut. Afrika Selatan bisa memaafkan masa lalu
yang getir. Pencapaiannya ini adalah karya yang terlalu berharga untuk
diabaikan, yang mestinya menggerakkan orang lain, siapa saja, termasuk para
politikus, untuk mengikuti jejaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar